“Diam kau, Maya. Kau tak tau apa-apa dengan dendamku ini. Kalian semua pasti akan tau betapa toxicnya ayah kita itu hingga aku begitu membencinya!!” teriak Miya lalu sesaat kemudian membantingkan pintu mobil sekuat-kuatnya hingga Maya terpana karenanya.
“Kenapa dia begitu membenci ayahnya sendiri,” bisik Maya yang terus memandangi mobil adiknya yang perlahan meninggalkan halaman rumah mewah tempatnya kini tinggal.
“Kau pasti tak menyangka adikmu sebenci ini pada Ayah, kan?” Mala mendekati putrinya yang begitu ketakutan melihat kembarannya yang berubah begitu drastis belakangan ini.
“Iya, Bu. Aku tak tau kalau dia menyimpan dendam yang begitu tebal pada ayahnya sendiri. Padahal selama ini kita selalu menanggap Ayah orang yang sangat baik,”
“Kita tak akan bisa menduga penilaian orang pada kita hanya dari apa yang tampak. Kau harus tau kalau dia sebenarnya jadi begini juga karena bisikan Inaya yang kejam ini,”
“Ibu!” panggil Ray yang baru saja turun dari mobil yang dia parkir tak jauh dari tempat Maya terpaku menghadap ke halaman.
“Ray!”
“Kalian kenapa?” tanya Ray cemas.
“Itu, tadi, Miya! Dia datang marah-marah sampai mengatakan semua rencana jahatnya,”
“Miya punya rencana apa lagi,” Ray meraih tangan Maya lalu menatap tajam mata gadis manis itu.
“Dia bilang dia akan membunuh ayahku,”
“Sungguh?! Kenapa dia begitu kejam mengatakan ini pada kalian?”
“Entahlah. Dia sepertinya punya dendam pada ayahnya.” Mala memutar wajahnya ke arah Maya. “Kepada Maya juga,”
“Bukannya dia itu gadis pendiam?”
“Ku pikir juga begitu, ternyata dia sangat menakutkan,” desis Maya dan sedetik kemudian memejamkan matanya yang segera basah oleh air matanya. “Ternyata adikku itu monster,”
“Jangan bicara begitu, mungkin dia sedang mabuk atau dalam pengaruh obat hingga dia lepas kendali seperti itu,” Ray mencoba menenangkan Maya.
Tak sanggup mengetahui kenyataan mengerikan itu, Mayapun menyandarkan kepalanya di dada Ray yang bidang sambil sesegukan meluapkan semua kekagetannya atas perubahan adiknya yang semakin mengerikan.
“Jangan menangis, Nona. Aku akan melindungimu,”
“Ray, tolong jaga Maya dulu, aku mau lihat ayah Maya di dalam,”
Ray menangguk mendengar perintah Ibu Mala lalu melangkah bersama Maya memasuki rumah dan duduk di ruang tengah yang sudah kembali sunyi setelah kepergian Miya.
Maya terus menceritakan apa yang dikatakan Miya kepada Ray sebagai caranya meminta bantuan pada pemuda tampan ini untuk melindunginya dari kemarahan Miya yang baginya kelewatan.
“Aku rasa itu hanya karena dia marah saja. Dia tak mungkin sekejam itu,”
“Iya, aku harap aku cuma sedang bermimpi atau semua terucap karena dia sedang marah saja,” Maya meraih tangan Ray lalu menghela nafasnya dua kali. “Tapi bagaimanapun aku ingin kau melindungi kami!”
“Tentu, itu sudah jadi tugasku sejak pertama kali kita bertemu,”
Senyum Maya akhirnya mengembang dan Ray yang duduk dekat dengan Maya lalu menghapus air mata Maya dengan tisu yang dia ambil dari atas meja di depannya.
Ray lalu berdiri untuk menuju ke dapur, dia tau hati Maya yang begitu gundah karena perkataan adiknya butuh pelaruh.
“Ray, kau mau kemana?” tanya Maya saat langkah Ray yang bergegas.
“Tunggu!” seru Ray dan diapun mengambil sebotol minuman bersoda yang dingin dan manis di dalam kulkas kemudian kembali ke ruang tengah.
“Aku bawa sesuatu, minumlah!” seru Ray sambil melebarkan senyumannya kepada Maya yang menyambutnya dengan ceria.
“Wah, Ray. Kau baik sekali. Aku pikir tadi kau mau kemana,”
“Aku tau kau butuh ini, hanya soda memang tapi ini akan membuatmu kembali ceria!”
