Dan kini Kenari gemetar di kamar mandi rumah kontrakannya. Kaki Kenari lemas, hingga nyaris tak bisa menahan berat tubuhnya, sementara tangannya gemetar memegang sebuah benda kecil pipih dengan dua garis merah pertanda pasti bahwa omongan Aiman tadi benar.
Dia sedang hamil saat ini.
“Hamil? Aku hamil?” gumam Kenari lirih, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Pipinya sudah basah semenjak tadi ketika dia memasuki rumah ini.
Kepalanya menunduk, menatap tangannya yang meraba perutnya yang masih datar karena mungkin kehamilannya baru beberapa minggu. Tangisnya luruh dengan suara tergugu, menyesali kebodohannya yang sudah terbawa arus hasrat Adam, meski mereka tanpa ikatan.
Bagaimana dia akan mengatakan hal ini pada Adam bila sekarang Adam lebih sering terlihat bersama Bella? Apa yang akan dikatakannya jika nanti ayahnya tahu? Apa komentar ibunya dan juga Dewi? Bukankah mereka pasti akan mencemooh Kenari sebagai perempuan murahan yang hamil di luar nikah tanpa ada yang mau bertanggung jawab?
Kenari tak tahu apa yang harus dilakukannya. Meminta Adam bertanggung jawab mungkin akan membuatnya dicemooh karena bagi Adam, bercinta tanpa ikatan adalah hal biasa. Jika sampai terjadi kehamilan, sudah pasti itu karena kecerobohan perempuan.
Hingga hari menjelang malam, Kenari masih menyesali hidupnya.
***
Beberapa hari ini, Kenari terus berpikir langkah apa yang harus diambil sehubungan dengan kondisinya yang hamil. Tak mungkin dia terus bertahan di Venus karena lambat laun kehamilannya akan semakin membesar. Kondisi psikisnya yang tidak nyaman berimbas pada kondisi fisiknya, sehingga belakangan dia terlihat semakin kurus dan pucat.
Kali ini, dia akan mengajak Aiman berbicara. Dia akan mengatakan yang sebenarnya mengenai kondisinya. Dia berharap Aiman akan menjadi kunci utama yang mau menutupi kasusnya kali ini.
“Mungkin aku harus resign dari Venus, Man,” ucap Kenari ketika sore ini dia sengaja mengajak Aiman pulang bareng dengan mengantarnya ke kontrakannya,
“Apa?!” tanya Aiman terkejut dengan keputusan Kenari yang tiba-tiba.
“Keluar, Man. Aku harus keluar dari Venus,” jawab Kenari dengan suara bergetar menahan tangisnya.
“Kamu nggak lagi ngigau, kan, Ken? Kamu sedang bercanda, kan?” ulang Aiman masih berharap bahwa Kenari sedang membual.
Tapi gelengan Kenari membuat Aiman lemas,
“Tapi kenapa, Ken? Selama ini kau bekerja baik- baik saja, kan? Kamu pegawai terbaik di Venus. Meski dulu hubungan kerja kamu sama pak Adam buruk. Tapi belakangan kalian berteman baik, kan?” tanya Aiman masih tak mengerti alasan Kenari sesungguhnya.
“Ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, Man. Ini murni kasusku, murni kesalahanku,” kata Kenari.
“Ya, tapi kenapa? Memangnya nggak ada solusi lain selain resign?” Aiman masih saja ngotot.
“Hanya ini satu-satunya jalan, Man. Aku tak punya jalan lain,” jawab Kenari dengan mata yang mulai merebak oleh air mata.
“Ken! Kamu masih menganggapku teman, kan? Masih menganggap aku saudara kamu, kan?” Aiman menatap Kenari tajam.
Kenari juga menatapnya dengan pipi mulai basah air mata. Gadis itu mengangguk.
“Lalu mengapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya masalah kamu ini? Kita bisa bicara, bisa mencari jalan keluar bersama. Kalau kamu korupsi uang perusahaan, kita bisa diskusi dan aku akan membantumu membayarnya,” ujar Aiman.
Kenari menggeleng. “Bukan masalah itu, Man. Kamu tahu, kan, aku nggak berkecimpung di bidang keuangan Venus?” Kenari menatap Aiman.
“Jadi masalah apa, dong?” desak Aiman.
Kenari menatap Aiman, bimbang. Jujur atau tidak? Jika mengelak, Aiman bukan laki-laki yang mudah menyerah begitu saja. Akan tetapi jika dia jujur, sudah pasti Aiman akan menganggapnya perempuan murahan. Tapi jelas jujur adalah hal baik yang bisa Kenari katakan, karena cepat atau lambat, Aiman pasti juga akan tahu.
“Aku hamil, Man,” ujar Kenari akhirnya.
Deg! Jantung Aiman seolah berhenti sejenak mendengar pengakuan Kenari kali ini.
“Ken! Kalau bercanda jangan keterlaluan, dong? Aku sport jantung, tahu!” Aiman berseru kesal.
