loader image

Novel kita

LDR 1 – Bab 2

LDR 1 – Bab 2

Tak menyangka
91 User Views

Boleh jadi, jodoh kita adalah teman sendiri atau tetangga sebelah rumah.

PERNAH mendengar kalimat di atas? Aku yakin kalian pasti sudah sering mendengar atau menemukannya di internet dan semacamnya. Nah begitulah yang ku alami saat ini. Tidak ada hujan tidak ada angin. Tahu-tahu saja dia—Abbas memintaku untuk menjadi istrinya. Ya, Tuhan. Aku masih saja tidak bisa percaya hingga saat ini. Sulit sekali bagiku untuk di terima oleh akal.

Oke, kita kembali pada tahun sebelumnya. Sebelum aku mendengar desas-desus Abbas mau melamarku.

Tahun itu, tepatnya lebaran Idul Fitri. Aku dan keluarga seperti biasa merayakan hari lebaran di kampung. Aku dan Abbas masih menjadi teman yang tak pernah bersua. Dia sering ke rumahku. Duduk di teras bersama Ayah sambil lalu menyesap kopi. Itu hal yang maklum. Aku tidak pernah terusik akan kehadiran Abbas. Kita terlihat baik-baik saja.

Sampai dua hari setelah lebaran. Teman-temanku di sekitar kampung datang ke rumah. Berkunjung seperti biasa. Yah, kami semua makan bersama, bercerita tentang apa saja, berselfie layaknya remaja lain untuk di jadikan kenangan mumpung sedang berkumpul. Hingga menjelang siang akhirnya satu per satu temanku pun pulang. Hanya menyisakan satu temanku yang juga sepupuku masih asyik dengan ponselnya. Memang kebetulan ibunya ada di rumahku. Sedang berkunjung juga. Jadi dia mau pulang bersama ibunya nanti.

Sebenarnya aku agak canggung jika berbicara dengannya karna harus berbicara bahasa daerah halus yang minim sekali ku ketahui . Namanya Nyi Ningsih aku tidak tahu persis nama lengkapnya. Hanya nama panggilannya saja yang ku ketahui. Memang diriku tidak pernah memusingkan soal nama lengkap. Ingat namanya saja sudah syukur. Mengingat diriku ini lumayan pelupa jika tak bertemu setiap hari. Oh, iya. Ada kata Nyi di depan namanya karna dia berasal dari salah satu keluarga Kyai besar di kampung. Jadi menurut adat kampungku, memang anak dari Kyai besar mendapat sebutan Nyi jika perempuan. Lalu jika anak laki-laki, aku tidak tahu juga. Yang ku tahu hanya sebutan untuk anak perempuan saja. Katanya sih sebutan itu untuk memuliakan anak dari Kyai dan Nyai besar di kampungku.

Namun meski anak dari seorang Kyai besar dan menjadi anak pondokkan. Nyi Ningsih itu tipikal gadis yang bebas, terlalu bebas menurutku malah. Aku saja yang bukan anak dari Kyai besar dan tidak menjadi anak pondokkan tidak pernah tuh merasakan apa yang dinamakan pacaran. Papa dan Mama selalu menasihatiku untuk tidak bebas dalam pergaulan. Dan aku pribadi, karna sering melihat dampak buruk dari kejadian remaja yang salah pergaulan itupun merasa takut sendiri. Hingga begitu aku ikut menciptakan tameng untuk diriku sendiri. Agar tidak salah dalam bergaul. Sejak dulu hingga duduk di bangku kuliah saat ini, aku tidak tahu bagaimana rasanya pacaran dan juga tidak mau merasakannya. Kata orang, pacaran setelah menikah itu lebih indah. Dan aku justru lebih penasaran akan hal itu ketimbang memilih pacaran yang sudah pastinya menambah dosa.

Dengan gaya sok asik aku menghampiri Nyi Ningsih, dia menoleh kearahku. Tersenyum sebentar lalu kembali fokus dengan ponselnya. Hal itu membuatku bingung harus berbuat apa lagi. Jujur saja aku tidak pandai menciptakan suasana yang seru dengan orang yang baru ku temui. Tapi aku tidak putus asa. Aku terus mencoba mendekatkan diri dengannya.

“Chattan sama siapa sih, Nyi Ningsih?” tanyaku sok penasaran. Padahal sih bodo amat deh. Hihi…ini hanya bagian dari strategi ku untuk mendekatkan diri dengannya. Meski dengan menggunakan bahasa daerah kasar tentunya, mau bagaimana lagi? Kan aku sudah bilang aku tidak tahu banyak tentang bahasa halus. Toh juga, Nyi Ningsih nampak tidak keberatan.

“Ah, bukan siapa-siapa kok.” Jawab Nyi Ningsih dengan senyuman manisnya.

“Masa, sih?” aku terus saja bertanya.

“Beneran deh bukan siapa-siapa, Lis.” Nyi Ningsih terus menyakinkan.

