CHAPTER 1. Sebuah Pengakuan
“Dia sudah datang, aku tidak sabar ingin bertemu,” ujar Ashley, berlari memburu kedatangan seseorang di ambang pintu sana. “Pacarku, kekasih hatiku, sudah datang,” ucapnya, berjingkrak-jingkrak mengayunkan kedua tangannya. Buru-buru ia membuka benda persegi panjang di depannya itu, Ashley tersenyum lebar, senang hatinya.
Pintu terbuka, Ashley tak banyak berkata, ia hanya melihat kekasihnya, dan tanpa aba-aba berlari ke pelukan kekasihnya. “Honey, kau akhirnya datang, aku sudah sangat merindukanmu,” ucapnya di dada bidang sang kekasih hati, tak lupa Ashley eratkan rangkulan kedua tangannya yang melingkar di pinggang kekasihnya, mengelus punggung kekasihnya, menyapa dengan hangat seperti kebiasaan keduanya.
Tapi sesuatu terasa aneh, kekasihnya tidak kunjung membalas pelukan Ashley. Tidak seperti biasanya, tidak antusias, tidak mengangkat tubuh Ashley untuk diayunkan, bahkan tidak membubuhkan satu kecupan pun di dahinya, padahal Ashley sangat menunggu perlakuan manis dari kekasihnya ini. Ashley terpaksa melonggarkan tangannya, Ashley coba lihat wajah kekasihnya, dengan senyuman yang ia persembahkan hanya untuk kekasihnya itu. Tanpa menaruh curiga sedikit pun, untuk apa juga ia curiga, ia memaklumi saja, mungkin saat ini kekasihnya ini sedang mengalami kelelahan.
“Hey, Honey, kau baik-baik saja?” tanya Ashley, memainkan jarinya membentuk bulatan acak di dada bidang kekasihnya, yang masih diam tak bergeming.
David, nama kekasihnya, meraih tangan Ashley, kemudian memegangnya agar berhenti bermain-main di dadanya itu. “Kau tidak bekerja, hari ini?” David balik bertanya, dengan tatapan dingin, yang semakin membuat heran benak Ashley.
“Nanti jam sembilan, aku ada rapat, mereka tidak buru-buru, aku bisa santai sejenak,” jawab Ashley, semangat. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Honey?” tanya Ashley. “Bicaralah padaku, aku akan coba membantumu,” lanjutnya.
David kini menatap Ashley. “Ashley?” panggilnya, sepertinya David membawa sesuatu yang akan mengejutkan Ashley, tapi sebelum kabar itu David sampaikan, Ashley sudah lebih dulu mendapat tamparan keras.
Ashley tersentak mendengar namanya disebut, bukan, bukan tidak boleh memanggil dengan nama aslinya, hanya saja yang menyebut dirinya adalah David, kekasihnya sendiri. Mereka sudah menjalin hubungan selama lima tahun, dan hampir tidak pernah dirinya mendengar David memanggil namanya secara langsung.
“As-Ashley? Kau … kau menyebut namaku? Kau serius dengan ini?” tanyanya, panik, tubuhnya tiba-tiba gemetar.
“Ashley, aku sudah menemukan yang lain,” aku David, melemparkan sebuah bom di wajah Ashley begitu saja, tanpa menghiraukan pertanyaan dan keterkejutan Ashley.
“A-apa, kau …? Astaga …,” lirih Ashley, seketika degup jantung Ashley berhenti, kunjungan kekasihnya kali ini ternyata membawa kabar tak terkira. Padahal Ashley bahagia sekali bisa bertemu dengan kekasihnya, setelah satu minggu tak jumpa raga.
David seakan tak peduli dengan raut wajah Ashley yang sarat akan luka, ia menatapnya dingin, tak ada kilatan-kilatan membuncah, seperti hari-hari lalu. Ashley akhirnya paham atas perubahan kekasihnya selama ini, sudah lama Ashley bertanya-tanya, pikirnya mungkin karena David kelelahan karena bekerja. Tapi ternyata, ada maksud lain yang dia sembunyikan dari Ashley.
“Kita harus mengakhiri hubungan ini,” ucap David, tak berdosa.
Ashley memalingkan wajah dari David, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak karuan. “Maksudnya apa? Ada apa ini?” tanya Ashley dengan suara lemah dan bergetar.
“Kupikir, aku tidak perlu lagi menjelaskan alasannya, aku ingin mengakhiri hubungan kita,” jawab David, dingin.
