Maya segera masuk mobil dan dengan cekatan Ray menyalakan mesin mobil lalu berjalan lambat di belakang mobil yang dikendarai sendiri oleh Inaya tanpa terlihat.
Mereka menyusuri jalanan kecil di sekitar area Blimbing hingga tiba di Jalan Sukarno-Hatta yang lebih ramai.
Mata Ray terus mengikuti gerak mobil Inaya yang kemudian mempercepat laju mobilnya karena curiga sedang dibuntuti.
“Kita sepertinya ketahuan,” bisik Ray yang langsung menepi agar tak semakin dicurigai Inaya.
“Iya, dia juga berhenti! Cepat lari!” pinta Maya dengan wajahnya yang mulai ketakutan.
Tanpa berpikir panjang, Ray segera menginjak pedal gas, memutar stir ke kanan lalu mempercepat laju mobil yang dia kendarai meninggalkan Inaya yang terlihat kesal.
“Dia kesal,” kekeh Maya lalu menepuk bahu Ray yang bisa begitu tepat menginjak pedal gas.
“Kau tak usah takut, Nona. Aku kan sudah janji akan selalu menjagamu,” tutur Ray dengan begitu lembut hingga hati Maya berbunga-bunga dibuatnya.
“Terus kita kemana?” tanya Yuki memecahkan hayalan indan di kepala Maya.
Maya terdiam sesaat lalu menoleh kembali ke arah Ray yang masih menyeimbangkan stir di tangannya untuk memastikan laju mobilnya.
“Ray, dia bertanya padamu?”
“Kita berputar saja, aku tau jalan lain menuju jalan yang tadi.”
“Oh!” Yuki menangguk lalu menoleh ke arah Ikbal yang masih saja menoleh ke belakang untuk memastikan Inaya tak membuntuti mereka.
“Sepertinya aman,” bisik Ikbal lalu memutar wajahnya ke arah depan agar Ray bisa berbincang sambil melihat wajahnya yang datar.
“Iya, aku sudah ingat jalannya. Itu!” tunjuk Ray pada ujung jalan yang ternyata hanya berjarak beberapa meter dari mobil yang dikendarai oleh Inaya.
“Bagus, kita jangan belok dulu. Nanti kalau mobilnya sudah jalan, baru kita maju,” pinta Maya yang mendapat anggukan dari semua.
Mobil Inaya mulai melaju lambat dan ini saatnya Ray lanjut membuntuti mobil istri kedua Tuan Winata itu.
“Cepat!” pinta Maya tapi Ray malah menggelengkan kepalanya. “Kenapa?”
“Dia sudah tau kita buntuti, jadi kita tak bisa melanjutkan perjalanan dengan mobil ini,”
“Lalu?!” Maya terlihat tak terima dengan rencana supirnya itu.
“Aku baru saja kirim orang untuk membuntuti mobil itu,”
“Bagaimana caranya?” tanya Maya tak mengerti.
Ray terkekeh lalu meraih tangan nona muda itu. “Mereka sudah profesional, Nona. Jadi kau tenang saja!”
Maya menarik tangannya lalu menatap Yuki yang duduk di jok belakang. “Kau lupa kan kalau mereka ada di belakang,”
“Hehehehe!” Ray terkekeh menyadari tindakannya membuat Maya jadi malu karenanya. “Maaf!”
“Jangan ulangi lagi,”
“Iya!” jawab Ray singkat tapi begitu jelas bagi Maya.
Tulilulit!
Pesan singkat diterima di ponsel Ray dan bodyguard itu langsung membuka layar ponselnya. “Mereka di kafe ini! Kau tau ini di mana?”
“Ini di Rajabali. Aku tau tempatnya,” seru Yuki yang memang biasa makan malam di tempat yang interiornya sama persis dengan foto yang diterima Ray.
“Bagus! Katakan padaku kita harus lewat mana,”
Mobil kemudian kembali melaju menuju daerah Rajabali. Kafe ini berada di dekat pusat kota, dekat sebuah bank yang biasa didatangi Maya saat harus membayar warkat.
Mobil kemudian diparkir di bank yang diceritakan Maya sehingga keempatnya harus menyebrangi Jalan Basuki Rahmat yang siang itu sangat macet.
“Itu kafenya,” tunjuk Yuki meyakinkan ketiga temannya.
“Bagus, kita ke sana sekarang!”
Mereka kemudian masuk ke dalam kafe yang siang itu sangat ramai lalu duduk di dekat meja tempat Inaya dan Miya berada.
“Ini terlalu jauh, Ray. Kita tak akan bisa mendengarkan percakapan mereka,” bisik Maya yang posisi duduknya membelakangi Inaya dan saudara kembarnya.
