Chapter 1
Suatu malam di penghujung tahun 2021,
Aku takkan pernah melupakan wajah itu. Wajah ayu khas wanita Jawa Timur yang pernah begitu memikat hatiku.
Wajah ayu yang pernah mewarnai hari-hariku, seiring kedekatan yang terjalin di antara kami.
Wajah ayu yang kemudian mendadak pergi beberapa saat selepas kelulusan kami dari sekolah masing-masing. Tak ada yang ditinggalkannya, kecuali kenangan belaka.
Tak ada imaji dari wajahnya yang dapat kutatap, karena pada saat itu, alat foto dan ponsel kamera adalah benda yang sangat mewah. Ia seolah menguap begitu saja, hilang tertiup angin.
Lalu, saat ini, alias hampir dua puluh tahun kemudian, sosok dengan wajah ayu itu tertangkap tanpa sengaja oleh sorot mataku.
Tak mungkin aku salah menduga, meski telah hampir dua puluh tahun tak kujumpai, karena aku takkan pernah melupakan wajahnya.
Setiap detil dari raut wajah ayunya.
“Yuni?” tegurku dengan nada pelan dan sopan.
Kelopak mata di wajah ayu itu memicing. Lalu sejurus kemudian, kelopak itu melebar.
“Indra?”
“Ya, ini aku,” jawabku. “Hisashiburi[ hisashiburi, Jepang, lama kita tidak berjumpa].”
Suatu hari di awal tahun 2002, Aku dan Mbak Intan adalah saudara kembar, dengan Mbak Intan sebagai kakakku karena ia lahir delapan menit lebih dulu dariku.
Itulah yang membuatku terbiasa memanggilnya dengan embel-embel ‘Mbak’ di depan namanya. Karena meskipun seusia, Mbak Intan tetaplah kakakku.
Kami sekarang berusia delapan belas tahun dan akan lulus dari jenjang sekolah lanjutan tingkat atas masing-masing pada bulan Mei nanti.
Ya, kubilang sekolah masing-masing, karena meskipun kembar, aku dan Mbak Intan mengemban studi di sekolah yang berbeda.
Aku bersekolah di sebuah sekolah menengah atas negeri, satu-satunya SMA Negeri yang ada di kecamatan ini. Jaraknya pun dekat dari tempat tinggal kami, hanya sekitar 1,7 kilometer. Dengan jarak sependek itu, di tengah iklim sejuk, aku memilih untuk menempuhnya dengan berjalan kaki.
Sementara itu, Mbak Intan lebih memilih untuk bersekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan negeri. Lagi-lagi, itu adalah satu-satunya SMK Negeri di kecamatan ini.
Dan lagi-lagi pula, jaraknya dekat dari tempat tinggal kami, sekira satu setengah kilometer. Sama sepertiku, Mbak Intan pun terbiasa berjalan kaki menuju sekolahnya itu.
Oya, sebelumnya, izinkan aku untuk bercerita tentang tempat tinggalku.
…
…
…
Aku dan Mbak Intan memiliki KTP berlabel Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kami tinggal di sebuah kecamatan bernama Kendal, yang lokasinya berada di lereng Gunung Lawu.
Sampai di sini, harap bedakan antara ‘Kendal’ sebagai nama kecamatan, dengan ‘Kendal’ yang merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
Karena letak geografisnya yang berada di lereng Gunung Lawu, maka aku dan Mbak Intan sering berkeliaran di hutan untuk sekadar mencari privasi dan bertukar pikiran.
Dan pilihan kami jatuh pada sebuah ecological park bernama Argo Munung, yang lokasinya berjarak sekitar enam kilometer dari rumah. Biasanya, kami berboncengan dengan sepeda melewati rute melintasi Jl. Blimbing Raya. Itulah rute terdekat menuju Argo Munung.
Di sana terdapat sebuah kolam renang kecil, yang dikelilingi oleh beberapa gazebo beratap genting.
Tersedia pula area playgound untuk anak-anak, lengkap dengan ayunan, seluncuran serta jungkat-jungkit, persis dengan wahana yang kerap ditemui di sebuah taman kanak-kanak.
Aku pernah berenang di kolam tersebut, namun tidak demikian dengan Mbak Intan.
“Aku ini berhijab, Indra,” alasannya. “Risih rasanya, jika harus berbasah-basah, meskipun dengan berbusana tertutup.”
Maka, yang sering kami lakukan saat berada di Argo Munung adalah duduk-duduk di gazebo, sambil mengobrol dan sesekali membawa bekal makanan.
