Chapter 2 – Pengajian Rutin RT
Langit masih terang ketika aku tiba di rumah. Ibu juga sudah pulang dari tempat kerjanya. Oh, kuralat. Bukan sebenar-benarnya tempat kerja Ibu, melainkan milik Bapak. Tapi, berhubung Bapak sedang melakukan perjalanan bisnis ke Negeri Belanda, dan bisnis tersebut merupakan bisnis yang dikelolanya sendiri, maka Ibu berinisiatif untuk mengisi kekosongan pimpinan di kantor.
Alhasil, sejak Bapak berangkat lima hari yang lalu, setiap pagi Ibu selalu pergi meninggalkan rumah. Menuju kantor, dan menjadi perpanjangan tangan dari sang suami. Beruntung, selama ini Ibu sudah cukup terbiasa menemani Bapak di lokasi kerja. Jadi, beliau tidak terlalu panik saat diserahi tampuk pimpinan bisnis, meski hanya untuk sementara itu.
Sore ini, Ibu pulang lebih cepat. Maklum, hari ini adalah hari Sabtu, di mana jam operasional kantor dipapas sampai pukul 14.00 saja. Jadi, beliau sudah lebih dulu berada di rumah. Ketika aku tiba, Ibu sedang berkutat di dapur.
“Kamu udah pulang,” sapa Ibu. “Habis belanja? Oh… kamu memang punya rencana beli sandal gunung, ‘kan?”
“Iya, Bu,” aku tersenyum. Lalu, senyumku meredup ketika mendapati permukaan meja makan yang diisi oleh beberapa jenis kue basah dalam jumlah yang terlalu berlebihan untuk disantap hanya oleh empat orang penghuni rumah ini. “Banyak banget. Buat apa, Bu?”
“Sehabis Isya, ada pengajian rutin RT di sini,” jelas Ibu. “Bulan ini, giliran kita yang jadi tuan rumah.”
Bibirku membulat. “Perlu kue basah sebanyak ini, ya?”
“Lebih baik ada sisa, daripada kurang, ‘kan?” ujar Ibu, sambil tersenyum. “Kalau banyak sisa, bisa kamu makan. Atau kita kasih ke Tio aja. Atau… buat Ayu.”
Aku mengangguk.
Nama ‘Ayu’ yang tadi Ibu sebut-sebut, adalah tetangga yang tinggal di rumah sebelah. Namun, karena suaminya bernama Reki, maka para tetangga, termasuk diriku, memanggilnya dengan sebutan Bu Reki. Yeah… kecuali kedua orang tuaku, yang memilih untuk memanggil dengan nama aslinya, setelah mengetahui bahwa usia Bu Reki hanya beberapa tahun lebih tua dariku.
Ia dan suaminya baru saja membeli rumah sebelah dan mulai menempatinya sejak sekitar empat bulan yang lalu. Aku sudah beberapa kali bertemu dengannya. Usianya mungkin sekitar dua puluh empat atau dua puluh lima tahun. Dan layaknya muslimah, ia selalu berhijab ketika berjumpa denganku, juga saat berada di luar rumah.
Sementara itu, suaminya bekerja di sebuah instansi yang memiliki spesialisasi membuat berbagai perangkat listrik untuk pesawat terbang, sebagai seorang manajer salah satu divisi. Jabatan yang membuatnya masuk akal untuk dapat membeli rumah sebelah yang mewah itu.
“Ibu butuh bantuan aku?” tawarku.
“Saat ini nggak,” jawab Ibu. “Kamu mau naik ke lantai atas, ya?”
“Iya,” aku mengangguk. “Aku mau mandi.”
“Ya udah, mandi dulu aja, gih!” suruh Ibu. “Kalau Ibu butuh bantuan, nanti dipanggil.”
“Siap,” sanggupku.
Dan ketika aku hampir tiba di ujung bawah anak tangga menuju lantai atas, Ibu berseru,
“Kamu sakit?”
“Sakit?” keningku berkerut. “Nggak, Bu.”
“Kamu kelihatan lesu,” ujar Ibu lagi. “Kalau memang ngerasa sakit, jangan berani-berani berlagak sehat, ya.”
Aku tergelak. “Emangnya selama ini aku pernah pura-pura sehat ketika nggak enak badan?”
“Siapa tahu aja…” Ibu tersenyum lebar. “Pokoknya, kamu nggak boleh bohong, cuma gara-gara nggak kepingin bikin Ibu khawatir. Oke?”
“Oke,” timpalku, seraya membuat gerakan menghormat.
Ibu tertawa.