“Nggak percaya aku, dari tadi kamu sibuk bales chatt terus. Hayoo… siapa dia?”aku tidak kenal lelah untuk membuat Nyi Ningsih mengaku padaku.

“Hehe…bukan siapa-siapa kok, Lis. Beneran deh. Cuma Kak Abbas.” Terlihat semburat merah di pipinya saat mengucap nama Abbas.

Aku sedikit terkejut.”Abbas? Kakaknya Ilma itu, ya?”

“Iya, ihh jangan keras-keras dong suaranya.” Nyi Ningsih melirik kanan-kiri, takut ada orang yang ikut mendengar ucapanku dan ucapannya.

Aku segera menutup mulutku dengan sebelah tangan. Sambil nyengir lebar.”Kok bisa, sih?” tanyaku kemudian. Sok kepo tentunya.

“Ya bisa, lah. Itu sebabnya aku sering diem di rumah Ilma. Orang-orang mikirnya aku main ke Ilma. Padahal ketemu sama Kak Abbas. Hihi…” Nyi Ningsih terkikik pelan.

“Oalah, udah lama jadiannya?”

“Nggak juga, baru dua bulan. Jangan bilang siapa-siapa ya, Lis.”

“Hmm, siap! Tenang aja, aku pinter jaga rahasia kok.” Aku tersenyum ke arahnya.

Nyi Ningsih tersenyum lega mendengar ucapanku.”Bagus deh kalo gitu.”

Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara aku dan Nyi Ningsih. Gadis itu kini sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Yang pastinya sedang membalas pesan-pesan dari Abbas. Yah, begitulah dugaanku. Aku juga tidak mau ambil pusing dan mengganggu lagi. Di detik selanjutnya aku pamit pada Nyi Ningsih untuk pergi ke dapur. Yang sebenarnya sih pergi ke kamar. Bosan juga berbicara dengan orang yang tidak tertarik berbicara dengan diriku. Jadi, aku memilih pergi saja.

Tapi karna itu, aku jadi mengetahui rahasia Nyi Ningsih dan Abbas yang ternyata berpacaran. Menurutku Nyi Ningsih itu sangat cantik, tapi kalau Abbas? Aku tidak terlalu tahu pasti apakah dia cowok yang tampan. Selama ini aku tidak pernah menatap wajahnya lebih dari satu detik. Bukan, bukan karna aku tahu kalau yang bukan muhrim tidak boleh bertatapan dan menatap berlebihan. Tapi ya, karna aku merasa biasa saja dengan Abbas. Dia, tidak pernah ada dalam daftar seseorang yang ku sukai. Bahkan nyaris tidak pernah terbesit namanya dalam hatiku.

Namun, setahun setelahnya. Mama memberitahuku tentang desas-desus Abbas akan melamarku. What the hell?

Setahun sebelumnya aku mengetahui fakta bahwa Nyi Ningsih dan Abbas berpacaran. Tapi kenapa setahun kemudian aku yang dilamarnya? Seharusnya jika memang ada yang harus dilamar oleh Abbas, itu pastinya Nyi Ningsih, bukan diriku. Kalian harus percaya kepalaku nyaris pecah memikirkan ini semua saat itu. Sangat amat tidak masuk akal bukan?

Yeah, butuh waktu panjang bagiku untuk percaya. Sampai sesaat sebelum lebaran Idul Fitri setelahnya. Aku kembali mudik ke kampung bersama keluarga. Saat di rumah sampai perjalanan ke kampung. Aku terus saja menyangkal dan menganggap bahwa Mama hanya sedang mengerjaiku. Mengerjai? Aku sebenarnya ragu Mama mengerjaiku. Mengingat beliau paling tidak suka bercanda. Wajahnya pun selalu serius. Senyum atau tertawa saja kadang-kadang. Tapi aku tetap tidak bisa percaya.

Sampai akhirnya tiba di kampung. Orang-orang kampung sibuk membicarakan perihal Abbas yang akan melamarku. Aku? Tentu saja diam seribu bahasa. Teman-teman yang bertanya hanya aku jawab tidak tahu sambil tertawa pelan. Aku masih tidak percaya.

Karna desas-desus itu, Abbas dan aku semakin canggung. Yang ku ketahui dia sudah jarang bahkan nyaris tidak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Aku pun sama, yang dulunya santai-santai saja saat melewati rumah Abbas menjadi sangat canggung. Sampai-sampai aku sering sekali melewati jalan lain yang tidak mengharuskan diriku lewat tepat di depan rumah Abbas. Sebenarnya bukan karna malu, lebih tepatnya karna aku kesal dan malas sekali mendengar seruan kerabat Abbas yang memanggilku ‘Calonnya Abbas’ Hei, aku belum bilang iya. Tapi kenapa mereka menganggapku seolah aku sudah menerima lamaran Abbas? Aku saja masih tidak percaya, jadi bagaimana bisa menerima?