“Tenang, ada pelayan yang akan meletakkan mic di meja mereka hingga kita bisa mendengarkan percakapan mereka dari sini,”
“Canggih juga kau ini,” puji Ikbal sambil melempar senyuman pada pria muda yang ternyata sangat berbakat dalam bidang mata-mata itu.
Seperti yang dikatakan Ray, seorang pelayan kemudian menghampiri meja Inaya dan Miya kemudian meletakkan sebuah serbet berwarna putih yang di dalamnya terdapat mic kecil.
Mic itu tersambung dengan ponsel Ray dan merekapun bisa mendengarkan semua percapakan Miya dengan jelas.
“Tuh!” tunjuk Ray saat suara percakapan dua wanita cantik itu sampai ditelinga mereka.
“Iya, kau memang canggih. Aku salut padamu,” puji Ikbal lagi sambil bersandar santai di kafe bertema Eropa kuno itu.
“Kalian pesan makanan saja, kita pasti butuh banyak waktu untuk menunggu mereka menyelesaikan percakapannya,” pinta Maya lalu menyodorkan buku menu pada keempatnya.
“Wah, ini mewah,” Yuki dan Ikbal nampak yang paling girang siang itu.
“Jadi apa yang kau rencanakan, Miya?” tanya Inaya yang suaranya sampai ke ponsel Ray.
“Aku mau kita mengembalikan kekuasaan ayahku dulu, kita minta dia duduk lagi di poisisinya yang terhormat itu lalu barulah aku menyuruhnya mengganti nama-nama di posisi penting perusahaan dengan namaku,”
Inaya terkekeh mendengar rencana putri tirinya itu sambil terus menatap tajam gadis yang otaknya sangat licik ini.
“Kenapa tertawa? Aku serius dengan ucapanku. Kau tau kan aku tak pernah main-main!”
“Iya, aku tau kau tak main-main,” Inaya menyalakan sebatang rokok di sela jarinya lalu mengepulkan asapnya ke wajah Miya yang sangat lugu itu. “Aku tak menyangka jika rasa sakit hati bisa merubahmu seganas ini,”
“Jangan ledek aku!” hardik Miya yang memang tak pernah suka disebuah korban sakit hati terlebih kata-kata itu keluar dari bibir ibu tirinya.
“Aku tak meledekmu. Aku hanya ingin kau tau kalau aku sangat salut padamu, kau bisa membuat rasa sakit hatimu jadi kekuasaan yang tak terhingga ini,”
“Dengar,” bisik Maya yang semakin tau siapa Inaya sebenarnya.
“Apa?” tanya Ray tak mengerti dengan reaksi Maya yang begitu marah dengan kata-kata Inaya.
“Dia itu penghasut. Adikku jadi begini karena dia. Andai dia orang baik, dia pasti menghentikan adikku,”
Ray mengangguk lalu meraih tangan Maya yang meremas-remas serbet di atas mejanya. “Aku tau kau marah, Maya. Tapi jangan kelewatan,”
“Iya, aku sedang belajar sabar. Untuk aku tau ini sekarang. Kalau aku tau ini sebelum ayahku menikahi wanita ular itu, sudah ku potong lebih dulu kepalanya,”
“Hmmm!” Miya mendehem lalu melambaikan tangan ke arah pelayan yang berdiri tak jauh darinya.
“Eh, kenapa dia?” tanya Maya yang melihat wajah Miya yang tadi begitu cerita perlahan berubah seperti orang yang sesak nafas hingga butuh segelas air untuk melegakan tenggorokannya.
“Ada yang salah dengannya?” tanya Ray tapi belum bergerak dari tempat duduknya.
“Apa kita dekati dia?” tanya Ikbal yang juga melihat perubahan ekpresi Miya yang tiba-tiba jadi kesakitan sambil sesekali meraba dadanya yang mulai terasa sesak.
“Ambi-ilkan aku,”
Brak!
“Eh, kenapa dia?!” tunjuk Maya yang bergegas bangkit dari tempat duduknya.
Tubuh Miya terkulai lemas ke lantai dan semua orang yang berada dekat dengannya jadi histeris dibuatnya.
Situasi jadi kacau dan semua orang berlomba-lomba mendekati Miya untuk memberi pertolongan termasuk Ray, Maya dan Yuki.
“Miya! Kau kenapa?” Maya meraih tubuh adiknya dan membalikkan tubuh lemah itu agar wajahnya bisa menghadap ke atas.
“Eh, mana Inaya?” tanya Ikbal yang baru sadar jika ibu tiri Maya itu sudah tak ada di posisi yang seharusnya.
“Apa? Kau bilang apa?” tanya Maya sekali lagi tapi tak dapat mendengar perkataan Ikbal.
“Inaya kabur!! Kita harus bawa Miya ke rumah sakit. Pasti ada yang salah dengan adikmu!” seru Ray yang menyadari apa yang dikatakan oleh Ikbal.