Pagi – pagi buta, sekelompok prajurit tentara lari penuh semangat mengelilingi kompleks rumah mewah di perbukitan. Tegap, berkarisma dan rupawan. Mereka tak takut menyambut datangnya sinar matahari yang menyisingsing terbit dari ufuk timur.
Mendengar suara nyanyian prajurit yang lantang penuh semangat, Jane terbangun dari tidurnya. Dilepaskan puffy eyes merah muda dari kedua kelopak matanya, piyama kimono biru muda diraih dari punggung ranjang. Sambil menyimpul piyamanya, dia berjalan ke arah balkon.
“Selamat pagi, Nona Jane!”
Bibo. Si petugas taman menyapa perempuan dewasa yang baru bangun itu dengan lambaian sekop.
“Selamat pagi!”
“Bagaimana tidur Anda semalam, Nona?” tanyanya penuh penasaran.
“Seperti biasa, aku minum obat lagi.”
Diantara sepuluh pelayan yang dipekerjakan oleh ayahnya di rumah ini, Bibo termasuk satu – satunya pelayan paling ramah yang dia temui. Selain punya wajah rupawan, punya senyum lebar yang manis, usianya juga tak jauh berbeda dengan Jane. Bedanya, hanya sekitar lima tahun lebih tua dari Jane.
Putri sulung keluarga Seymor yang gampang terbangun itu menatap sinis pada sekelompok prajurit tentara yang berhenti di halaman terbuka rumahnya. Komandan mereka sedang memberi aba – aba keras. Menyuruh agar semua prajurit satu pleton itu duduk dan beristirahat sejenak di halaman rerumputannya.
Jane yang tidak suka privasi rumahnya diusik oleh orang lain menyuruh Bibo agar segera mengusir para prajurit itu. Tapi, Bibo menolak. Dia takut dengan orang – orang yang cinta mati pada negara.
Akhirnya, Jane pun turun dan menghampirinya.
Bertelanjang kaki, memakai kimono piyama selutut dan rambut panjang bergelombang yang masih setengah berantakan. Jane menghampiri sekelompok prajurit tentara yang sedang meluruskan kedua kakinya di rerumputan. Salah satu orang paling berani bertopi lebar bermotif khas militer maju dan menghadang jalannya.
“Selamat pagi, Nona!” sapa prajurit yang membawa tongkat rotan panjang. “Apa ada yang bisa kubantu?”
“Ya, ada!” melingkupkan kedua tangannya di depan dada. Dengan menatap marah, dia berkata “Tolong singkirkan semua anak – anakmu dari halaman rumahku.”
“Kami hanya beristirahat selama sepuluh menit. Lalu, setelah itu kami tak akan kembali lagi. Apa disini kami harus bayar ?” tantang komandan prajurit itu.
“Persetan denganmu!” umpat Jane. “Aku akan berikan waktu sepuluh menit. Tidak lebih. Ingat?!”
“Baik, Nona.”
Kegigihan sang komandan tentara yang tidak tahu diri itu membakar kemarahan Jane. Perempuan yang tinggal sendiri di rumah mewah dua hektar itu benar – benar dibuat kesal oleh orang asing. Pelayan yang melihatnya masuk dan membanting pintu depan dengan keras tak jadi menanyakan menu apa yang akan dilahapnya pagi ini.
Berangkat bersih – bersih diri dan mandi, dandan dan sudah berpakaian rapi. Jane mendapat telpon dari saudara – saudaranya, Rosa dan Marilin. Mereka berdua mengatakan pada Jane kalau ayah mereka masuk rumah sakit. Katanya sih, baru semalam, ayah mereka dirawat karena jantungnya kumat lagi.
“Hei, Ros! Apa ayah benar – benar masuk rumah sakit?”
Jane menjawab panggilan video call dari kedua saudarinya. Terlihat dua wanita cantik sedang sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Rosa yang sibuk memberi makan anaknya. Marilin yang sibuk dengan membereskan kamar yang penuh dengan dalaman baju yang bertebaran dimana – mana, kecuali kamera ponselnya.
