Di hari pertama bekerja, Hani bangun sebelum jam lima shubuh untuk menunaikan dua rakat plus membaca dua lembar Al-qur’an.
“Shadaqallahul adzim.” Hani menyelesaikan ngajinya. Ia berdiri dari duduk membuka mukenanya.
Ceklek
Hani membuka pintu kamar mendapati area ART masih sepi, tapi iai tetap keluar dari kamarnya dan menarik satu kursi makan menunggu Bu Sri datang. Beberapa saat berdiam diri menunggu bu Sri datang, tiba-tiba terdengar nada dering ponsel mengagetkannya, Hani mencari suara itu berasal.
Apa bu Sri ada di dapur bersih? Pikir Hani mengira bunyi ponsel itu punya bu Sri yang berada di dapur bersih. Ia keluar untuk menemuinya.
Sampainya di dapur bersih, Hani tak melihat bu Sri. Tapi nada dering itu masih berbunyi. Hani mengikuti asal bunyi dan menemukan seberkas cahaya yang dipancarkan dari benda pipih yang berdering itu.
Hani kemudian mengambil ponsel berdering itu di dekat kulkas, tapi betapa kagetnya Hani dengar suara orang yang menegurnya. Suara laki-laki datang dari belakangnya, Hani menoleh melihat papa Gita jadi surprise dan seketika kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.
Namun senyuman sumringah Hani perlahan terkikis ketika papa Gita tanpa sopan santun merebut ponsel dari tangannya dan lebih parahnya lagi laki-laki itu menuduhnya maling.
“Apa Anda bilang?” Hani tercengang dituduh maling.
Lantas Aditya tidak mengubrisnya, ia menelepon keamanan perumahan menggunakan ponsel kakaknya yang sedari tadi dia pakai mencari keberadaan ponselnya.
“Saya bukan maling, Tuan,” bela Hani tegas dituduh maling.
Aditya tentu tidak peduli, apanya bukan maling? Jelas-jelas ponsel miliknya ada di tangan wanita tak dikenal ini. Aditya mau mambawa Hani ke depan, ia meraih tangan Hani.
“Jangan pegang-pegang, kita bukan mahram.” Tepis Hani tangan Aditya yang bukan mahramnya.
“Ckck.” Decak Aditya takjub. Bisa-bisanya wanita ini bersikap demikian setelah kedapatan maling. “Lalu kenapa kamu pegang-pegang hape orang?”
“Ya saya dengar hape berbunyi, jadi saya mencari dan menemukannya.”
“Alah bilang saja kamu maling.”
“Saya bukan maling!” bela Hani lagi ditudu maling, enak saja nih orang seenak jidat menuduhnya maling.
“Oiya… maling tak akan mau ngaku,” balas Aditya ketika wanita depannya lagi-lagi mengatakan dirinya bukan maling. Bibir Aditya menyungging melihat Hani yang pakai jilbab, tapi ternyata maling.
Hal begini yang dia tidak suka dari sebagian orang-orang memakai jilbab. Pakai jilbal hanya berkedok belaka, merusak citra wanita Muslimah saja.
“Sini kamu…” Aditya masih mau memegang tangan Hani. ia mau membawa Hani ke ruang tamu untuk diintrogasi dan menunggu petugas keamanan perumahan datang.
“Anda kenapa sih!” risih Hani, papa Gita masih kekeuh mau memegang tangannya hingga ia terus menghindarinya.
“Sini….” Aditya masih berusaha mau membawa Hani ke depan.
“Tidak mau.” Hani juga berusaha terhindari dari orang yang mau memegangnya hingga hal itu menimbulkan kegaduhan yang mengundang perhatian para ART yang sudah siap bekerja, termasuk bu Sry.
“Tuan Aditya?” Sri dan ART lainnya mematung kaget melihat keributan antara tuan Aditya dan Hani. “Ada apa, Tuan?” Sri cepat sadar dari shocknya, ia mau tahu apa yang terjadi.
“Ini ada maling, Bik.”
“Maling?” Sri langsung menoleh melihat Hani dengan intens.
“Bu Sri, saya bukan maling,” bela Hani ketika mendapat tatapan Sri kepadanya. “Aku hanya menemukan hape tuan Aditya di sini,” jelas Hani kronologisnya, tapi dapat ia lihat bu Sri juga tidak mempercayainya.
Air mata Hani mulai mengenang di pelupuk matanya, apa dirinya akan masuk jeruji besi? Sedih plus putus asa Hani rasakan, kalau tahu begini, dia lebih baik menikah dengan jurangan tanah di kampungnya.
