Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.
Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan perlu segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.
Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.
‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.
Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.
‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap bisa berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’ Emery menggelengkan kepala. Dia membuyarkan lamunannya dan fokus kembali pada pasien.
Sementara itu, Ruben sedang berusaha mengeluarkan janin itu dalam rahim pasien. Tidak perlu waktu lama untuk menyingkirkan janin yang sudah meninggal itu. Mudah sekali bagi Ruben karena dia sudah terbiasa dan berpengalaman.
Sesekali Emery menoleh ke arah Ruben. Raut wajah pria itu kelihatan tenang sekali, seolah-olah tidak menyembunyikan masalah apa pun saat ini. Apalagi pada saat sedang bekerja.
‘Profesional sekali dia,’ pikir Emery.
“Fokus saja pada pekerjaanmu! Jadikan ini sebagai bahan pelajaran. Kamu mengerti, Emery?” tegur Ruben.
Deg!
Ruben tahu, jika sedari tadi Emery terus memerhatikannya. Meskipun Emery ingin sekali menyangkalnya di hadapan Ruben dan semua orang di ruang operasi tersebut. Tidak enak saja jika semua rekan dokter, koas dan perawat mengalihkan pandangannya pada Emery saat ini. Gara-gara Ruben menegurnya secara langsung.
“Kamu mendengarnya, Emery?” Ruben memastikan.
“Iya, Dokter! Saya mendengar Anda,” sahut Emery pada akhirnya.
Di antara semua koas dan perawat, Ruben hanya menegur Emery saja. Karena dia satu-satunya koas yang menarik perhatian Ruben. Namun, tegurannya itu membuat Emery malu. Karena ketahuan sekali jika dia tidak konsentrasi pada saat operasi berlangsung.
“Sudah selesai. Sekarang lakukan tugas kalian dengan baik!” perintah Ruben pada semua koas yang membantunya.
“Baik!” sahut para koas serentak.
Ruben segera pergi meninggalkan ruang operasi. Sementara, Emery dan rekan koas lainnya membereskan pekerjaan yang tersisa dari Ruben.
“Apa pasien ini akan kembali ke ruang inap?” tanya koas lain pada Emery.
“Sepertinya dokter spesialis jantung akan memeriksanya kembali pasca operasi kuret ini,” jawab Emery.
“Oh, begitu rupanya.”
***
Emery berjalan lunglai meninggalkan ruang operasi. Dia menghentikan langkahnya sejenak kemudian berpegangan pada dinding di sebelahnya. Pusing sekali kepalanya saat ini. Mata juga berkunang-kunang, dia rasa.
“Aku harus makan yang banyak. Tenagaku terkuras habis,” kata Emery. Maka, dia bergegas menuju ruangannya untuk mencari makanan.
Setibanya di ruangan, Emery baru ingat kalau stok makanan ringannya dalam laci meja kerjanya sudah habis. Astaga! Dia pun menepuk jidatnya agak kencang.
“Kamu cari apa?” tanya Sienna.
“Perasaan kemarin aku masih menaruh cokelat di sini. Ternyata udah habis,” terang Emery sembari nyengir di depan Sienna.
“Kamu mau ngemil atau makan makanan berat?” tawar Sienna. “Hmm … gimana kalau kita ke kafetaria aja,” ajaknya antusias sekali.
Emery mengangguk. Dia akan ikut Sienna ke kafetaria dan makan bersama di sana.
Selang beberapa menit kemudian, Sean menghampiri mereka berdua dan duduk bersama di meja makan yang sama dengan kedua koasnya itu.
“Selamat siang Dokter Sean,” sapa Sienna sambil pasang muka senyum.
“Hai! Ikut gabung sini, ya!” kata Sean meminta ijin.
“Silakan, Dok!” balas Emery seraya mempersilakannya.
“Wajahmu pucat. Apa kamu sakit?” Sean mengalihkan pembicaraan. Usai dia melirik wajah Emery sekilas.
Sontak saja, Sienna menoleh ke arah yang dimaksud Sean. Oh, rupanya Emery. Dia mengira Sean sedang berbicara kepadanya.
“Akhir-akhir ini kelihatannya kamu kurang enak badan. Kalau kamu sakit seharusnya tidak masuk kerja dulu. Nanti kamu malah akan membawa penyakit di sini.” Sean menasihatinya sambil bersenda gurau dengan para koasnya itu.
