Kali ini Aiman memang harus bersandiwara, meskipun di hadapan Citra. Memang sejauh ini Citra yang mengejar dirinya, dan Aiman juga berusaha menerima meskipun hatinya belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran perempuan ini.
Sebenarnya tak ada yang kurang dalam diri Citra, akan tetapi di awal pertemanan mereka bertiga jelas bahwa Aiman memiliki ketertarikan yang nyata dengan Kenari. Namun ketika dia tahu bahwa Kenari sudah memiliki Bagus, Aiman memilih posisinya sebagai teman. Bahkan ketika akhirnya pernikahan Kenari dengan Bagus gagal total, Aiman tidak mau mengambil kesempatan untuk kembali mendekati Kenari. Baginya, bersahabat dekat dengan Kenari sudah cukup bagus untuknya.
“Man?” panggil Citra ketika dilihatnya Aiman hanya termangu di sampingnya.
“Eh, ya? Ada apa, Tra?” tanya Aiman sedikit gugup.
Citra tersenyum dan mengira pasti Aiman mengetahui mengenai keberadaan Kenari. Kalau dia tidak tahu, seharusnya dia tidak perlu segugup ini, kan?
“Aku sengaja menjemput kamu untuk menanyakan Kenari,” ujar Citra ketika akhirnya mereka sampai di rumah kost Aiman yang tidak terlalu jauh dari Venus.
“Memangnya apa yang ingin kamu tahu?” tanya Aiman dengan lagak sok biasa agar tidak mencurigakan.
“Kenari katanya sudah resign beberapa bulan lalu,” kata Citra ketika mereka turun dari mobil.
Citra sengaja ikut masuk ke kontrakan Aiman yang penghuninya laki-laki semua. Beberapa tetangga kontrakan yang mereka lewati menyapa dengan senyum menggoda karena selama ini Aiman tak pernah membawa tamu perempuan ke kamar kostnya. Tidak seperti teman-teman kontrakannya yang sering membawa perempuan menginap.
“Lho, apa Kenari nggak bilang sama kamu?” tanya Aiman ketika membuka pintu dan mempersilahkan Citra untuk masuk.
Perempuan itu masuk sambil berdecak jengkel dengan reaksi Aiman.
“Kalau Kenari ada bilang sama aku, ngapain aku nanya sama kamu, Man?” tanya Citra dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
“Mau minum apa?” tanya Aiman memberikan penawaran pada Citra sambil berjalan ke belakang.
Meskipun ini memang kontrakan, akan tetapi pemiliknya membuatnya mirip rumah perumahan yang memiliki model dan ukuran yang sama, sekaligus fasilitas yang sama pula.
“Nanti aku bikin sendiri,” jawab Citra.
“Baiklah. Kamu duduk santai aja dulu, aku mandi dulu. Badan rasanya lengket, nanti kamu nggak mau lagi cium aku,” seloroh Aiman untuk menghindari percakapan mengenai Kenari.
Blush! Wajah Citra bersemu merah dengan kalimat ringan seperti itu.
“Kalau gitu cepat mandi sana!” sahut Citra yang kemudian memilih duduk di ruang tamu minimalis itu.
Aiman tertawa melihat Citra bersemu merah malu seperti itu.
Begitu Aiman mandi, Citra berjalan mengitari rumah ini dan melihat-lihat. Untuk ukuran laki-laki, rumah yang ditempati Aiman ini cukup bersih dan rapi. Citra tersenyum melihatnya, karena biasanya jarang ada laki-laki yang rumahnya rapi. Tapi Aiman berbeda. Semua yang ada di kontrakannya ini terlihat tersusun dengan baik. Citra merasa tak salah memilih Aiman untuk dicintai.
Sambil menunggu Aiman selesai mandi, Citra ke belakang hendak membuat minuman sekedar penghilang dahaga. Namun tak sengaja ponsel Aiman yang tergeletak di meja dekat dapur berkelip-kelip. Citra iseng melihat siapa yang menghubungi Aiman namun tidak ada nada deringnya sama sekali. Bahkan tidak juga diberi tanda getar.
Dan jantung Citra bagai dihantam palu ketika di sana muncul nama Kenari. Ingin rasanya Citra mengangkat panggilan itu, akan tetapi dia ragu. Dia tak mau nanti terjadi sesuatu yang tidak diketahui.
