Chapter 4 – Perempuan Idaman
Selepas makan siang yang dilanjutkan dengan melahap seiris kue bolu marmer buatan Bu Reki, aku naik ke lantai atas, dan mendekam di kamar. Mengisi waktu yang terasa menjemukan dengan menghadapi layar komputer. Sayangnya, pikiranku berkecamuk. Akhirnya, kuhadapi layar komputer tersebut tanpa melakukan sesuatu yang dapat memberikan nilai tambah pada diriku.
Sejujurnya, fragmen tentang kue bolu marmer buatan Bu Reki, cukup mengusik pikiranku, seharian ini. Namun, di sini aku harus menegaskan bahwa yang lebih sering hadir di kepalaku adalah memori tentang Nenek. Bukan Bu Reki, sang pembuat kue bolu marmer. Artinya, sampai detik ini, bayangan tentang rasa kue bolu marmer itulah yang lebih menyita perhatianku. Bukan pembuatnya.
Hal yang wajar, sih. Interaksiku dengan Bu Reki, yang notabene hanya pernah terjadi beberapa kali saja, selalu berjalan sekadarnya. Layaknya interaksi antartetangga. Dan setiap interaksi yang terjadi di antara kami selalu berkaitan dengan Ibu. Artinya, kurasa takkan pernah ada interaksi yang terjadi karena Bu Reki mencariku secara personal, misalnya. Ini selalu tentang Ibu.
So, rasanya tidak beralasan juga jika aku lantas sering memikirkan sosok Bu Reki. Andai aku benar-benar harus mengingatnya, maka yang lebih sering kuingat tentang tetangga sebelahku itu adalah kecantikannya, serta kelembutan sikapnya.
++++
Seharian ini aku benar-benar tidak beranjak meninggalkan rumah. Persis sama dengan ucapanku pada Ibu, melalui sambungan telepon, tak sampai sepuluh menit menjelang berkumandangnya azan Zuhur itu. Bahkan aku nyaris tidak keluar dari kamar tidurku. Seusai makan siang, hanya sekali saja aku keluar kamar, yaitu ketika stok air di botol plastikku habis. Mau tidak mau, aku harus turun ke lantai bawah, untuk mengisi botol kosong di dapur.
Hingga akhirnya petang pun tiba. Dan aku harus turun ke lantai bawah untuk mencolokkan steker magic jar pada sumber listrik. Aku juga mesti menyalakan beberapa lampu, yang biasa menyala di malam hari. Itu adalah dua buah lampu di halaman depan, sebuah lampu di halaman belakang, serta masing-masing sebuah lampu di ruang tengah, ruang makan dan dapur.
Kali ini, aku tidak kembali ke lantai atas. Aku memilih untuk berdiam diri di bawah, hingga kelak Ibu kembali dari tempat kerjanya. Berdasarkan kebiasaannya dalam sepekan terakhir, beliau akan tiba di rumah sekitar pukul 18.30. Tidak lama lagi. Aku memperkirakan bahwa belasan menit setelah aku selesai menunaikan salat Magrib, Ibu akan muncul.
Namun, malam ini berbeda. Siang tadi, melalui sambungan telepon itu, Ibu memberitahuku bahwa hari ini beliau akan pulang lebih malam. Artinya, segala perkiraanku di atas terbantahkan. Malam ini aku tak bisa memprediksi, kapan Ibu akan muncul.
Maka, sambil memanfaatkan jarak yang terbilang singkat antara waktu salat Magrib dan salat Isya, aku menyantap makan malamku. Menunya tentu sama persis dengan menu yang kunikmati ketika makan siang tadi. Bukan masalah besar. Tokh, sejak lama, semua penghuni di rumah ini sudah terbiasa dengan menu makan yang sama untuk waktu makan yang berbeda.
Lagipula, mana mungkin aku tega melewatkan lezatnya tumis tahu toge dan perkedel jagung racikan Ibu?
