Tahun 1991
Langit membentangkan teriknya siang itu. Dalam rumah kayu beratap seng, udara terasa sangat menyengat. Jadi, penghuninya yang merupakan Pasangan suami istri beda usia itu, memilih bercengkerama di beranda. Sambil berharap ada semilir angin yang bisa mengurangi sedikit rasa tak nyaman pada tubuh mereka yang kegerahan.
Untungnya, sebatang pohon ketapang yang rimbun di halaman membuat sejuk keadaan. Sesekali, Mayang masih mengibaskan kipas yang terbuat dari anyaman batang purun ke arah leher mengeringkan keringat yang cukup mengganggu di area tersebut.
“Yang. Pinggir matamu, sepertinya mulai berkeriput.” Edi yang berbaring di paha Mayang berkomentar. Sambil memilin anak rambut yang mencuat di tepi telinga istrinya.
“Benarkah begitu?” Ada nada kecewa dalam pertanyaan Mayang.
Padahal, sebulan terakhir ia telah rutin menggunakan bedak dingin bercampur rempah yang dikirim Ibu mertuanya.
Jelas saja, meski kalimat Edi terdengar biasa, hal ini cukup membuat nyeri di dada Mayang. Ia berusia 15 tahun lebih tua dari sang suami. Jika yang di katakan Edi benar. Berarti ia harus lebih rajin melakukan perawatan dari biasanya. Ia tak ingin suaminya itu melirik wanita yang lebih muda atau bahkan berpaling darinya.
Edi dan Mayang baru menikah setahun lalu. Dan selama masa pernikahan mereka itu, Mayang tak pernah sekalipun bertemu mertuanya. Mereka tinggal di perkampungan. Rumah yang mereka tempati saat ini, merupakan peninggalan mendiang suami Mayang sebelumnya. Mayang pun merupakan yatim piatu. Jadi, begitu ada lelaki berusia jauh lebih muda darinya datang melamar, ia tak menolak.
Suami Mayang itu, sejak dulu bekerja di seberang sungai, tempat yang sama dengan kediaman mertuanya. Untuk ke sana memakan waktu sekitar dua jam perjalanan menggunakan perahu motor.
Pernah suatu kali Mayang mengutarakan keinginannya untuk bertemu Ibu dari Edi. Sekedar berkenalan atau sekalian mengurus perbekalan makan suaminya sebelum bekerja. Namun, Edi tak memberi izin. Akses jalan masih sulit. Begitu alasan suaminya. Lagi pula pekerjaan Edi tak terlalu berat katanya, ia pun masih bisa mengatasinya urusan perutnya sendiri meski tak bersama Mayang.
Edi hanya pulang seminggu sekali ke rumah. Seperti hari ini, ia akan membawa banyak kiriman dari Ibunya. Seperti padi, sayur, ikan asin, termasuk bedak rempah dan jamu untuk perawatan Mayang.
Ah, benar. Bicara tentang jamu. Ada hal yang aneh sempat dikatakan Mesih–seorang Nenek, tetangga paling dekat dari Mayang. Saat Mayang di beranda sendirian meminum jamu pemberian mertuanya minggu lalu, Mesih yang kebetulan lewat cukup penasaran. Ia yang terbilang berpengalaman dengan berbagai ramuan itu berucap juga ingin mencicipi.
Mayang terkekeh kala itu. “Apa Ninik juga mau awet muda?” kelakarnya.
Mayang mengangsurkan gelasnya yang berisi sedikit jamu pada Mesih yang kini ikut duduk di lantai kayu beralas tikar purun.
“Siapa yang tahu bukan? Kalau aku bisa muda lagi, mungkin masih laku.” Sahut Mesih dengan gelak tawa yang tak mau kalah.
Setelah menyesap sedikit isi gelasnya, Mesih berujar dengan mimik muka serius. “Mayang. Ini bukan jamu untuk awet muda. Dari aromanya saja aku tahu, ini campuran kunyit dan akar biduri. Biasanya ramuan seperti itu digunakan untuk KB alami. Mungkin ini penyebab kalian belum juga memiliki keturunan.”
Tapi sayangnya, sampai saat ini, Mayang masih mengkonsumsi jamu tersebut. Ia lebih mempercayai sang mertua dari pada tetangga yang menurutnya sok tahu itu.