Tangan Ashley bergetar hebat, keringat dingin mulai bermunculan membasahi telapak tangannya, tubuhnya melemah, dadanya sakit, dan hatinya hancur. Tapi ia paksakan untuk berdiri, setidaknya sekali ini saja, ia tidak boleh kelihatan lemah di hadapan David.
Ashley bingung, ia ingat-ingat lagi, selama menjalin hubungan dengan David, tak pernah sekalipun ia melakukan kesalahan. Semua keinginan dan tuntutan dari David, Ashley selalu menuruti dan coba patuh padanya, bahkan selalu mementingkan David di atas segalanya. Ashley selalu percaya pada David, tak pernah menaruh curiga, ataupun membayangkan hal seperti ini akan terjadi.
“Kau … berpaling … dariku?” tanya Ashley susah payah, suaranya tersekat. “Kau selingkuh, begitu maksudmu?” Ashley menatap David tak percaya, tak sedikit pun membuat David terancam ataupun merasa bersalah.
“Terserah, apa pun yang kau bayangkan tentangku,” jawab David, berkacak pinggang. “Pada intinya, aku ingin berpisah denganmu, itu saja,” lugasnya.
“Maksudmu, semua yang kupikirkan benar? Kau meninggalkanku demi memilih selingkuhanmu?!” Ashley berteriak kencang, ia tidak mempedulikan orang lain yang mungkin mendengar teriakannya.
“Iya, kau benar, benar sekali, aku memilih dia,” jawab David, dingin dan angkuh, menambah sayatan luka di hati Ashley yang sudah kepalang terbelah dua.
“A-apa?! Apa maksudmu? Jelaskan padaku alasannya? Kau tidak mungkin seperti ini, ada apa sebenarnya ini?!” Ashley masih meninggikan suaranya, tak habis pikir mendengar jawaban dari David. “Jelaskan padaku!” teriaknya lagi.
“Kurasa tidak perlu, Ashley, aku yakin kau sudah mengerti, tanpa penjelasan lagi,” jawabnya, kali ini David menatap Ashley bak orang asing. “Ah, jika kau penasaran, aku mungkin akan menjawab, aku sudah puas denganmu, aku bosan, ingin merasakan suasana baru, dan aku dapatkan dari wanita lain, selain dirimu. Jujur saja, Ashley, aku lelah denganmu,” jelas David, berhasil memporak-porandakan pertahanan Ashley.
Ashley mundur satu langkah, melihat David lamat-lamat, ia menata hati kembali untuk melawan pria yang tidak punya hati ini. Kata-kata David sungguh merendahkan dirinya, tidak mencerminkan pria sejati, tidak seperti David yang selama ini ia kenal, David terlihat sangat kurang ajar, sungguh pengecut.
“Apa … apa aku tidak salah dengar?” tanyanya. “Kau!” Ashley berteriak dan menunjuk David tepat di depan wajahnya. “Setelah semua yang kulakukan untukmu, setelah kuhabiskan waktuku untukmu, setelah semua yang sudah kuberikan untukmu! Dan ini balasan yang kau berikan padaku! Semua, David! Aku lakukan untukmu, segalanya!” Ashley berteriak lebih kencang.
David mengusap wajahnya, ia marah, padahal tidak seharusnya ia bertingkah seperti itu. “Kau tidak perlu marah, aku tidak pernah memintanya, kau sendiri yang mengajukan diri. Kau sendiri yang memberikan semua akses padaku, dan kau juga menikmatinya, bukan? Bahkan lebih dari yang kurasakan, jadi kau tidak perlu merasa dirugikan, ingat itu!” jawabnya, menusuk hati Ashley bertubi-tubi.
Satu titik air mata akhirnya jatuh, mulai membasahi wajah pirus Ashley yang cantik terawat, wajahnya merah padam, menahan kemarahan dan kekecewaan atas balasan luka yang diberikan David. David seolah buta, ia tidak memperdulikan Ashley, hatinya sudah beku, dirasuki kebutaan cinta sesaat pada yang tak pasti.
“Kurang ajar …!” geram Ashley. “Kau brengsek! Kau bajingan!” teriak histeris Ashley.
Ashley lebih mendekat lagi pada David, kali ini telunjuknya ia bawa ke depan mata David. “Kau tidak tau terima kasih, tidak tau malu, kau sampah!” teriak Ashley lagi, tangan Ashley kini terbuka hendak menampar David, namun belum sempat Ashley melancarkan aksinya, tangannya lebih dulu ditahan oleh David.
“Kau—“