Maya meraih botol soda itu sambil terkekeh, dia lalu membuka tutupnya dan meneguknya perlahan. “Ah!”
“Segar, kan?”
“Iya, ini segera sekali. Meski ini hanya sesaat tapi terima kasih. Aku akan sangat lebih berterima kasih jika kau mau tetap disampingku dan menjaga kami paling tidak sampai Miya tak lagi mengangguku.”
“Kalau mengganggu pasti dia akan terus mengganggumu,”
“Kenapa kau yakin sekali?”
“Kau ingat dua orang wanita yang berbincang di dalam toilet di KFC semalam?”
Maya memutar ingatannya lalu mengangguk, “Iya, aku ingat! Kenapa?”
“Ini mereka, kan?” Ray menyodorkan ponsel yang di layarnya terpampang jelas gambar Miya bersama kedua teman wanitanya yang sedang berbincang disebuah kafe dekat kampus.
“Aku tak tau, aku tak melihat jelas wajahnya. Tapi aku ingat suaranya,”
“Mmm, kalau suara aku tak ada. Tapi kita akan membuntuti mereka untuk meyakinkan apa benar dua wanita ini adalah orang yang sama dengan yang kau dengar perbincangannya di toilet kemarin,”
“Iya, tapi dari mana kau dapat foto ini?”
“Dari Ikbal. Dia bilang ketiganya merencanakan hal yang buruk padamu. Kita lihat saja besok. Apa benar yang didengar Ikbal itu akan benar-benar mereka lakukan,”
“Memangnya apa yang mereka rencanakan?”
Ray kemudian membisiki Maya tentang apa yang dikatakan Ikbal. Sebuah rencana yang diluar nalar Maya karena ternyata dia tak mengenal kembarannya dengan baik.
Setelah mendengar rencana yang diceritakan supirnya, Mayapun bersiap untuk kembali kuliah keesokan harinya.
Hari berganti dan Maya segera bangun dan bersiap untuk kuliahnya har ini.
“May, ini baru jam 7 pagi. Kau mau kemana?” tanya Ibu Mala yang heran dengan putrinya yang sudah cantik dengan sarapan lengkah di depannya.
“Aku ada perlu, Bu.”
“Tumben!” kekeh Ibu lalu mengelus lembut rambut putrinya itu. “Tapi kau hati-hati, ya. Setelah kedatangan Miya kemarin, aku jadi takut kalau dia akan benar-benar melukaimu,”
“Iya, aku sudah janjian dengan Yuki, Ikbal dan Ray. Mereka akan menjagaku bergantian. Jadi Ibu tenang saja,”
Tin! Tin!
Ray membunyikan klakson dua kali di halaman rumah seakan sangat terburu hingga tak sempat masuk dulu ke dalam rumah.
“Astaga, kenapa dia tak masuk saja,” gerutu Ibu dengan mata melirik ke arah pintu rumah yang terbuka hingga dia bisa melihat siapa yang membunyikan klakson.
“Itu Ray. Kami harus pergi!” seru Maya lalu meraih tas kuliahnya.
“Salim dulu!” teriak Ibu dan Maya segera mengecup punggung tangan Ibu sebelum bergegas pergi dengan mobil yang dikendarai supirnya.
“Kenapa buru-buru? Ya Tuhan, semoga mereka baik-baik saja,” bisik Ibu dan Mayapun hilang dari pandangannya.
Maya duduk di samping kursi kemudi untuk menanyakan ulang pada Ray apa saja yang akan mereka lakukan hari ini dan tentunya dia ingin semua rencana yang mereka sudah susun akan berjalan dengan baik.
Setelah penuturan Ray yang panjang akhirnya keduanya tiba di halaman kampus yang masih sepi dimana Yuki dan Ikbal sudah menunggu di sana.
“Itu mereka!” tunjuk Ray lalu memarkirkan mobil tak jauh dari tempat Yuki dan Ikbal menunggu.
“Ayo cepat. Kita tak boleh terlihat saat mempersiapkan rencana ini!” seru Yuki yang datang dengan sebuah tas besar dibahunya.
“Kau sudah siapkan semuanya?” tanya Ray dengan bersemangat.
“Sudah! Pokoknya kalian jalankan apa yang sudah kita rencanakan kemarin,”
“Siap!” seru Ikbal dan Maya hampir bersamaan.