“Hal sebesar ini buat apa, sih, aku harus bohong, Man? Ini juga harga diri aku, kan?” Kenari menatap Aiman dengan nada sendu dan wajah yang kusut.
“Jadi kamu serius? Nggak bercanda?” Aiman masih juga tak percaya.
Kenari mengangguk dengan air mata yang mulai merebak.
“Astaga, Ken?! Kok bisa jadi begini, sih?” Aiman menyesali apa yang telah terjadi.
Kenari diam. Dia hanya menggeleng. “Aku … aku nggak sengaja, Man. Itu juga karena aku mabuk waktu itu!” ujar Kenari.
“Lalu siapa laki-laki itu? Mengapa kamu nggak minta pertanggungjawaban dia? Memintanya menikahi kamu!” tanya Aiman dengan geram.
Kenari terdiam menunduk, namun air matanya mulai mengucur deras. Perempuan itu kemudian menggeleng.
“Tidak mau? Dia yang tak mau menikahi kamu? Atau kamu yang nggak mau menuntut dia? Katakan sama aku, siapa laki-laki bajingan itu? Aku yang akan datang padanya meminta keadilan buat kamu!” Aiman berkata tegas.
Kenari menggeleng.
“Man, aku nggak bisa bilang dia siapa. Karena ini bukan karena kesalahan dia sepenuhnya. Ini juga kesalahanku yang terlalu ceroboh!” Kenari menatap Aiman.
“Ya, kamu benar! Kamu memang bodoh dan ceroboh! Tapi masalah ini butuh solusi segera, kan, Ken? Kamu nggak bisa membiarkannya tumbuh terus membesar sementara kamu belum menikah!” Aiman benar-benar geram dengan sikap tertutup Kenari kali ini.
“Itulah sebabnya mengapa aku harus resign, kan, Man?” Kenari meminta persetujuan sebagai teman. Selain Citra, Kenari hanya punya Aiman.
“Memangnya kalau kamu resign semua masalah ini akan selesai? Bagaimana kamu akan membiayai hidupmu yang nanti akan semakin bertambah dengan anak yang kamu kandung? Atau kamu bisa menggugurkannya selagi dia masih belum besar,” tawar Aiman.
Kenari spontan mendongak, menatap Aiman yang sejak tadi berdiri mondar mandir di depannya.
“Menggugurkan bayi ini? Man, bayi ini nggak salah, aku yang salah. Aku sudah berbuat dosa, aku tak mau menambah dosa lagi dengan membunuhnya!” tolak Kenari dengan tegas.
“Tapi kehadirannya jelas akan menjadi masalah dalam hidupmu yang memang bermasalah ini, kan?” tanya Aiman.
Kenari diam, mengakui bahwa apa yang dikatakan oleh Aiman ini benar adanya. Melihat Kenari termangu, Aiman tak tega untuk membiarkan Kenari bersedih. Dia kemudian mengubah sikapnya untuk sedikit melunak.
“Maaf kalau aku emosi, Ken. Ini sungguh tak terduga.” Aiman berkata lembut. Mengusap kepala Kenari yang kembali meneteskan air matanya. Bagaimana mungkin Kenari yang demikian baik dan lurus tiba-tiba mengaku sedang hamil. Tak mungkin juga dia hamil sendirian tanpa sebab, kan?
Kenari menggeleng.
“Kamu nggak salah. Kamu nggak perlu minta maaf sama aku. Aku yang minta maaf karena sering membuat kamu repot,” ujar Kenari dengan suara serak oleh tangis.
“Tapi kita tetap membutuhkan solusi terbaik, Ken.” Aiman berkata dengan nada rendah, tak ingin membuat Kenari semakin terpuruk dengan amarahnya.
“Kamu punya cara lain selain membunuh bayiku ini?” tanya Kenari seperti anak kecil yang merajuk.
Aiman terpaksa tersenyum.
“Satu-satunya solusi terbaik adalah kamu mengatakan siapa laki-laki itu, agar kita bisa menuntut tanggung jawab dia sebagai ayahnya. Jangan hanya kamu sendiri yang menderita sementara dia melenggang begitu saja, Ken.” Aiman mencoba menenangkan nada suaranya.
Namun lagi-lagi Kenari menggeleng tegas.
Tidak! Dia tidak mungkin meminta tanggung jawab Adam dalam hal ini. Adam sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan juga sepertinya sedang menikmati kedekatannya kembali dengan Bella. Tak mungkin Kenari tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan mereka.
Kenari bertekad untuk tetap resign apapun resikonya. Langkah awalnya adalah menyelesaikan sedikit pekerjaannya. Dalam minggu ini mungkin akan selesai semua. Apalagi jadwal Adam juga sudah disusunnya sejak minggu kemarin.
Setelahnya, Kenari berencana untuk menjauhi kehidupan Adam. Sejauh-jauhnya.
***