Kali ini, aku memilih untuk makan malam sambil duduk di ruang tengah. Sembari menonton televisi, meski pun aku tidak menentukan program acara yang kutonton secara spesifik. Televisi itu kunyalakan hanya untuk menyamarkan sepinya suasana rumah. Aku tetap fokus pada sajian di piring, hingga akhirnya suara dari televisi pun terdengar sepintas saja.
Situasi ini sering kualami, semenjak bisnis Bapak berkembang makin pesat. Sejak itu, Ibu menjadi cukup sering menemani Bapak di kantornya. Alhasil, di malam hari, aku kerap makan malam hanya berdua saja dengan Angga, karena kedua orang tua kami belum kembali. Dan selama Angga mengikuti kamp pelatihan komputer, situasi menjadi makin ‘pelik’ untukku.
Terkadang aku merasa sangat kesepian, meski aku tidak ingin lantas menyalahkan bisnis Bapak sebagai penyebab rasa sepiku. Karena aku tahu, kedua orang tuaku melakukannya demi aku dan Angga. Mereka berlelah-lelah menjalankan usahanya, demi menghidupi kami.
Meski begitu, aku selalu berharap jika situasi ini akan berubah. Aku sama sekali tidak berharap jika situasi seperti ini akan berlangsung selamanya. Aku ingin merasakan kembali hangatnya suasana rumah di malam hari, ketika kami berempat hampir selalu menunaikan salat Magrib dan Isya secara berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama.
Namun, mari kita lupakan itu. Sayup suara azan Isya telah terdengar, pertanda bahwa aku harus bergegas menandaskan porsi makan malamku, kemudian segera mengambil air wudu.
++++
Sekitar dua puluh menit selepas aku melipat sajadah, sekaligus sebagai penanda berakhirnya salat Isya yang kutunaikan, kudengar suara mobil memasuki garasi. Tentu saja, itu adalah mobil yang Ibu kendarai. Dan tentu saja, aku tidak memburu dan menyambut kedatangannya di halaman depan. Cukup kusambut di ruang makan saja.
Seiring suara pintu yang dibuka, aku juga mendengar suara Ibu yang berbincang dengan seseorang. Ibu sedang mengobrol melalui sambungan telepon, mungkin? Oh, ternyata bukan. Ibu sedang berbicara dengan seseorang, dan seseorang itu ada di dekatnya, karena sejurus kemudian aku mendengar suara yang berbeda, menimpali kalimat yang Ibu ucapkan.
Suara seorang perempuan. Dan sejurus kemudian aku mengetahui bahwa itu adalah suara Bu Reki, tetanggaku. Perempuan cantik itu hadir di ruang makan rumahku, mengekor langkah Ibu.
“Bu Reki,” ucapku, seraya mengangguk takzim.
Bu Reki tersenyum, juga mengangguk. “Hai, Egi.”
“Ibu kebetulan ketemu Ayu di depan,” jelas Ibu. “Kebetulan juga, Ibu mau bagi kue sama dia. Jadi, sekalian aja Ibu ajak Ayu ke sini.”
Bibirku membulat. Artinya, Ibu dan Bu Reki sudah ‘resmi’ menjadi sepasang ibu rumah tangga, yang rumahnya bersebelahan, dan sama-sama gemar berbalas kiriman makan. Ah… menarik.
“Kamu udah makan?” tanya Ibu, sambil meletakkan sebuah bungkusan plastik di atas meja makan, kemudian mulai membongkar isinya.
“Udah, Bu,” jawabku. “Ibu?”
“Belum,” jawab Ibu, tanpa sedikit pun menghentikan kegiatannya. “Niatnya, Ibu kepingin makan malam di kantor. Beli nasi goreng atau sate ayam, misalnya. Tapi, dipikir-pikir lagi, sayang juga masakan Ibu di rumah.”
“Untung aja, aku belum telanjur cabut steker magic jar,” timpalku. “Jadi, nasinya belum keburu dingin.”
Ibu tertawa. Lalu, ketika tawanya kemudian terhenti, beliau menoleh ke arah Bu Reki. “Kamu udah makan, Ayu?”
