Raja membawa Kenari menyusuri lorong rumah sakit mewah ini menuju ke kamar dimana ibu Raja sedang dirawat. Selama perjalanan menyusuri lorong itu, keduanya sama-sama terdiam, seolah mengupas jalan pikiran masing-masing. Hanya detak alas kaki mereka yang terdengar menggema di sepanjang lorong yang senyap itu.
Kemudian Raja menghentikan langkah kakinya di depan sebuah kamar dengan tulisan ‘ruang melati’. Laki-laki itu kemudian menghentikan langkahnya dan menghadap ke arah Kenari setelah membuka pintunya.
“Masuklah,” suruh Raja.
Kenari menatap laki-laki itu kemudian mengangguk. Dia lantas masuk ke dalam, diikuti oleh Raja di belakangnya. Dengan langkah pelan mereka berdua mendekati perempuan tua yang sedang terbaring di atas hospital bed itu. Seorang perempuan muda dengan pakaian perawat terlihat duduk di sisi pasien sambil mengupas buah jeruk untuk pasien.
Melihat kedatangan Raja dan Kenari, perawat itu berdiri dan mengangguk santun sebelum kemudian memilih menyingkir memberi ruang pada mereka berdua.
“Bagaimana keadaan ibu, Sus?” tanya Adam pada suster itu.
“Sudah jauh lebih baik, Tuan. Beliau ini mulai mau makan buah,” jawab suster itu.
Adam mengangguk.
Melihat kedatangan Adam bersama dengan seorang perempuan muda yang manis dan lembut, Hasnah —ibu Raja— menatap anak lelakinya dengan penuh tanda tanya. Masa kritis perempuan ini memang sudah berlalu karena perawatan yang baik dan penanganan yang intensif di rumah sakit ini.
“Siapa ini, Ja?” tanya Hasnah menatap Raja penuh rasa ingin tahu.
Mendengar pertanyaan itu Kenari segera mendekat dan menjabat tangan Hasnah, mencium tangan perempuan tua itu dengan santun dan senyum yang ramah. Mendapat perlakuan seistimewa itu, Hasnah menatap Raja kembali. Seolah ini hal aneh yang baru saja dirasakannya, seorang perempuan yang begitu santun padanya.
“Namanya Kenari, Bu.” Adam memberikan jawaban sambil mengambil kursi untuk Kenari agar bisa duduk lebih dekat dengan Hasnah.
“Perkenalkan, saya Kenari, Bu. Teman Bapak Raja.” Kenari menimpali dengan senyum ramah.
“Dan Kenari, ini ibuku. Perempuan paling mulia dan cantik yang pernah hadir dalam hidupku,” ujar Raja membuat Hasnah tersenyum.
“Perkenalkan juga, aku Hasnah. Ibunya Raja,” perempuan tua itu meski sakit tapi masih sanggup beramah tamah karena kondisinya yang memang sudah mulai membaik.
Kenari mengangguk.
“Begitulah Raja, Nak Kenari. Selalu pandai membuat ibunya bangga karena selalu merayu dengan pujian cantik untuk ibunya. Tapi dia tak pernah bisa membawa satupun perempuan untuk dibawa ke pelaminan setelah sekian lama sendiri,” kata Hasnah sambil melirik ke arah Raja dengan sorot mata mengejek.
Raja hanya tersenyum.
“Belum ketemu yang cocok, Bu,” hanya itu jawaban Adam.
“Kalau mencari yang benar-benar cocok, ya, tidak akan ketemu, Ja.” Hasnah menegaskan.
“Nanti saya bawa menantu buat Ibu, tenang saja,” seloroh Raja.
“Lalu bagaimana dengan nak Kenari ini? Apakah dia kekasihmu, Raja?” tanya Hasnah langsung tanpa basa-basi lagi.
Mendengar pertanyaan Hasnah, Raja dan Kenari saling pandang dengan senyum tertahan.
“Kenari hanya teman, Bu. Kebetulan tadi ketemu di mall jadi aku ajak dia sekalian menjenguk Ibu ke sini,” sanggah Raja karena merasa tak enak dengan Kenari atas pertanyaan ibunya itu.
“Usia kamu sudah semakin matang, Ja. Jangan biarkan kesedihanmu semakin berlarut-larut,” Hasnah kembali menasehati Raja.
“Nanti akan ada jodoh saya, Bu. Ibu tenang saja,” jawab Raja menenangkan ibunya.
Setelahnya, Kenari mengajak Hasnah berbincang macam-macam pokok bahasan untuk mengalihkan pembahasan mengenai jodoh untuk Adam. Karena sepertinya Adan tak nyaman dengan pembicaraan ini.
Mereka terlibat dalam obrolan yang hangat dan akrab. Kenari juga cukup pandai dalam mengajak Hasnah berbincang. Raja hanya memandang mereka berdua dengan senyum yang merekah. Serasa dunianya yang dulu penuh kehangatan, kini hadir kembali sore ini.