“Kamu beneran lagi sakit, Mer? Dokter Sean benar. Akhir-akhir ini kamu kelihatan lemas dan kelelahan banget,” Sienna menimpali.
“Oh ya? Mungkin saya kurang istirahat aja,” Emery beralasan. “Nanti setelah istirahat, baikan lagi kok.”
Sean masih memandangi Emery ketika koasnya itu berusaha memalingkan muka dan mengalihkan pembicaraan. Sementara, Sienna mencurigai sesuatu dari gelagat sahabatnya yang mulai tidak bisa diterka isi hatinya.
“Habiskan makananmu! Kamu kelihatan kurus sekali Emery,” perintah Sean. Dia berusaha perhatian pada Emery.
“Ah iya. Terima kasih Dokter Sean,” ucap Emery.
Baru beberapa suap Emery makan, tiba-tiba gejala morning sickness melanda dan mengacaukan kegiatanmakan siangnya. Dia jadi tidak berselera dan mual sekali. Setelah mencium aroma bumbu masakan yang berasal dari nampan Sienna. Bau bawang putihnya menusuk sekali pada indera penciumannya.
“Maaf, permisi … saya mau ke toilet dulu,” pamit Emery. Dia langsung bangkit dan beranjak dari tempat duduknya.
Emery buru-buru pergi meninggalkan Sienna dan Sean yang masih duduk bengong melihat sikapnya.
“Sial! Aku nggak bisa nahan baunya. Mual sekali,” gerutu Emery sambil berlalu pergi.
Emery sengaja pergi ke toilet umum. Bukan toilet khusus dokter atau staf Rumah Sakit lainnya. Dia tidak ingin ada rekan kerjanya yang mengetahui kondisi tubuhnya saat ini. Di toilet umum dia bisa lebih leluasa dibandingkan dengan toilet khusus dokter dan staf. Hal ini dia lakukan untuk menghindari kecurigaan rekan-rekannya di sana.
“Lega rasanya ….” Emery merasa sudah baikan setelah mengeluarkan semua mual-mualnya di toilet. Padahal, dia baru makan sedikit tetapi sudah dikeluarkan lagi isi perutnya.
Tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuh Emery saat ini. Semua makanan tidak cocok di lidahnya. Mungkin itu bawaan janin yang tengah dikandungnya.
Emery keluar dari toilet dalam keadaan lemas dan bibir pecah-pecah. Dia berjalan dengan hati-hati agar pandangannya tidak buram. Ketika melewati ruang kerja Ruben, Emery menoleh sebentar.
Ceklek!
Pintu ruangan pun terbuka dan Ruben mendapati Emery tengah berdiri di depan ruangannya. Keduanya saling beradu pandang satu sama lain dalam beberapa detik. Tatapan Emery terlihat dingin sekali pada Ruben. Sorot matanya tajam penuh dengan kebencian. Lantas, dia melangkahkan kakinya kembali meninggalkan Ruben.
“Dokter Emery!” panggil seorang perawat. Dia membawa sesuatu di tangannya untuk diberikan pada Emery.
Emery menoleh ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya ingin tahu.
“Seorang kurir pengantar makanan menitipkan ini ke saya untuk diberikan pada Anda. Silakan diterima dulu, Dok!” kata perawat itu memberitahu.
“Buat saya? Tapi, saya tidak merasa sudah memesan makanan.” Emery terheran-heran.
“Tapi, di sini jelas-jelas ditujukan untuk Anda.” Perawat itu memperlihatkan struk pembeliannya. Di sana memang jelas sekali tertera nama Dokter Emery sebagai penerima makanannya.
“Ya sudah, saya terima saja dulu, ya. Terima kasih,” ucap Emery. Dia mengambil makanan itu.
Kebetulan sekali Emery sangat lapar siang ini. Dia tidak bisa melanjutkan makan siangnya di kafetaria. Karena bau bawang putih yang sangat menyengat. Dan kiriman makanan ini … entah siapa yang sudah berbaik hati mengirimkan makanan sebanyak ini kepadanya.
Emery penasaran sekali ingin segera membuka isi kantung keresek makanan itu. Dia berjalan cepat agar segera sampai di ruangannya.
Seorang pria tengah mengamatinya dari kejauhan. Dia melihat Emery senang sekali menerima kiriman makanan itu.
“Semoga kamu menyukainya. Kamu harus menghabiskan makanannya, Emery,” harap pria misterius itu.