“Turunlah, masih ada banyak hal yang harus kuurus di perusahaan. Aku yakin tidak akan ada banyak tamu yang datang ke rumah kita untuk mengucap bela sungkawa. Beristirahatlah ….”
“Tentu saja, karena yang telah meninggal adalah Adara Fransiska, hanya seorang perawat perempuan miskin yang tidak punya banyak teman,” gumam Adara pelan.
“Apa yang kamu katakan?” Jacky Turner mendengar gumamam Adara, “Jangan bicara omong kosong. Cepat turun!”
Adara mengangguk lemah. Dia masih shock. Inara, perempuan yang selama ini dia cemburui benar-benar meninggal.
“T-tapi Tuan ….”
“Mulai sekarang panggil aku ‘Sayang’, ‘Hubby’, ‘Suamiku’ atau panggilan lain sesukamu. Biasakan itu.”
“Tapi, kenapa? Kenapa kamu melakukan semua ini? Kenapa menukar namaku dengan nama Nyonya Inara?” Akhirnya keluar juga pertanyaan besar yang dipendam Adara.
Jacky Turner mengernyit, menatap Adara dengan aneh. Berkata dengan sorot wajah yang tidak bisa diartikan, “Apa kamu tidak mau menjadi satu-satunya wanitaku? Kamu bisa menikmati semua harta juga kekayaan Inara sesukamu. Aku tahu, sejak lama kamu memendam rasa, layaknya Inara yang memujaku dulu.”
“Tapi ini salah, bagaimana dengan keluarga Inara? Mereka harus diberitahu hal yang sesungguhnya ….”
“Semua hal dianggap benar dalam cinta, Sayang. Turunlah!”
Nada suara Jacky Turner terdengar tertahan dan berat. Itu adalah perintah, tidak bisa dibantah lagi.
Adara merasa takut dengan sorot mata Jacky. Dia segera turun dari mobil, tanpa berkata. Seluruh persendian Adara terasa lemas, berjalan dengan sangat pelan menuju teras kediaman Turner.
Suara mesin kendaraan menjauh dari teras. Sebentar saja mobil hitam yang tadi ditumpangi Adara sudah sampai di pagar dan menghilang.
“Akuu bersalah, Inara maafkan aku. Maafkan ….” Adara merosot jatuh di lantai. Pundaknya bergetar, dia tergugu dalam pilu. Ketika semua impiannya menjadi nyata, tetapi ada nyawa yang harus ditumbalkan.
“Kenapa semua jadi seperti ini. Bukan seperti ini yang kumau, aku lebih suka memujanya dalam diam bukan merebutnya paksa dan membunuh nyawa Inara.”
“Nyonya, ada apa?” Seorang maid membuka pintu. Menatap Adara yang terduduk di lantai.
“Tidak ada apa-apa.” Adara segera berdiri. Menyeka air mata yang luruh di sudut indera penglihatan juga wajah.
“Tuan Jacky menyuruh saya untuk melayani Nyonya Inara,” ucap maid itu.
“Tidak usah, aku ingin sendiri.” Adara berjalan masuk dengan langkah cepat. Menuju kamarnya di lantai dua, tidak lupa mengunci pintu.
Di dalam kamarnya Adara berjalan kesana-kemari. Bingung sekaligus sedih atas sesuatu yang tidak bisa dinalarnya. Logika Adara tidak dapat menjangkau pemikiran Jacky Turner.
“Kenapa Jacky Turner menukar namaku dan Inara? Apa jika Inara benar-benar meninggal, harta dan perusahaan harus dikembalikan pada pihak managemen. Namun, jika yang meninggal adalah Adara Fransiska, seorang perawat miskin, tidak dikenal siapa-siapa. Tidak akan ada yang tahu ataupun rugi. Begitu?”
Adara bertanya pada pantulan bayangannya sendiri di cermin.
“Jangan-jangan, dia sudah merencanakan semua ini sejak awal?”
“Bagaimana bisa wajahku dan Inara sangat mirip? Aahh … aku bisa gila jika memikirkan semua ini sendiri.”
Adara membalikkan tubuhnya dari depan cermin. Berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya, mengambil satu wadah kecil berisi pil tidur. Dia butuh istirahat dan ketenangan dari riuhnya isi otak.
Satu, dua, tiga, tidak sengaja tiga pil tidur terjatuh di telapak tangan gadis itu. Dia tertekan, tanpa ada seseorang sebagai sandaran.
Ditenggaknya tiga pil tidur sekaligus ke dalam mulut, “Aku ingin menyusulmu Inara, mengucapkan kata maaf saat kita berjumpa.”
