“Maksudmu kita?” Ruben membelalak kaget. Emery mengangguk.
“Iya. Karena kita sebentar lagi akan menjadi orang tua dari bayi ini,” Emery meyakinkannya. Dia sambil mengelus-elus perutnya menatap penuh harap ke arah Ruben.
Ruben sebenarnya ragu-ragu dengan ajakan Emery. Menikah? Berulang kali dia memikirkannya. Itu mustahil baginya. Ada rasa takut yang kini mendominasi seluruh pikirannya. Dia juga sangat takut pada ayahnya sendiri seandainya mendengar rencana konyol pernikahannya yang begitu mendadak.
“Dokter Ruben, tolong pikirkan sekali lagi! Saat ini bayi inilah yang lebih penting dari apa pun,” bujuk Emery.
“Saya mohon,” Emery memelas di hadapannya.
Ruben tidak bisa menjawab atau mengiyakan permohonan Emery saat ini. Dia tidak ingin memberikan harapan apa-apa pada koas itu. Atau menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dia tepati. Jadi, yang bisa dilakukannya saat ini hanya diam saja, sambil memikirkan langkah selanjutnya. Nasi sudah menjadi bubur. Permasalahannya kini sudah menyebarluas ke para petinggi di Rumah Sakit.
Ruben berjalan lunglai meninggalkan Emery. Langkahnya gontai dan dia tidak memerhatikan jalan di sekitarnya. Sementara itu, Emery juga mengambil jalan yang berbeda dengan Ruben. Kedua orang itu berjalan masing-masing menuju tempat tujuannya.
***
Malam ini Emery tidak ada lembur. Dia memanfaatkan waktunya dengan sebaik mungkin di rumah. Memasak, menonton tv, berendam air hangat, dan tidur lebih cepat. Itu yang akan dia lakukan setelah mencatat semua aktifitasnya di rumah. Jika tidak begitu, dia pasti lupa dan sibuk belajar semalaman di kamarnya.
Emery selesai berendam di kamar mandinya. Lalu, dia ke dapur dan mengecek nasi, juga masakan yang sudah dihangatkannya. TV di ruang tengah masih dalam keadaan menyala. Dia sengaja tidak mematikan TV pada saat mandi tadi. Ketika hendak mematikannya, sekilas dia melihat siaran berita yang menyiarkan beberapa kasus KDRT yang sedang viral akhir-akhir ini.
“Kenapa akhir-akhir ini banyak banget yang ngelakuin KDRT? Bahkan artis-artis ibu kota pun nggak segan-segan melakukannya. Padahal mereka itu, kan, public figure. Apa mereka nggak takut sama hukum?” cibir Emery.
Emery tidak mau melihat tayangan kekerasaan di TV. Dia mematikannya dan bergegas menuju dapur lagi. Dia hendak menghidangkan makan malamnya sendiri. Ah, tidak. Malam ini dia tidak makan sendirian lagi. Kini, sudah ada janin mungil di dalam rahimnya. Dia sudah bisa makan berdua dengan calon buah hatinya itu.
TING-TONG!
Suara bel rumahnya ditekan beberapa kali. Sepertinya ada tamu malam ini. Waduh! Mana Emery belum berpakaian lagi. Dia masih mengenakan handuk kimononya. Ketika hendak ke kamar untuk berpakaian terlebih dahulu, tiba-tiba suara seseorang terdengar di luar sana.
“Emery! Kamu ada di dalam?” tanya pria itu.
Emery mengenali suara pria itu. Lantas, dia segera membukakan pintu rumahnya. Di luar sangat dingin dan sebentar lagi akan segera turun hujan.
“Dokter Ruben?” Emery terkejut melihat kedatangan pria itu ke rumahnya malam-malam begini.
Ruben lebih terkejut lagi melihat penampilan Emery yang masih handukan kimono dengan rambut basah habis samphoan.
“Ada apa?” Emery balik bertanya.
“Saya tidak bisa tidur malam ini,” kata Ruben beralasan.
“Terus? Kalau Anda tidak bisa tidur kenapa Anda datang ke rumah saya? Bukankah Anda menyediakan obat tidur di rumah Anda?” Emery heran.
“Gara-gara ucapanmu tadi siang Emery. Itu membuat saya tidak bisa tidur,” Ruben menyalahkan.
“Masuk dulu, Dokter Ruben! Kita bicara di dalam saja,” Emery mempersilakannya.
Ruben melihat-lihat seisi rumah Emery. Sementara itu, Emery izin ke kamarnya untuk berpakaian. Dia bergegas karena tidak mau membuat Ruben menunggunya terlalu lama.
Tak lama waktu berselang, Emery keluar dari kamarnya dan menghampiri Ruben lagi di ruang tamu.
“Dokter Ruben! Apa Anda sudah makan malam?” tawar Emery.
“Belum. Saya tidak berselera makan,” kata Ruben.
“Kalau begitu, kita makan bersama-sama. Kebetulan saya masak banyak malam ini,” ajak Emery.