Akhirnya meskipun Citra penasaran, dia memilih tidak menerima panggilan itu. Hanya saja dia akan menguji kejujuran Aiman kali ini. Usai membuat dua gelas coklat hangat, karena hanya itu yang ada di kulkas Aiman, Citra kembali ke ruang tamu dan berlagak seolah dia tidak tahu ada panggilan masuk.
“Hei, kamu sudah membuat coklat hangat?” tanya Aiman yang ternyata sudah selesai mandi dan sudah muncul kembali di hadapannya dengan tampilan yang jauh lebih segar.
Seketika Citra terpukau. Bagaimanapun, dalam keadaan santai seperti ini Aiman jelas terlihat jauh lebih tampan dan mempesona. Senyum Citra tersungging dengan jantung yang semakin berdegup kencang. Citra mengumpat dalam hati ketika menyadari bahwa dia semakin jatuh hati dengan lelaki ini.
“Aku bikin dua. Satu buat kamu kalau kamu mau,” ujar Citra dengan kalem.
Aiman tersenyum kemudian duduk di hadapan Citra. Mengambil coklat panas yang dibuatkan oleh Citra dengan senang hati.
“Mungkin seperti ini kalau nanti kita menikah, ya, Tra? Aku capek kerja, sampai kamu jadi hilang capeknya karena disuguhi senyuman kamu dalam secangkir coklat hangat?” kata Aiman sambil menikmati coklat hangatnya.
Tentu saja dia bukan tak sengaja memuji Citra seperti itu, meski hasilnya tetap membuat Citra tersipu malu.
“Memangnya kita mau menikah?” tanya Citra yang mendadak manja dan malu-malu jika sudah bersama Aiman.
Padahal siapapun tahu bahwa Citra adalah perempuan mandiri yang tangguh meskipun kadang-kadang juga ketus, apalagi terhadap Adam.
“Mengapa tidak?” tanya Aiman dengan santai. “Kita ini dua orang laki-laki dan perempuan, sama-sama lajang dan tidak sedang terikat dengan pihak lain, saling menyayangi. Kamu baik sama aku dan aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu. Tak ada salahnya jika kita merancang sebuah pernikahan, kan?” tanya Aiman dengan santai.
Citra semakin tersipu malu.
“Memangnya kapan kamu akan menikahi aku?” tanya Citra spontan.
Jleb!!!
Aiman terkejut dengan pertanyaan Citra. Kini dia terjebak dalam kalimat yang diciptakannya sendiri. Namun Aiman tak mau kalah setting untuk menjawab pertanyaan Citra. Laki-laki itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada wajah Citra, dan spontan Citra menjauh dengan jantung yang berdebar hebat.
“Kamu maunya kapan?” tanya Aiman dengan suara lirih dan senyum menggoda.
Meskipun Aiman belum yakin dengan perasaannya, namun sepertinya dia tidak perlu berpikir dua kali untuk mengajak perempuan ini maju ke jenjang yang lebih tinggi dari sekedar dekat yang selama ini mereka lalui.
“Aiman … ini … ini bukan pembahasan main-main tahu?” ujar Citra dengan wajah memerah dan suara yang gugup sekali.
“Bukankah aku juga tidak main-main?” tanya Aiman dengan senyum kemudian sedikit menjauh dari Citra, membiarkan perempuan itu menghela napas dengan leluasa.
“Kamu … kamu yakin?” tanya Citra lagi.
“Ya. Kamu perempuan yang baik. Apakah aku punya alasan untuk menunda menikahi perempuan baik?” tanya Aiman dengan raut wajah yang serius.
“Tapi … tapi kamu tidak sepenuhnya mencintai aku?” tanya Citra masih dengan gugup.
Aiman tersenyum mendengar kekhawatiran Citra.
‘Mengapa semua perempuan harus repot hanya karena cinta? Tidak cukupkan mereka tinggal bersama dengan laki-laki dengan menjalani semuanya dengan baik? Tidakkah cinta bisa muncul kemudian? Toh orang-orang tua jaman dahulu nyatanya tetap langgeng sampai mereka sama-sama dijemput maut meskipun mereka tidak saling mencintai,’ gerutu Aiman dalam hati.
“Kurasa tak sulit untuk mencintai perempuan sebaik dan secantik kamu,” rayu Aiman membuat Citra lupa tujuan awalnya menemui Aiman, karena hatinya terlanjur penuh bunga.
***