“Hmm… udah, Bu,” jawab Bu Reki, sambil tersenyum.
“Sendirian?” tanya Ibu lagi. “Reki masih di luar kota, ‘kan?”
Bu Reki mengangguk.
“Mestinya kamu makan malam bareng Egi,” ujar Ibu, sambil lalu terkekeh. “Kasihan, kalian sama-sama kesepian.”
Aku tertawa renyah, Bu Reki juga.
Setelah tak ada obrolan di antara kami selama beberapa saat, Bu Reki bertanya padaku,
“Kamu lagi libur?”
“Iya, Bu,” jawabku. “Libur akhir semester genap. Lumayan lama, empat pekan.”
“Lumayan apanya?” cetus Ibu. “Percuma libur lama, kalau cuma diisi dengan diam di rumah.”
Aku tertawa.
“Maklum, Egi lagi nggak punya pacar,” sambung Ibu, membuatku terpancing untuk menatapnya dengan gestur intimidatif. Sayangnya, intimidasiku tampaknya sama sekali tidak membuat Ibu jeri. “Makanya, liburan ini dilewati dengan penuh kesuntukan.”
“Ibu…” erangku.
“Masa’, sih?” timpal Bu Reki. “Kamu nggak punya pacar, Egi?”
Aku mengangguk.
“Nggak laku,” sahut Ibu.
“Aku nggak percaya,” sanggah Bu Reki. “Mungkin cuma belum waktunya punya pacar aja.”
“Belum punya keberanian buat mendekati perempuan,” sambung Ibu. “Nggak percaya diri.”
“Ibu…” erangku lagi, dengan nada yang sedikit lebih tegas.
“Kamu punya modal buat deketin perempuan mana pun, lho!” Bu Reki tersenyum lagi. “Kenapa harus nggak percaya diri?”
Aku hanya mengedikkan bahu. Yeah… aku juga tidak mengerti, kenapa segala hal yang kumiliki, yang notabene dapat kujadikan ‘modal’ untuk mendekati perempuan mana pun, seolah tak berarti di saat diriku berada pada jarak yang cukup dekat dengan posisi Ella berada. Pesona perempuan cantik itu, seolah sanggup mengubah macan menjadi kucing.
“Oya, Ayu,” ujar Ibu. “Semalam Egi minta sama Ibu, supaya tanyain hal ini.”
Bu Reki menatap Ibu, dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
“Kamu punya adik perempuan?” Ibu melanjutkan.
Kening Bu Reki sontak berkerut.
“Yaa… buat dikenalin sama aku,” sambarku.
Bu Reki pun tertawa, meski kemudian kembali mereda. “Ada.”
“Tuh… Egi,” cetus Ibu. “Ada, katanya.”
“Udah punya satu anak,” sambung Bu Reki, sambil menahan tawa. “Mau?”
Aku menghela napas putus asa, sementara Ibu malah tertawa dengan puasnya.
Ibu selesai dengan kegiatannya, yang menghasilkan sebuah bungkusan plastik yang kemudian diserahkan kepada Bu Reki.
“Anggap aja ini sebagai balasan,” ucapnya. “Makasih karena kamu udah menyediakan cemilan buat Egi.”
Bu Reki tertawa kecil. “Mestinya Ibu nggak usah ngebales lagi.”
“Nggak apa-apa, kok!” Ibu tersenyum. “Kita, ‘kan, bertetangga.”
++++
Setelah Bu Reki berlalu, tentu saja sambil menjinjing kantong plastik berisi kue yang Ibu berikan itu, aku segera bersiap untuk mengunci semua akses masuk ke dalam rumah. Tokh, di malam yang sudah makin mendekati angka pukul sembilan, sangat jarang tamu yang bertandang ke sini.
Nah, sementara aku berbenah soal kunci pintu dan keamanan rumah, Ibu beranjak ke kamar tidurnya. Aku tahu, Ibu pasti ingin terlebih dahulu mandi, sebelum menyantap makan malamnya. Maka, aku pun mengurungkan niat untuk beranjak naik ke lantai atas, dan memilih untuk bertahan di ruang makan. Aku berniat untuk menemani Ibu makan malam.