Ruben tidak menolaknya. Dia justru malah mengikuti Emery di belakang menuju ruang makan. Kebetulan sekali, makan malamnya sudah tersedia. Emery tidak menyangka jika Ruben datang ke rumahnya dan sekarang mereka makan malam bersama di meja yang sama. Sudah seperti pasangan suami istrikah?
Emery tersenyum sendiri menanggapinya. Dia jadi membayangkan, seandainya saja mereka benar-benar sampai menikah.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” terka Ruben. Sedari tadi pria itu memerhatikannya.
“Ah, tidak apa-apa. Silakan! Makan yang banyak, Dokter Ruben.” Emery menyodorkan masakan-masakannya. Dia juga mengatakan kalau makanan itu semuanya hasil dia memasak.
“Iya, terima kasih banyak,” ucap Ruben. Ekspresinya datar sekali dan dia tidak memedulikan apakah Emery yang memasaknya atau tidak.
Usai makan malam, Emery membereskan meja makannya. Ruben pun membantu ala kadarnya. Sebelumnya, pria itu tidak pernah mau beres-beres sendiri di rumahnya. Semua pasti dikerjakan oleh pembantu. Sekarang beda lagi, dia sedang berkunjung ke rumah Emery. Nggak enak aja kalau tidak membantu sedikit padahal tadi sudah numpang makan. Makannya banyak pula.
“Biar saya saja yang mencuci piring. Anda bisa istirahat di ruang tengah. Kalau Anda bosan, Anda tinggal menyalakan TV,” kata Emery mengarahkannya. Dia agak canggung karena ada seorang pria ke rumahnya dan mengerjakan pekerjaan rumah.
“Emery, apa kamu mencintaiku?” Tiba-tiba Ruben menanyakan pertanyaan yang bersifat pribadi pada Emery.
Deg!
Jlegar!
Suara petir di luar sana terdengar lebih mengerikan dibandingkan pertanyaan yang dilontarkan Ruben. Emery membalikkan tubuh dan menatap Ruben penuh haru.
“Jawab aku!” desak Ruben. Nada bicara Ruben berubah dan terdengar akrab sekali seperti pasangan muda yang baru saja menikah.
“Kenapa Anda menanyakan hal itu?” Emery heran.
“Jawab saja! Jawabanmu akan mengubah segalanya,” desak Ruben lagi. Dia jadi tidak sabaran menantikan jawaban dari Emery.
‘Benarkah? Apa aku harus menjawabnya?’ batin Emery mulai meragukannya.
Emery menundukkan pandangannya. Tangan dan kakinya gemetaran saat itu. Ruben pun mendekatinya.
“Jika kamu ragu-ragu seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa menikah?”
“Saya takut,” kata Emery.
“Aku juga takut. Kamu tahu, kan, aku tidak mungkin bisa menikahimu. Karena kamu sendiri tidak mencintaiku. Menurutmu, apa yang paling penting dalam sebuah pernikahan?” tanya Ruben.
“Karena ada anak ini,” jawab Emery spontan. “Mungkin dengan hadirnya anak ini bisa menyatukan perasaan kita suatu hari nanti.”
Jawaban Emery mengawang-awang. Ruben masih menatap Emery dengan seksama. Dia membutuhkan jawaban dan perasaan yang tulus dari Emery.
“Kamu tidak yakin dan tidak serius, kan? Kita masih ada waktu membicarakan kelahiran bayi itu.”
“TIDAK! Saya … mencintai Anda,” ungkap Emery tiba-tiba. Dia takut sekali jika tidak menjawab Ruben sekarang. Dia takut terjadi sesuatu yang mengerikan pada bayinya.
“Apa kamu yakin?” Ruben memastikannya sekali lagi.
“Ya, saya mencintai Anda, Dokter Ruben,” kata Emery sekali lagi. Dia menegaskannya dan mengatakannya begitu meyakinkan di hadapan Ruben.
Ruben membutuhkan bukti selain kata-kata cinta yang terlontar dari mulut Emery. Dia memajukan langkahnya, dan kini lebih dekat lagi pada Emery. Pria itu mencium lembut bibir Emery. Menurutnya, dengan itulah satu-satunya cara untuk membuktikan cinta Emery kepadanya.
Emery membelalak kaget mendapatkan kecupan manis dari pria yang akan menjadi ayah dari bayinya. Larut dan terbawa suasana, dia pun membalas ciuman Ruben tak kalah mesra. Ruben penuh gairah malam itu. Kecupan bibir Emery menghangatkan jiwanya yang sepi dan haus belaian kasih sayang. Apakah Emery belahan jiwa yang sudah lama ditunggu-tunggu olehnya selama ini?
Ruben mengangkat tubuh Emery dan mendudukkannya di samping westafel, tempat cuci piring di dapur. Keduanya kembali berciuman dan masing-masing begitu berhasrat malam ini.
“Apa Anda masih meragukan saya? Saya benar-benar sangat menyukai Anda, Dokter Ruben,” ungkap Emery.
“Haruskah kita menikah dan hidup bersama?” tanya Ruben.
Emery berkaca-kaca mendengar ucapan Ruben. Dia terharu sekali sampai tidak bisa berkata-kata lagi.
“Emery, menikahlah denganku! Kamu mau, kan?”