Aku pun menaiki tangga menuju lantai atas. Di lantai tersebut terdapat dua kamar tidur, milikku dan Angga, adik semata wayangku, yang masing-masing dilengkapi kamar mandi dalam. Selain kedua kamar tidur tersebut, terdapat sebuah ruang tengah kecil, kamar mandi luar dan loteng kecil di ujung koridor.
Setibanya di dalam kamar, aku menanggalkan seluruh pakaian luarku. So, ketika memasuki kamar mandi, di tubuhku hanya melekat sehelai celana dalam saja, ditambah selembar handuk yang tersampir di leher. Sementara itu, t-shirt yang tadi kupakai, langsung masuk ke dalam keranjang khusus pakaian kotor. Dan celana jeans-nya kugantung di balik pintu, karena baru tiga kali kupakai.
Di dalam kamar mandi, tiba-tiba aku merasa tergelitik oleh pertanyaan Ibu, yang beliau lontarkan ketika aku akan naik ke lantai atas,
“Kamu sakit?”
Yeah… faktanya, aku memang tidak sakit. Aku baik-baik saja, sama sekali tidak merasakan sesuatu yang salah pada tubuhku. Jika Ibu melihatku lesu, itu bukanlah efek dari adanya penyakit di tubuhku. Kelesuan itu merupakan efek dari penyakit yang bersarang di hati dan psikologiku. Dan semuanya itu merupakan kesalahan dan ketololan yang kuciptakan sendiri.
Ingatanku melayang pada momen yang terjadi, tak sampai satu jam yang lalu, di pelataran kedai kopi itu. Aku melihat Ella duduk sendiri di salah satu kursi kedai, dan ia juga menyadari keberadaanku, bahkan menyempatkan diri untuk melemparkan seulas senyuman untukku. Situasi yang sangat ideal bagiku, untuk melakukan sebuah ‘gebrakan’ demi kelanjutan interaksi di antara kami.
Melihat gestur dan sikap tubuh Ella, semestinya aku tidak perlu lagi berpikir untuk sekadar mengambil keputusan untuk menghampiri dan menyapanya. Sekali lagi, situasinya sudah sangat ideal. Tololnya, aku hanya sekadar membalas senyuman tersebut, tanpa sedikit pun mendekatkan jarak antara diriku dan perempuan cantik itu. Alih-alih menghampiri dan menyapa, aku malah berganti arah dan akhirnya pergi meninggalkan area kedai. Aku menyia-nyiakan peluang emas.
Okelah, tak ada jaminan bahwa andai aku menghampiri dan menyapanya, maka interaksi antara aku dan Ella akan beranjak menuju level yang lebih menjanjikan. Tokh, sampai saat ini, aku sama sekali tidak mengetahui perasaan perempuan itu terhadapku. Namun, pergerakan yang kulakukan berpotensi membuatku mengetahui perasaannya, bukan?
Seperti yang diucapkan oleh tokoh Annika kepada tokoh Joe, pada sebuah serial TV asal Amerika Serikat yang berjudul ‘You’,
“Kau lakukan sesuatu dan salah, atau tak lakukan apa pun dan salah?”
Tentu saja, opsi pertama akan lebih baik. Tokh, lebih baik melakukan sesuatu dan akhirnya tahu bahwa hal itu salah, daripada tidak pernah mengetahui apa pun karena kita tidak pernah melakukannya untuk sekadar mencari tahu.
Kesempatan akan datang lagi. Aku akan memiliki kesempatan untuk berjumpa dan menyapa Ella, di waktu dan tempat yang berbeda. Hanya saja, situasinya mungkin telah menjadi berbeda pula. Kini, aku hanya bisa berharap bahwa di saat kesempatan itu tiba, situasinya masih tetap menguntungkan bagiku.
++++
Beberapa belas menit seusai mandi, azan Magrib terlantun dari pengeras suara di masjid yang jaraknya terdekat dari rumah. Karena telah mengekskalasi waktu bahwa tak lama lagi azan akan berkumandang, maka aku langsung mengambil air wudu, selepas mandi tadi. Maka, kini aku tinggal menggelar sajadah dan menunaikan salat. Tentu saja, aku harus menunggu hingga azan tersebut rampung dilantunkan oleh sang muazin, sebelum mulai salat.
Nyatanya, segera setelah azan usai berkumandang, kudengar seruan Ibu yang memanggil dari bawah.
“Iya, Bu?” tanggapku.
“Belum mulai salat?” tanya Ibu.
“Belum,” jawabku. “Ada apa?”
“Salat berjamaah, dong!” seru Ibu. “Kamu lupa?”
Ah… benar sekali. Aku lupa, bahwa selama Bapak sedang tidak berada di rumah, akulah yang menjadi imam salat. Maka, dengan agak tergopoh, aku turun ke lantai bawah.
