Adara fokus pada wajah Inara, lebih mendekat. Dia mencoba tidak berkedip agar tidak melewatkan sesuatu.
“Aku tidak mungkin salah lihat!“
“Nyonya Inara, apakah Anda mendengar saya? Tolong beri respon jika Anda memang sudah sadar?”
Benar saja, perlahan Inara membuka mata. Tatapannya sayu dan lemah. Terkadang masih seperti melamun, tidak fokus pada Adara yang mengajaknya berbicara.
“Nyonya Inara …? Astaga, Anda sudah sadar?”
“A-apakah Anda, bisa mendengar saya? Saya yakin tadi mata Anda, berkedip.”
Adara mencoba mengelus pelan tangan Inara. Berharap sentuhan itu bisa membantu sensor motorik dari seorang pasien koma kembali bekerja, “Jika Anda bisa mendengar perkataan saya, cobalah kedipkan mata Anda lagi atau coba berikan tanda lainnya?”
Naluri perawat Adara terbangun. Terlepas dari perjanjian antara dia dan Jacky Turner. Adara merasa senang untuk kesembuhan Inara. Ujung jemari tangan Inara bergerak. Seperti berkedut beberapa kali.
Adara menangkupkan kedua tangan, menutup mulutnya tidak percaya atas apa yang dilihatnya, “Alhamdulilah, Anda sadar.”
“Saya akan segera memberitahu suami Anda!”
Adara berbalik, akan segera melaporkannya pada Jacky Turner. Jemari Inara sedikit menggenggamnya. Refleks Adara menoleh, tatapan mata keduanya bertemu.
Ada kesedihan dan keengganan terlihat dari sorot mata Inara ketika Adara akan memberitahukan keadaan Inara pada Jacky Turner.
“Kenapa? Ada apa?” Adara bertanya-tanya.
“Kenapa? Anda … tidak mau saya memberitahukannya? Anda tidak mau suami Anda tahu?”
Adara mengernyitkan kening, dua alisnya hampir bertaut. Dia mencoba memahami arti bahasa tubuh juga sorot mata dari Inara
Kedua kelopak mata Inara berkedip bersamaan. Keadaannya masih sangat lemah. Hampir sebulan lebih dia tidak sadar.
Inara belum bisa berbicara, hanya bisa menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan Adara. Atau … memang ada sesuatu yang ingin disampaikannya secara diam-diam.
Adara menoleh ke kiri dan kanan, “Apa ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan?”
Adara duduk kembali di samping ranjang. Dia menatap lekat-lekat wajah Inara. Sketsa wajah mereka nyaris sama, bedanya Adara punya tahi lalat di bagian kening kanannya. Sedangkan Inara tidak.
Wajah Inara masih pucat pasi. Dia sudah koma selama sebulan. Mungkin akan butuh waktu untuk melatih semua anggota gerak dan inderanya lagi. Setidaknya dia sudah sadar, bisa diajak berkomunikasi walau hanya menggunakan bahasa tubuh atau isyarat lainnya.
“Apa Anda lapar? Haus? Apa yang Anda perlukan?”
Entah karena senang atau rasa bersalah telah mengambil tempat Inara asli selama ini. Adara langsung memberondong Inara yang masih lemas dengan banyak pertanyaan.
Tentu saja Inara belum bisa berkata. Matanya hanya berkedip beberapa kali menanggapi rentetan pertanyaan Adara.
“Ma-maaf. Saya terlalu senang dan bersemangat melihat Nyonya sadar.” Adara menarik segaris senyuman ketika yang ditanya hanya menatapnya dengan lemah.
Adara meraih pergelangan tangan kanan Inara, menekan nadinya. Hangat, lebih hangat dari saat terakhir diperiksanya. Kemudian dicobanya memeriksa napas, napasnya sudah tidak tersengal. Mungkin alat bantu pernapasan itu bisa dilepas sekarang.
Saat Adara akan melepas selang pernapasan di hidung Inara, perempuan di atas ranjang itu menggeleng pelan.
“Kenapa? Apa Nyonya tidak mau aku melepasnya?” Adara merasa alat pernapasan itu sudah tidak perlu lagi digunakan, “Dari pemeriksaan yang kulakukan pernapasanmu sudah lancar, tidak tersengal seperti sebelumnya.”
Inara hanya mengedipkan mata lagi. Kehilangan kesadaran selama sekitar sebulan membuatnya sangat lemah, belum bisa diajak berbicara.
“Tuan Jacky Turner pasti akan sangat senang jika tahu Anda sudah sadar.”
Tiba-tiba pintu ruang kerja Jacky Turner terbuka, “Apa? Apa yang baru saja kamu katakan tadi?”
“Oh, astaga! Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?” Adara kaget, memegang dadanya.
“Sepertinya aku mendengar suara seseorang sedang berbicara tadi?”