Baru sekitar 25 menit kemudian, Ibu kembali muncul di ruang makan.
“Lho… kamu masih di sini?” tegurnya.
“Aku kepingin temenin Ibu makan malam,” ujarku.
“Bukannya kamu udah makan malam?” tanya Ibu lagi.
“Iya, memang udah,” timpalku. “Aku mau temenin ngobrol aja, sambil Ibu makan.”
“Kamu…” Ibu tersenyum. “Baik banget jadi anak.”
Aku hanya terkekeh.
“Angga juga nggak kalah baik, sih,” sambung Ibu. “Cuma, karena usianya belum sedewasa kamu, sisi kekanakannya masih sering muncul. Tapi, Angga tetep bisa dibilang anak baik, kok!”
Aku setuju dengan ucapan Ibu. Terlepas dari sikap kekanakan yang masih sering ditunjukkannya, Angga adalah anak laki-laki yang baik dan hormat kepada orang tua. Aku menduga, sikap kekanakan tersebut didasari oleh fakta bahwa dirinya adalah anak bungsu di rumah ini.
Namun, jangan salah. Soal akademik dan minatnya terhadap dunia komputer, Angga sama sekali tidak bisa dibilang kekanakan. Bahkan, dalam hal tersebut, dia adalah salah satu anak laki-laki paling dewasa. Di usianya yang baru delapan belas tahun, Angga sudah berani menentukan pilihan tentang masa depannya. Dan dia terlihat begitu berkomitmen atas pilihannya.
Keputusannya untuk mengikuti kamp pelatihan komputer, alih-alih mengisi waktu liburan dengan bersenang-senang layaknya rekan seusianya, adalah salah satu implementasi terhadap pilihannya tersebut. Angga, adikku yang terkadang bersikap kekanakan itu, nyatanya mampu mengambil tindakan yang dewasa, melebihi usianya.
Ibu sudah mulai menyantap porsi makan malamnya. Aku hanya memerhatikan beliau, yang terlihat begitu khidmat menikmati sajian di hadapannya. Sajian yang dimasaknya sendiri, dengan bumbu rahasia berupa sebuah kata bernama ‘cinta’. Aku terkadang membayangkan, bagaimana perasaan Ibu ketika menyantap masakannya sendiri sambil menyaksikan suami dan kedua putranya tampak menikmati masakan yang sama.
“Kamu cuma mau diem aja?” ujar Ibu, sambil menatapku lekat-lekat. “Sambil ngemil, atuh!”
“Tadi Ibu bawa kue apa?” tanyaku. “Yang sebagian Ibu kasihin ke Bu Reki?”
“Cromboloni[1],” jawab Ibu. “Ibu dapet info dari karyawatinya Bapak, kalau cromboloni di toko kue yang ada di Dipatiukur rasanya enak. Jadi Ibu pesen, karena kepingin mencicipi.”
“Dan Ibu juga inget sama Bu Reki?” tebakku. “Makanya dia kebagian juga?”
“Iya,” Ibu tersenyum lagi. “Nggak apa-apa, ‘kan? Ayu baik sama kita, masa’ kita nggak ngebales kebaikannya?”
Aku mengangguk. “Iya, sih…”
“Tadi siang aja, Ayu kirim kue bolu marmer,” sambung Ibu. “Kamu udah cicipi? Enak?”
“Enak,” jawabku, tanpa perlu berpikir. “Kue bolu marmer buatan Bu Reki bikin aku inget sama… Nenek.”
“Nenek?” selidik Ibu, dengan kening berkerut. “Kok bisa?”
“Nanti Ibu cicipi sendiri aja, deh…” timpalku. “Ternyata… Bu Reki pintar bikin kue.”
“Masakannya juga enak,” sahut Ibu. “Sekali waktu, Ibu pernah mencicipi.”