“Berdua aja,” ujar Ibu. “Si Ade belum pulang.”
Aku mengangguk.
Omong-omong, ‘si Ade’ adalah panggilan Ibu dan Bapak untuk Angga, menjadi pembeda dengan panggilan ‘Aa’ untukku. Sejak dua hari yang lalu, dia meninggalkan rumah untuk mengikuti kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan dunia komputer. Dunia yang sangat digemarinya.
Aku berani berkata bahwa Angga adalah seseorang yang jenius. Dia sungguh pandai, dan aku benar-benar bangga dengan kepandaian yang dimilikinya. Persetan dengan ejekan orang-orang yang menganggap adikku sebagai ‘anak cupu’. Menurutku, lebih baik bersikap culun namun punya otak hebat, daripada selalu tampil trendi padahal berotak seadanya.
Seusai menunaikan tiga rakaat salat Magrib dan meninggalkan sajadah, sementara Ibu masih fokus memanjatkan doa, aku berinisiatif untuk sejenak melihat-lihat keadaan meja makan, di mana tersaji aneka jenis kue basah. Hmm… semuanya sudah tertata dengan rapi. Kurasa, tak ada bantuan yang diperlukan Ibu dariku, soal ini.
Namun, aku tetap ingin memberikan kontribusi. Karenanya, alih-alih beranjak naik ke lantai atas dan kembali mendekam di kamar, aku memilih untuk sejenak bertahan di ruang makan. Yeah… setidaknya sampai Ibu muncul. Aku akan kembali menawarkan bantuan, entah apa pun itu.
Tak lama kemudian, aku mendengar suara bel yang dibunyikan seseorang di luar sana. Maka, aku pun bergegas melangkah menuju ruang depan, dan membuka pintu. Di teras, berdiri sosok Bu Reki, tetangga sebelahku itu.
“Bu Reki,” sapaku, sambil tersenyum.
“Hai, Egi,” sapa balik Bu Reki. “Ibu ada?”
“Mmm… ada,” jawabku, sambil menoleh ke arah sudut di ruang tengah yang kami sulap menjadi tempat salat itu. Kudapati Ibu masih khusyuk memanjatkan doa. “Kayaknya belum selesai salat, Bu.”
“Gitu, ya?” gumam Bu Reki. “Kalau gitu, aku titip pesen aja, deh.”
Aku tersenyum, sambil mengangguk. “Boleh.”
“Tolong bilang sama Ibu,” tutur Bu Reki. “Aku nggak bisa hadir di acara pengajian rutin RT, karena harus pergi. Ada keperluan mendadak.”
“Oke, Bu,” tanggapku. “Nanti aku bilang ke Ibu.”
“Makasih,” Bu Reki tersenyum. Pada saat itu, aku menyadari betapa cantiknya ibu muda di hadapanku ini. “Kalau gitu, aku pamit, ya. Salam buat Ibu.”
“Oke, Bu,” aku kembali tersenyum, juga sambil mengangguk. “Nanti aku sampaikan.”
Bu Reki pun meninggalkan rumah, setelah sebelumnya mengucapkan sebaris kalimat salam, layaknya diucapkan oleh sesama Muslim.
Ketika aku kembali ke ruang makan, Ibu sudah duduk di salah satu dari empat kursi yang mengelilingi meja makan.
“Siapa tadi?” tanya Ibu.
“Bu Reki,” jawabku.
“Oh,” bibir Ibu membulat. “Ada apa dengan Ayu?”
“Bu Reki titip pesen,” ucapku. “Katanya, beliau nggak bisa hadir di acara pengajian rutin RT, karena ada keperluan mendadak.”
Ibu mengangguk paham.
Setelah saling diam selama beberapa saat,
“Bener-bener nggak ada yang bisa aku kerjain, Bu?” tanyaku.
Ibu menatapku, lalu tersenyum. “Nggak ada, Aa.”
“Jadi, aku harus ngapain?” tanyaku lagi.
“Bebas,” jawab Ibu. “Kalau mau diam di kamar, boleh. Ibu bisa atasi semua, kok!”
“Beneran?” yakinku.
“Serius,” timpal Ibu. “Lagian, biasanya para Ibu-ibu suka ngerasa kurang nyaman, kalau ada lawan jenis di sekitar mereka.”
“Oh, gitu?” gumamku. “Mmm… aku jadi bingung, mesti ngapain sekarang.”
“Makanya, cari pacar!” cetus Ibu, sambil kemudian tertawa.
Aku ikut tertawa. “Emangnya, kalau punya pacar, gabut aku hilang?”