Senyum di wajah Adara mengembang. Dia menoleh pada Inara di ranjang, “Tadi Nyonya Inara sad ….”
Ketika Adara menoleh ke ranjang, Inara menutup matanya lagi. Ya, dia masih tertidur seperti biasanya. Indera penglihatannya terkatup rapat.
Jacky Turner mendekat ke ranjang. Ditatapnya dengan seksama wajah sang istri. Tidak ada perubahan, “Apa katamu? Bicara yang jelas!”
Adara merasa heran. Bukankah jelas-jelas tadi mata Nyonya Inara terbuka. Bahkan tangannya juga sudah bisa bergerak, menggenggam tangannya?
Adara kebingungan, “Ti-tidak ada apa-apa, Tuan. Mungkin saya terlalu lelah hari ini, jadi salah melihat.”
Jacky Turner lama menatap Adara. Tatapan setajam elang itu selalu membuatnya salah tingkah juga berdebar. Dia lalu menatap istrinya di ranjang. Tidak ada perubahan, seperti mayat hidup. Namun, jika Inara benar-benar meninggal dia akan jatuh miskin.
“Apa saja yang dikatakan mama mertuaku tadi?”
“Tidak ada, hanya sekadar topik wanita. Perawatan wajah dan pakaian yang kukenakan. Semua basa-basi yang sama setiap kali Anda pulang dari perjalanan bisnis ke luar negeri.”
“Benarkah? Apa dia tidak menyinggung masalah perusahaan? Atau masalah pribadi keluarga lainnya?”
Adara menggeleng pelan. Tidak mengerti apa yang dibicarakan Jacky Turner.
“Pergilah!”
Adara segera berdiri dari kursi di sebelah ranjang. Dalam hatinya ada rasa takut jika berhadapan dengannya. Namun, di lain sisi dia mengagumi sosok Jacky Turner. Tampan, kaya raya, dan sangat mencintai istrinya.
Lelaki tampan dengan penuh pesona dan kharisma.
Sebelum membuka pintu di belakang lemari Adara menyempatkan diri menatap Inara lagi. Dalam hatinya bertanya-tanya. Dia meragukan apa yang dilihatnya tadi? Dia yang salah melihat ataukah Nyonya Inara sengaja tidak ingin bangun saat ada Jacky Turner?
Saat Jacky Turner datang Inara kembali seperti ke keadaan sebelumnya, koma. Apakah dia berpura-pura belum sadar karena ada Jacky Turner? Tapi kenapa? Beribu tanya memenuhi kepala Adara.
Di dalam kamar Adara segera melepas gaunnya. Sudah cukup bermain drama untuk seharian itu. Berpura-pura menjadi orang lain itu sangat tidak nyaman.
“Hufthh, aku lelah! Sampai kapan harus seperti ini?”
“Tidak boleh ini, jangan begitu. Harus cantik, anggun, elegan jaga sikap … aahhh, aku bosan. Jika tidak demi uang aku tidak akan bertahan sejauh ini.”
Setelah berganti pakaian dia segera merebahkan badan, “Lega sekali bisa tidur di ranjang empuk ini.”
Baru sebentar Adara mencoba memejamkan mata, kelopak matanya terbuka lagi. Rasa Penasaran memenuhi tempurung kepalanya, “Sebenarnya apa yang terjadi dengan Inara? Apa artinya dia tidak ingin suaminya tahu dia sudah sadar? Tapi kenapa?”
Sudut mata Adara melirik ke arah jam berbentuk sebuah rumah kayu di dinding. Sudah hampir jam sepuluh malam. Seharusnya di jam seperti ini Jacky Turner sudah kembali ke ruang kerjanya.
Selama Inara sakit mereka tidak tidur seranjang. Jacky Turner menyiapkan ranjang di ruang kerjanya. Sebenarnya jika dipikirkan pasangan suami istri itu terlihat harmonis di luar, tapi hidup sendiri saat di dalam rumah. Terlebih sejak setahun lalu, setelah kecelakaan itu terjadi.
Adara turun dari ranjang. Dia mengendap-endap, membuka dengan sangat pelan pintu penghubung kamarnya dan kamar Inara. Matanya mengintip melalui celah pintu.
Jacky Turner sudah tidak terlihat. Adara mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Dia mengamati sekeliling kamar terlebih dahulu, berhati-hati.
“Nyonya Inara ….”
Istri Jacky Turner di atas ranjang langsung membuka matanya. Dia menatap Adara dengan sorot mata tertekan dan ketakutan.
Adara tahu ada yang tidak beres. Jadi dia langsung bertanya, “Kenapa tidak menunjukkan bahwa Nyonya Inara sudah sadar? Ada apa sebenarnya antara Anda dan suami Anda?”
“Kenapa tadi tidak mau berbicara atau menunjukkan kesembuhan Anda pada Jacky Turner?”
***Istri Bayangan***
Bersambung ….