Adara merebahkan diri ke atas ranjang. Matanya langsung terpejam erat. Wajahnya tampak sangat tenang. Akhirnya Adara berhenti memikirkan kematian Inara, siasat licik Jacky Turner, juga apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Pukul 00.00
Jacky Turner baru saja pulang. Setelah dari perusahaannya dia pergi ke klub malam. Di sana dia berpesta bersama beberapa temannya ditemani alkohol dan wanita cantik. Dia begitu senang, keberhasilannya sudah ada di depan mata.
Perusahaan Inara, rumah mewah yang mereka tempati belum aset berupa tanah dan gedung di beberapa tempat. Semuanya akan jatuh ke tangan Jacky Turner.
“Hahaha … semuanya akan jadi milikku.” Jacky Turner bergumam tak jelas. Menaiki anak tangga sembari tertawa sombong.
Suami Inara itu berjalan masuk dengan terhuyung ke dalam kamar Adara yang gelap. Gadis itu tertidur dari siang hari, tidak berganti baju ataupun menyalakan lampu.
“Istriku ….”
Jacky Turner menyalakan lampu duduk di atas nakas. Temaram lampu membuat wajah Adara semakin mirip dengan Inara.Dia membelai pipi Adara, tangannya terus turun menjelajah leher jenjang gadis itu. Perlahan membuka kancing kemeja hitam yang dipakai Adara.
Tentu saja Adara tidak bereaksi apa-apa. Dia terlelap, tiga pil tidur membawa gadis itu ke alam mimpi.
Dalam pengaruh alkohol Jacky Turner meneruskan keinginannya. Sebuah hasrat yang lama ditahannya pada sang istri. Tubuh Adara sudah tak terbungkus sehelai kain, Jacky Turner melucuti semua pakaiannya.
Jacky Turner melucuti pakaiannya sendiri. Segera merebahkan tubuhnya di samping Adara yang tertidur pulas. Dimulai dari dua gunung kembar Adara yang mangkal dan berisi. Satu tangannya meremas dengan liar payudara Adara, sedang bibirnya melumat dengan penuh hasrat. Dia kehausan begitu lama ketika Inara sakit dan koma beberapa bulan.
Dalam pengaruh alkohol Jacky Turner menikmati tubuh Adara dengan liar. Sementara Adara yang tertidur pulas sesekali mendesah. Dua manusia sama-sama tidak sadar, tetapi merasakan kenikmatan surga.
Satu jam berolahraga dengan tubuh Adara yang tidak sadar, Jacky Turner tertidur di atas tubuh sang perawat. Dia sangat kelelahan. Keduanya sama-sama tidur tanpa sehelai benang pun.
“Arrgghhh … sakit.”
“Si-siapa kamu? Ja-Jacky Turner? Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Saat Adara bangun dari tidurnya, tubuhnya didera rasa remuk, sakit juga perih. Itu adalah pertama kali baginya melakukan seks.
Yang lebih mengejutkan, di atas tubuhnya ada Jacky Turner yang tertidur dengan pulas. Didorongnya tubuh lelaki itu, “Apa yang kamu lakukan padaku?”
Lobus Frontal Adara bekerja cukup keras. Dia memijit keningnya, berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum dia merebahkan badan. Kepalanya terasa pusing yang teramat.
“Sial! Ini pasti karena obat tidur yang kuminum.”
“Bangun … bangun kamu!” Adara berteriak pada Jacky Turner yang terbaring di sampingnya. Tentu saja lelaki itu belum sepenuhnya sadar dari pengaruh alkohol.
“Bangun, Breng*ek!” Adara memukul punggung Jacky dengan keras.
“Hei, Whats wrong with you?” Jacky membentak Adara. Dia kaget oleh pukulan Adara di punggungnya.
Dalam temaram lampu Adara bisa melihat mata Jacky yang membelalak lebar, semburat merah hampir menutupi seluruh warna putih netranya. Dia benar-benar mengantuk.
“Apa yang kamu lakukan padaku?”
“Kamu adalah istriku, sudah seharusnya kamu melayaniku di tempat tidur.”
“Bukan! Aku Adara Fransiska, perawat Inara, istri sahmu.”
Plak!
Sebuah suara memenuhi kamar tidur Adara. Bunyinya menyayat hati, meninggalkan gambar telapak tangan Jacky di pipi mulus Adara.
“Mulai sekarang kamu adalah Inara, istriku. Turuti semua keinginanku, patuhi semua perintahku atau kamu mau menyusul Inara?”
***Istri Bayangan***
Bersambung ….