Terdapat sebuah gazebo yang letaknya agak terpisah dari gazebo lainnya, yang menjadi favorit kami.
Gazebo favorit kami itu sering kosong, karena konon suasananya agak seram.
Padahal, menurut Mbak Intan, di sanalah lokasi paling tepat untuk dapat melihat pemandangan dataran rendah kota Magetan di kejauhan.
Keakraban antara diriku dan Mbak Intan terjalin dengan baik, karenanya kami sama-sama tak segan untuk saling menceritakan rahasia masing-masing.
Saking terbukanya, tanpa segan Mbak Intan bercerita bahwa ia mulai tertarik pada lawan jenis sejak tahun awal kami memasuki Sekolah Menengah Atas. Dia dan teman-teman perempuannya sering berbicara tentang laki-laki dan seks.
Meski begitu, aku tidak tahu apakah Mbak Intan pernah bercinta.
Dan aku tak ingin mendesaknya untuk bercerita, karena itu adalah privasinya.
Aku dan sesama teman-teman lelakiku juga kerap berbincang tentang seks, bahkan berkhayal tentang rasanya bercinta dengan wanita.
Meskipun… yah, sejujurnya aku agak pemalu dalam hal tersebut.
Pada saat kami memasuki semester kedua di kelas satu, Mbak Intan mulai terbuka untuk berbicara denganku tentang seks, meskipun sedikit malu-malu.
Aku yang malu-malu soal seks, seolah menemukan tempat yang tepat untuk bertukar pikiran. Kasarnya, aku dan Mbak Intan pun ‘belajar’ tentang seks satu sama lain.
Suatu hari ketika sedang duduk di gazebo favorit kami di Argo Munung, kami kembali membicarakan tentang seks.
“Beberapa teman wanitaku tahu banyak hal tentang seks,” cerita Mbak Intan. “Dan di antara mereka bahkan ada yang telah kehilangan keperawanannya.”
“Serius, Mbak?” tanyaku, setengah tidak percaya. “Di usia tujuh belas atau delapan belas tahun, mungkin, mereka sudah berani bercinta?”
Mbak Intan mengangguk. “Bahkan mungkin sejak lebih muda dari itu.”
“Bagaimana denganmu, Mbak?” tanyaku lagi, seolah menemukan jalan yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang sejak lama ingin kutanyakan itu. “Sudah pernah bersetubuh?”
“Tidak, Indra,” jawabnya tenang, disertai senyuman. “Aku masih perawan, dan aku berharap untuk tetap seperti itu, sampai malam pertama dengan suamiku tiba, kelak.”
Aku mengangguk. Di dalam hati, aku merasa lega. Karena, sejujurnya, aku merasa tidak rela andai saudari kembarku ini ‘mengobral’ tubuhnya untuk dinikmati lelaki.
“Sebenarnya, aku juga penasaran dengan seks,” sambung Mbak Intan. “Teman-temanku yang sudah pernah melakukannya, menceritakan bagaimana nikmatnya bercinta.”
Aku kembali mengangguk.
“Kamu sendiri bagaimana?” giliran kakakku yang bertanya. “Sudah pernah melakukannya?”
Kali ini, aku menggelengkan kepala.
“Kamu seorang gay?” seloroh Mbak Intan.
“Sembarangan, kamu!” hardikku, sambil memelototi Mbak Intan. “Jelas aku bukan gay. Lagipula, seorang gay pun punya keinginan untuk bercinta, ‘kan?”
Mbak Intan nyengir.
“Aku hanya…” ucapanku terhenti sejenak.
“Mungkin aku sama sepertimu. Penasaran dengan seks, namun berharap tidak melakukannya sebelum menikah.”
Keheningan terjadi. Mbak Intan sibuk mencari-cari sesuatu di dalam kantong keresek yang penuh dengan aneka makanan ringan.
Sementara, aku menatap pemandangan dataran rendah Magetan, yang memang benar ucapan Mbak Intan, terlihat jelas dan indah dari gazebo favorit kami ini.
“Aku menyukai seseorang di sekolah,” ujar Mbak Intan, memecah keheningan. “Teman seangkatanku, namun berbeda kelas. Namanya Tris.”
“Tris?” ulangku, dengan nada bertanya yang terdengar ambigu. “Diakah lelaki yang ketiban sial itu?”
“Sialan!” rutuk Mbak Intan.
Bersambung Chapter 2