Bahkan tawa renyah terdengar sesekali dari Hasnah. Wajah perempuan tua itu terlihat sumringah. Wajahnya yang kemarin memucat, kini terlihat bersemu merah. Dunia Raja mendadak penuh bunga dan warna.
***
Beberapa saat setelah Raja dan Kenari berjalan beriringan melewati kafe dimana Adam dan Bella sedang berada di sana, laki-laki itu terlihat memerah mukanya. Jelas terlihat bahwa dia diamuk oleh amarah tanpa sebab.
“Sepertinya itu sekretaris kamu, Dam? Sama siapa dia?” tanya Bella dengan sengaja untuk memprovokasi Adam.
Adam terdiam. Bukan karena tidak ingin menjawab atau kehilangan jawaban, namun sepertinya Adam tak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bella.
“Dam?” panggil Bella sambil memegang tangan Adam dengan lembut, mencoba mengulang masa-masa manis mereka dahulu.
Adan terkejut dan menatap Bella.
“Ada apa, Bell?” tanya Adam masih dengan muka yang tak sedap dipandang mata.
Bella ingin rasanya mendegus kasar, namun dia sadar bahwa saat ini dia sedang mengusahakan untuk kembali dekat dengan Adam, mendekatinya kembali untuk memulihkan kondisi ekonomi pribadinya yang terlanjur tinggi biayanya.
“Sepertinya tadi Kenari yang lewat?” Bella mengulang pertanyaannya.
Dilihatnya Adam tersenyum masam.
“Iya. Dia Kenari,” jawab Adam dengan yakin namun bernada pasrah.
“Lho, kukira semalam kamu sama dia kencan? Makanya kukira kalian pacaran, kan?” tanya Bella.
Perempuan itu terdiam saat seorang pelayan datang mengantar pesanan makanan.
“Sudah aku bilang kalau dia bukan pacarku, kan?” tanya Adam menyeruput minuman yang baru diantar itu.
Senyum bella terkembang sempurna.
“Apa karena kamu tak bisa melupakan aku, Dam?” tanya Bella lirih dengan penuh percaya diri, seolah Adam memang tak bisa melupakannya sehingga menjadikan kenari sebagai cadangan.
Adam tersenyum masam.
“Apakah kamu melihat aku sedang tidak bisa melupakan kamu?” Adam balik bertanya.
Bella tersenyum.
“Aku tak yakin. Tapi kurasa ini adalah alasan paling masuk akal. Benar, kan?” tanya Bella masih dengan penuh rasa percaya diri.
“Ini yang harus aku jelaskan sama kamu, Bell. Kuakui aku kesal ketika akhirnya kamu memilih menduakan aku, meski hubungan kita memang berbasis kebebasan. Tapi kurasa memang ini yang terbaik, kan? Kamu bisa lepas dariku dan bebas bersama siapapun yang kamu mau. Dan aku mungkin memang sebaiknya mencari yang lain, yang sepaham denganku, yang bisa kujadikan teman berbagi dalam konsep yang disepakati,” jawab Adam dengan pelan namun sangat jelas.
“Dam? Apa maksudmu?” tanya Bella dengan kening berkerut kesal.
Adam tersenyum.
“Maksudku sudah jelas, kan? Kita sudah lepas satu sama lain. Kita seharusnya mencari jalan sendiri-sendiri. Kamu dengan kenyamanan kamu, dan aku dengan kenyamananku.” Adam menegaskan.
“Dam? Apakah kamu tidak mempertimbangkan kebersamaan kita selama ini? Kita begitu mesra dan kompak satu sama lain. Bertahun-tahun kita bersama, Dam. Dan itu tak mudah untuk aku lupakan.” Bella masih saja ngotot.
“Tapi bertahun-tahun itu tak membuat kamu mau setia sama aku, kan, Bell?” tanya Adam menohok hati.
“Kita dalam posisi yang masih bebas, Dam. Tak ada salahnya jika sekali-sekali aku butuh penyegaran, kan?” tuntut Bella.
“Sayangnya kamu tidak hanya sekai melakukannya, kan, Bell?” tanya Adam.
“Tapi, Dam? Aku masih cinta sama kamu,” bujuk Bella.
“Stop, Bell! Aku tak mau membahas cinta di sini karena bagiku cinta hanya sebuah pengikat yang tak harus ada dalam sebuah hubungan.” Adam menghentikan protes Bella.
Bella terdiam.
“Apakah karena kamu sedang mengejar Kenari? Perempuan dengan performa baik yang juga ternyata pergi dengan laki-laki lain di depan matamu di saat kamu tengah mengejarnya?” tanya Bella dengan tandas.
Mendengar hal ini Adam menjadi marah. Dia memang kesal saat melihat Kenari berjalan beriringan dengan laki-laki lain tadi. Tapi bukan berarti Bella berhak untuk menjatuhkan Kenari.
“Jangan sangkut pautkan Kenari dalam hal ini!” ujar Adam tegas dengan mata menatap Bella dengan sorot mata yang tajam.
Seketika Bella terkejut, antara gentar dan marah bercampur menjadi satu.
‘Secepat inikah usahanya mendapatkan Adam kembali berakhir dengan sia-sia?’
***