“Oh, gitu?” tanggapku, sedikit takjub. “Mmm…”
“Kenapa?” tukas Ibu. “Sekarang, bertambah lagi kriteria perempuan idaman kamu? Selain yang seperti Ibu, harus kayak Ayu juga, gitu?”
“Ibu…” gumamku, sambil kemudian tergelak. “Tenang aja, Bu. Selamanya Ibu bakalan jadi figur perempuan paling ideal yang pernah aku kenal.”
Ibu adalah cinta pertama di dalam hidupku. Dan aku yakin, Angga pun merasakan hal yang sama. Juga dengan jutaan, atau bahkan miliaran laki-laki di seantero dunia, yang menjadikan ibundanya sebagai sosok cinta pertamanya. Role model atas sosok ideal calon pendamping hidupnya, kelak.
Terkadang, asumsi tersebut membuatku cukup kesulitan dalam mencari kekasih. Kenapa? Karena aku ingin, saat melihat sosok perempuan itu, aku seperti melihat sosok Ibu. Okelah, tak perlu sama, karena memang tak ada manusia yang sama. Tapi setidaknya, sosok perempuan itu mendekati bayanganku tentang sosok Ibu.
Dan percayakah kalian? Aku sempat merasakan hal itu, ketika kali pertama melihat dan berjumpa dengan Ella. Pada sosok Ella, aku melihat beberapa hal yang juga biasa kutemukan pada diri ibuku. Tentu saja, kesamaan itu hanyalah yang terlihat dari luarnya saja. Di dalam, mungkin saja jauh berbeda. Aku tidak tahu. Dan cara untuk mengetahuinya adalah dengan mendekati Ella, sesuatu yang sampai detik ini belum berani kulakukan.
Ibu pun menandaskan porsi makan malam di hadapannya. Dan hal pertama yang beliau lakukan adalah mencomot sepotong kue bolu marmer buatan Bu Reki, alih-alih membawa piring kotor ke bak cuci. Aku menduga jika Ibu merasa penasaran dengan ‘propaganda’ yang tadi kulontarkan, tentang rasa kue bolu marmer tersebut yang mengingatkanku pada Nenek.
“Mmm… kamu bener,” gumam Ibu, segera setelah menjejalkan secubit kue bolu marmer ke dalam rongga mulutnya. “Rasanya mirip banget sama buatan Nenek.”
“Aku bilang juga…” aku tersenyum.
“Ibu tambah yakin,” sambung Ibu. “Sekarang, kriteria perempuan idaman kamu bertambah satu orang.”
Aku tertawa.
++++
Seusai makan malam, Ibu sempat menghabiskan waktu selama hampir setengah jam dengan duduk sambil menonton televisi di ruang tengah. Mungkin itu adalah upayanya untuk sedikit menurunkan asupan makanan di lambungnya, sebelum kemudian beranjak masuk kamar dan tidur.
Tentu saja, aku menemani Ibu. Aku ikut duduk di ruang tengah, membuang jauh-jauh fakta bahwa program acara yang beliau saksikan sama sekali tidak sesuai dengan minatku. Tapi, itu bukan masalah. Tokh, niatku duduk di ruang tengah adalah untuk menemani Ibu. Bukan menonton televisi.
Ketika akhirnya Ibu menyudahinya,
“Kamu masih mau nonton TV?” tanyanya.
“Ibu mau masuk kamar?” tebakku.
Ibu menjawab dengan anggukan kepala.
“Kalau gitu, aku juga mau naik ke lantai atas aja,” ucapku.
“Jadi, matiin aja TV-nya?” tanya Ibu lagi.
Giliranku yang menjawab dengan anggukan kepala.
Seusai menonaktifkan televisi dengan bantuan remote control, Ibu bangkit, dan bersiap untuk beranjak menuju kamar tidurnya. Namun, beliau masih menyempatkan untuk menatapku.
“Soal kriteria perempuan idaman kamu itu,” ucap Ibu pelan. “Jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa. Suatu hari, kamu pasti ketemu sama perempuan itu.”