Kata suaminya, Ibu Edi sangat menyayangi Mayang meski mereka tak pernah bertemu. Tapi, ia hanya bisa mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara mengirimkan barang-barang untuk Mayang. Alasannya tak ada lain. Seperti yang Edi sebutkan sebelumnya, walau mertuanya itu juga memiliki niat untuk mengunjungi Mayang, apalagi Ibu Edi sudah cukup berumur. Pasti ia tak mau orang tuanya itu kesulitan saat di jalan.
Jadi, mana mungkin mertua yang sangat perhatian dan menyayanginya itu tak menginginkan cucu dari Mayang dan Edi bukan?
Setelah menghela napas keras, Mayang kini menarik kakinya, ia biarkan Edi rebahan tanpa alas kepala. Lalu, Mayang menggeser pantat ke tepi dan beranjak meninggalkan suaminya.
“Ke mana Yang? Kau belum mengikis ketombe di kepalaku,” keluh Edi.
Benar. Sedari tadi mayang hanya memainkan rambut Edi dengan menyelipkan jemari di antara rambut suaminya saja. Ia lebih fokus dengan pikirannya sendiri akibat komentar yang tak mengenakkan dari lelaki pendamping hidupnya itu.
“Mau ambil cermin sebentar. Melihat keriput.” Mayang ingin memastikan kebenaran dari perkataan suaminya.
Benar saja, begitu cermin berbingkai rotan ia hadapkan ke wajah. Mayang melihat dengan jelas garis-garis yang dimaksud Edi. Dan parahnya, guratan-guratan itu bukan hanya di bagian mata saja, melainkan pada dahi dan lehernya juga. Ia jengkel, tapi tak tahu apa lagi yang harus ia gunakan untuk menghilangkan tanda penuaannya itu.
Jika dipikir lagi, sebenarnya wajar kerutan itu mulai ada di usia Mayang yang sudah hampir memasuki kepala lima sekarang. Tapi, pikiran untuk kehilangan Edi begitu sangat menyiksanya. Kini Mayang terduduk di lantai beralas tikar purun, menyembunyikan muka di antara dua lutut. Ia merasa begitu putus asa.
Edi yang begitu yakin Mayang mulai terpengaruh dengan perkataannya tadi, ikut menyusul ke dalam. Dilihatnya posisi sang istri yang sudah bisa ditebak dalam keadaan menangis, membuatnya wajib melancarkan rencana selanjutnya.
Terlebih dulu, Edi ke kamar. Mengambil tas anyaman rotan yang tergantung di sudut ruangan. Lalu, ke luar dan duduk bersila di hadapan Mayang.
“Sebenarnya aku punya titipan Ibu yang lain.”
Mayang mengangkat kepala dan menyeka pipinya yang basah saat sang suami terdengar akan berbicara serius.
“Apa? Apa itu jamu lain agar aku bisa tetap awet muda?” tanyanya penuh harap.
“Sepertinya begitu. Ibu juga menggunakan ini. Tapi, karena aku bercerita keadaanmu sebelum pulang tadi, ia dengan senang hati memberikannya padamu.” Edi mengeluarkan sebuah buntilan kain kecil berwarna hitam.
“Apa kau melihat keriput ini sudah lama?” Wanita itu memastikan. Sebelumnya ia jarang bercermin, hanya sesekali. Membubuhkan bedak rempah pun, hanya dengan meraba wajahnya saja.
Edi mengangguk sambil merengut. Istrinya semakin tak keruan.
Mayang langsung merebut buntilan dari suaminya dengan sudut bibir yang tertarik ke atas. Ia senang, lelaki itu sudah mendapat solusi untuk keresahan hatinya.
Begitu dibuka, kening Mayang malah berkerut. Botol kecil seukuran telunjuk di tangannya itu sudah bisa di pastikan isinya minyak. Bukan jamu. Bagaimana caranya minyak yang isinya lebih dari separuh itu bisa membuat cantik dan awet muda? Sungguh, menurut Mayang itu tak masuk akal.
“Jika kau bersedia menggunakan itu, aku akan memberi tahu syaratnya,” ujar Edi sambil menarik naik satu alisnya.
Sedangkan Mayang masih bingung memerhatikan botol di tangannya.