“Seenggaknya, kamu bisa chatting pacar kamu, buat kurangin suntuk,” ujar Ibu.
Dan aku tidak mengira, jika celetukan soal ‘gabut’ memancing tema perbincangan baru. Tema yang sejujurnya kuhindari.
“Gimana kabar…” Ibu terlihat mengingat sejenak. “… siapa nama perempuan itu?”
“Perempuan yang mana?” tanyaku.
“Yang Tio bilang, kamu nggak pernah berani deketin dia,” jawab Ibu. “Oh… Ella. Iya, namanya Ella, ‘kan?”
“Haduh… Tio!” rutukku pelan.
“Kalian makin deket?” selidik Ibu.
“Sekarang kami dua milimeter lebih deket dibandingkan sebelumnya, Bu,” kelakarku.
“Gusti…” keluh Ibu, namun dengan nada suara yang di telingaku lebih terdengar sebagai ejekan. “Kasihan banget anak Ibu ini.”
Aku merengut kesal.
“Yah… kalau dia memang jodoh kamu, kalian pasti bisa saling deket, suatu hari nanti,” sambung Ibu. “Kita cuma nggak akan pernah tahu, kapan dan gimana jalannya.”
Aku hanya mengangguk.
“Atau… cari perempuan lain aja,” saran Ibu. “Gimana?”
“Bisa, sih…” tanggapku, dengan bergumam. “Sayangnya, target yang lainnya udah punya suami.”
“Waduh?” Ibu terlihat agak terpana. “Memangnya siapa?”
“Bu Reki,” jawabku.
“Dasar…” Ibu tergelak. “Yaa… wajar kalau kamu naksir Ayu. Dia memang cantik.”
“Cantik, pakai banget,” timpalku. “Bu, aku boleh minta tolong, nggak?”
“Soal apa?” tanya Ibu.
“Soal Bu Reki,” jawabku. “Tolong tanyain, apa dia punya adik perempuan?”
Ibu tergelak lagi.
++++
Setelah menunaikan salat Isya berjamaah bersama Ibu, aku beranjak naik ke lantai atas. Dan tak lama berselang, aku mendengar suara bel, menandakan bahwa para peserta acara pengajian rutin RT mulai berdatangan. Lalu, kudengar suasana di lantai bawah makin riuh dengan suara perbincangan para ibu-ibu.
Aku hampir tidak punya kegiatan spesifik yang akan kukerjakan. Bisa saja aku pergi tidur, tapi aku berencana untuk ikut berbenah setelah acara pengajian rutin RT di lantai bawah berakhir. Kasihan Ibu, jika mesti sendirian saja merapikan rumah yang tentunya berantakan.
Alhasil, aku membunuh waktu dengan merenung. Dan pada ‘renungan’ kali kedua yang kulakukan di sepanjang petang dan malam hari ini, temanya adalah tentang ucapan Ibu,
“Kalau dia memang jodoh kamu, kalian pasti bisa saling deket, suatu hari nanti. Kita cuma nggak akan pernah tahu, kapan dan gimana jalannya.”
Sejujurnya, ucapan tersebut sanggup menenangkan hatiku. Setidaknya, mengurangi beban dan kekhawatiran di otakku. Ucapan yang menyiratkan kepasrahan kita terhadap takdir-Nya. Dan jika bicara tentang takdir, maka kita tidak bisa mungkir bahwa apa pun yang terjadi merupakan yang terbaik untuk kita, terlepas dari manis atau pahit rasanya.
Sikap pasrah tidaklah sama dengan sikap menyerah. Pasrah adalah menyerahkan segala hal yang telah kita usahakan kepada Sang Pemberi Takdir. Sementara menyerah? Yeah… menyerah berarti berdiam diri tanpa berusaha. Adakah sesuatu yang akan kita peroleh ketika tidak melakukan apa-apa?
Lantas, apakah sikapku di kedai siang tadi, saat beradu pandang saling melempar senyum dengan Ella, merupakan bentuk sikap menyerah? Kurasa, jawabannya adalah ‘ya’ dan ‘tidak’. ‘Ya’, karena aku tidak menghampiri dan menyapanya. Dan ‘tidak’, karena aku tetap membalas senyuman yang perempuan itu sunggingkan untukku. Meski minim, gestur tersebut juga merupakan sebuah bentuk usaha, ‘kan
Sayangnya, usaha (hampir) selalu berbanding lurus dengan hasilnya. Aku harus menerima dengan lapang dada, andai usahaku yang seminim itu, diganjar dengan hasil yang tak kalah minimnya. Hasil yang, sebagai contohnya, adalah ketika aku bisa makin dekat dengan Ella, yang sudah memiliki kekasih.
Perih, Jenderal.
++++