“Seratus persen benar, Jane. Kami mendapatkan infonya dari asisten ayah tadi pagi. Dia bahkan mengirimkanku e-mail tagihan dari rumah sakit,” seru Marilin dengan desahan malas.
“Wow, rupanya setelah Carlos putus dari Mary, dia semakin dekat dan memperhatikan ayah. Apa ini pertanda kalau Carlos akan jadi suami kedua Marilin, atau kekasih simpanannya?” goda Rosa.
“Diamlah!” sentak Marilin dengan segulung baju di tangannya. “Urus saja anakmu yang kelaparan itu!”
Melihat kedua saudaranya bertengkar di telepon, Jane langsung melerainya.
“Sudahlah! Hentikan soal Carlos, mantan dan si bayi. Mari kita fokus pada ayah. Kenapa kalian tidak bisa waras sedikit sih?”
“Maaf, Jane,” jawab Rosa dan Marilin bersamaan.
“Ya, sudah. Kita ketemu saja di rumah sakit. Yang tau ayah dirawat di rumah sakit mana segera kirim alamatnya padaku. Ingat ya, kalian harus tiba disana maksimal malam ini,” peringat Jane.
“Tapi, Jane. Aku ada di Madrid. Bagaimana dengan anakku dan suamiku?” protes Rosa.
“Telpon mertuamu. Semuanya akan beres. Aku jamin,” jawab Jane.
“Lalu, aku ?” jawab Marilin. “Aku ini pengantin baru, Jane. Kami masih bulan madu di Ubud. Dan, kau seenaknya menyuruhku pulang ke Kanada malam ini ? Oh sorry, Jane. Aku tidak bisa.”
“Kalau Rosa tidak hadir. Aku juga tidak,” kata Marilin mendukung.
Baik Rosa atau Marilin, mereka berdua sepakat tidak akan pulang ke Kanada malam ini. Bukan karena mereka tak sayang ayahnya, tapi mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka dibandingkan dengan ikatan lamanya.
Karena hanya ada Jane yang saat ini masih satu negara dengan ayahnya, dia langsung berkendara seorang diri menuju ke Toronto. Dari Montreal ke Toronto, itu setidaknya butuh dua puluh liter bensin pulang pergi untuk konsumsi minum sedan mewahnya. Juga, menyetir panjang setidaknya dua jam lebih perjalanan.
Berangkat dengan perut kosong dan tak ingin mengidahkan pasukan tentara yang sedang berbaris bersiap pergi dari halamannya, Jane hanya peduli dengan ayahnya. Dia hanya punya satu tujuan malam ini, yakni bertemu ayahnya dengan segera.
Sang komandan tidak buta. Dia melihat sedan mewah melaju kencang menderu melewati jalan besar di sampingnya. Kedua matanya melihat perempuan cerewet yang suka marah – marah padanya itu sedang ada dalam masalah. Apapun itu, dia suka si perempuan tak menagih janjinya. Sebab, dia sadar, dia sudah istirahat lebih dari sepuluh menit.
Sesampainya di rumah sakit Toronto, Jane langsung menuju ke kamar rawat ayahnya. Disana sudah ada Carlos dan beberapa pengawal pribadi ayahnya. Mereka berjaga di depan kamar, tapi berusaha menghentikan Jane masuk.
“Nona Jane, saya mohon jangan masuk sekarang,” cegah Carlos. Dia memegang lengan kiri Jane.
“Kenapa?”
“Saya mohon jangan. Pokoknya jangan.”
“Kau itu kenapa sih ? Aneh!”
Jane mendorong Carlos hingga jatuh. Perempuan yang tidak suka dihentikan aksinya itu memaksa masuk ke kamar inap.
Betapa cukup terkejutnya dia melihat ayahnya yang berpakaian piyama rumah sakit sedang berdansa dengan perawat cantik. Apalagi, ada kru film dan perabotan lainnya yang sedang berdiri mengelilinginya.
“Ayah!”
Setelah Jane berteriak, suara teriakan lantang CUT! menghentikan segalanya.