“Tempo hari, aku udah buang kesempatan bagus buat ketemu dia,” timpalku. “Aku nggak tahu, apa kesempatan bagus bakal datang dua kali?”
“Ella, maksud kamu?” terka Ibu. “Perempuan idaman kamu itu belum tentu dia, ‘kan? Dan kalau memang ternyata bener-bener dia, belum tentu dia mau, ‘kan?”
Aku mengangguk. “Iya, sih…”
“Makanya, barusan Ibu bilang, jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa,” sambung Ibu. “Nanti, kamu bakalan merasakan sendiri, siapa jodoh kamu yang sebenernya. Bisa jadi memang Ella, atau malah seorang perempuan yang sebelumnya nggak pernah kamu bayangin bakal jadi jodoh kamu.”
++++
Aku sudah berada di dalam kamar tidurku, dan baru akan membaringkan tubuh di atas tempat tidur, ketika ponselku berdering. Aku pun urung berbaring, dan memilih untuk menyambar ponsel yang baru saja kugeletakkan di permukaan meja tulis. Kulirik layarnya, dan mendapati nama Tio sebagai caller ID. Hmm… kuduga ia baru kembali dari tempat kerjanya, dan segera menghubungi untuk mengabariku sesuatu.
Maka, segera kujawab panggilan telepon sahabatku itu.
“Iya, Lur?” sapaku.
“Belum tidur?” tanya Tio, di seberang sana.
“Belum,” jawabku. “Aku baru masuk kamar. Tadi, temenin Ibu nonton TV dulu. Ada kabar baru?”
“Soal apa?” Tio malah balik bertanya, sambil kemudian terkekeh.
“Lha?” aku ikut tertawa. “Kamu yang nelepon, ‘kan?”
“Iya, aku emang punya kabar baru,” tutur Tio, setelah tawanya mereda. “Soal Ella.”
Atensiku terhadap percakapan ini pun mendadak naik. “Ella?”
“Tadi, aku nggak sengaja ketemu Ella, pas pergi ke tempat kerja,” jelas Tio. “Dan kamu percaya? Dia nanyain kamu.”
“Nah… terus?” kejarku.
“Cuma itu,” jawab Tio. “Aku tahu, cerita aku mungkin sama sekali nggak dramatis.”
Aku tertawa. “Memang.”
“Tapi, satu hal aja, Egi,” lanjut Tio, dengan nada bicara yang mendadak tegas dan penuh penekanan. “Momen singkat antara aku dan Ella tadi siang, udah jelasin satu hal. Kamu harus segera deketin dia.”
“Oke,” gumamku. “Tapi, aku…”
“Malu?” terka Tio, memotong ucapanku. “Takut ditolak?”
Aku terdiam. Terkaan Tio tepat sasaran.
“Kamu punya modal yang cukup buat percaya diri deketin perempuan mana pun, termasuk Ella,” sambung Tio lagi. “Kenapa harus malu dan takut?”
“Karena Ella kelihatan beda,” alasanku.
“Meski pun Ella udah nanyain kamu, sama aku?” desak Tio. “Ayolah, Egi. Itu bukan alasan yang masuk akal.”
Aku terdiam. Ucapan Tio benar. Tidak semestinya aku merasa malu atau takut untuk melakukan pergerakan terhadap Ella.
“Jangan lama-lama, Lur,” tambah Tio lagi. “Kita nggak pernah tahu, mungkin ada laki-laki lain yang juga tertarik sama Ella.”
Aku terdiam lagi.
++++
[1] sebuah inovasi pastry yang menggabungkan cita rasa croissant dengan manisnya bomboloni. Tiap cromboloni adalah kombinasi sempurna antara lapisan-lapisan lembut croissant yang garing, tekstur empuk bomboloni, serta tambahan krim manis lembut di dalamnya. Diciptakan pada tahun 2022 oleh Scott Cioe, seorang chef terkenal asal New York, Amerika Serikat. Namun, saat pertama kali diciptakan, ia memberinya nama ‘The Supreme’ atau ‘New York Roll’, bukan Cromboloni.