“Bu Sri?” Aditya heran ketika maling menyebut nama Sri. “Bibik mengenal dia?”
“Dia ART baru disini, Tuan.”
“Dari penyalur asisten rumah tangga mana?” tanya Aditya mau menghubungi pihak penyalur untuk mengurus masalah didikannya ini.
“Saya tidak tahu, Tuan. Bu Fatimah yang membawanya.”
“Nenek? Nenek dapat dari penyalur mana?”
Belum sempat Sri mengatakan sepatah kata menanggapi pertanyaan tuannya, nenek Fatimah datang dari arah living room. Sama halnya dengan yang lainnya, nenek Fatimah mendengar keributan di dapur jadi penasaran dan mengeceknya.
“Ini ada apa?” tanya nenek Fatimah seraya berjalan tergopoh ketika menemukan kumpulan orang di dapur.
“Ini orang maling, Nek,” lapor Aditya cepat ke sang nenek yang membawa sembarang orang masuk ke rumah.
“Maling?” shock nenek melihat kearah Hani. Ia tidak percaya dengan tuduhan cucunya.
“Iya. Wanita ini mengambil ponsel aku, Nek.”
“Apa, benar kamu mengambil ponsel cucuku?” tanya nenek Fatimah mengimbangi perasaan shocknya dan menanyakan hal itu ke Hani.
“Percuma Nenek bertanya padanya. Maling tidak akan ngaku, jelas-jelas aku melihatnya ponselku ada ditangannya.”
Setelah mendengar cerita dari Aditya, nenek Fatimah juga mau dengar cerita dari Hani dan menilainya sendiri. “Benar itu Hani?” tanya nenek Fatimah sekali lagi.
Hani yang ditanya hanya diam menunduk. Hatinya terluka di tuduh maling, tatapan aneh orang-orang kepadanya dan sekarang nenek Fatimah bertanya padanya membuat hati Hani makin terluka.
Apa kalau aku menjelaskannya. nenek Fatimah akan percayai?
“Hani, benar kamu mengambil hape cucuku?” tanya nenek Fatimah mulai gusar karena Hani tidak menanggapinya. Kalau benar Hani maling, ia amat sangat kecewa padanya. Cerita sedih yang diceritakan Hani mungkin hanya karangan belaka untuk mendapat simpati darinya.
“Tidak, Nek,” jawab Hani lirih. Ia tak mampu lagi menahan air matanya. Setetes, dua tetes air matanya luruh mengalir dipipinya.
“Aku tidak mencurinya. Hape itu berbunyi, aku mengira hape itu punya bu Sri, jadi aku mengambil hape itu mau memberitahu penelepon untuk menelepon lagi nantinya,” jelas Hani kacau dan berpasrah pada Allah, mungkin ini karma buatnya karena kabur dari kampung.
“Sri,” panggil nenek Fatimah ke orang kepercayaannya,
“Iya, Bu,” tanggap Sri menunggu titah.
“Periksa CCTV dapur.” titah nenek Fatimah. Dia bukannya percaya pada Hani dan tidak mempercayai Aditya. Ia hanya takut terjadi kesalahpahaman, jangan sampai ada hal lain yang terlewatkan hingga kesalahpahaman antara Hani dan Aditya terjadi.
“Baik, Bu.” Sri bergegas ke pos satpam untuk melaksanakan perintah majikannya. Ia paham jika majikannya mau meluruskan benang yang kusut,
Selagi Sri pergi periksa CCTV, Aditya mengomel pada neneknya. Apa sang nenek lebih percaya perkataan wanita maling ini dan lain sebagainya. Lantas nenek Fatimah tahu ini akan terjadi menyuruh Aditya diam dan menunggu hasilnya.
“Nenek tidak mempercayaiku?” seru Aditya kesal dengan sikap neneknya.
“Nenek bukannya tidak mempercayaimu, Dit. Nenek hanya ingin memastikan saja perkataan Hani. Mungkin ada kesalahpahaman.” Usaha nenek Fatimah agar Aditya tidak tersinggung.
Aditya masih kesal hanya bisa berdengus tak percaya. Satu tangannya mengacak-acak rambutnya kesal.
“Sini duduklah dulu,” bujuk nenek Fatimah yang sudah terlebih duduk di kursi makan.
Dengan perasaan dongkol, Aditya menuruti, Ia duduk disalah satu kursi di samping sang nenek. Sementara Hani dan lainnya hanya berdiri. Hani tidak bergerak dari tempatnya,ia bersedih menunduk melihat kakinya sendiri. Tapi dalam hati Hani tak henti-hentinya berdoa semoga tuduhan padanya terbukti salah.
*****
Salam Pasta.