Dan saat hari itu benar-benar terjadi nyata sekali. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Abahnya Abbas malam itu benar-benar datang ke rumahku untuk memintaku. Meski hanya lewat lisan. Tapi percayalah aku sangat gugup sekali sampai tanganku gemetar. Jadi semua itu benar? Abbas benar-benar melamarku.

Aku tidak tahu apakah ini disebut kebetulan atau bagaimana. Tepat di pagi setelah lamaran Abbas dimalam harinya. Salah satu kerabatku datang untuk melamarku juga. Yang ini aku tidak tahu siapa dia, siapa namanya, dan seperti apa wajahnya. Aku tidak tahu. Katanya dia adalah Adiknya Rendy— sepupuku di kampung, namanya..aku sudah lupa. Tapi jangankan Adiknya, Rendynya saja aku sudah lupa bagaimana wajahnya dan yang manakah dia. Setahuku hanya Rendy itu adalah calonnya Widya, sahabatku di kampung.

WOW! Entah aku harus menyebut ini keberuntungan atau bagaimana. Aku yang notabenenya tidak pernah dekat dengan lelaki manapun. Tiba-tiba banyak yang datang melamar. Keduanya sama-sama anak pondokkan pula. Sangat amazing.

Akhirnya dengan berat hati Ayah menolak lamaran itu. Mama berseru heboh membangunkanku di kamar. Katanya beruntung sekali Abbas melamarku semalam. Kalau tidak, cowok itu pasti sudah didahului oleh Adiknya Rendy. Mengingat di kampungku memiliki adat bahwa dilarang keras menolak lamaran. Katanya sih nanti akan jadi perawan tua. Heleh, percaya saja dengan yang begituan. Aku sih jelas tidak percaya. Setiap orang dimuka bumi ini sudah memiliki jodoh bahkan sebelum dilahirkan. Hfftt…menurutku itu hanya mitos jaman dulu.

Terlihat dari antusiasnya wajah Mama aku tahu beliau sangat bahagia mendapatkan menantu seperti Abbas. Aku yang baru bangun tidur itu hanya menatap Mama tanpa berkomentar apa-apa. Aku lebih tertarik pada berita bahwa salah satu sahabatku di kampung ini—Widya. Tepat di hari yang sama dengan penerimaan lamaran di rumahku. Ternyata siangnya, berbanding terbalik dengan yang terjadi di rumah Widya. Keluarga Widya malah tengah menolak sebuah lamaran dari Rendy. Setahuku hubungan mereka baik-baik saja. Lalu kenapa Widya menolaknya?

Sebelumnya ku pikir Rendy lah yang melamarku, untuk menutupi malu karna di tolak lalu segera mencari pengganti. Aku lebih terkejut jika aku yang akan dijadikan pengganti Widya. Setidak laku itukah diriku sampai aku dijadikan sebagai pemeran pengganti? Sungguh itu sangat menyakitkan. Hingga tanpa sadar aku mensyukuri Abbas lah yang mendapatkanku lebih dulu, eh?

Tapi Mama menjelaskan bahwa bukan Rendy yang akan melamarku. Melainkan Adiknya. Aku sedikit bernapas lega mendengarnya.

Mm., tentang Nyi Ningsih. Aku tidak ambil pusing tentang gadis itu. Memang awalnya aku merasa tidak enak karna dulu dia bercerita padaku bahwa dia dan Abbas berpacaran. Tapi bukan salahku, kan? Aku tidak pernah meminta Abbas untuk melamarku. Cowok itu sendiri yang datang melamarku. Bukan aku yang meminta. Terserahlah mau Nyi Ningsih menganggapku jahat atau bagaimana. Kehilangan satu teman yang tidak menganggapku teman itu bagiku adalah sebuah keberuntungan. Bagus dia pergi tanpa harus ku usir lebih dulu. Wkwk.. Jangan di contoh, ya!

Tapi yang terjadi berbeda dengan pikiranku. Ternyata Nyi Ningsih masih sempat menyapaku saat berkunjung ke rumah, meski jelas ku lihat ada senyuman miring di bibirnya. Kalian tahu saat itu aku tidak mau peduli lagi. Mau gadis itu menyapaku atau tidak. Aku tidak peduli. Dan aku tidak akan mau menyapa lebih dulu. Biar sajalah. Aku juga sudah malas berteman dengan orang seperti dia. Hanya datang jika ada perlunya saja. Terlebih saat ku ketahui bahwa dia sering membicarakanku ini-itu di belakangku. Teman fu*k seperti itu menjijikkan sekali dimataku. Mondok tapi akhlaknya begitu. Lebih baik tidak usah mondok sekalian!!

Cih! Melihatnya, merusak pemandanganku saja.

Berbuat baik padanya dulu itu begitu ku sesali setelah mengetahui sifat aslinya. Nyaris tak habis pikir kenapa aku bisa berteman dengan orang seperti itu.

Oke, cukup sudah. Aku emosi sekali jika membahas tentang dia. Intinya seperti itulah. Aku dan Nyi Ningsih sejak itu tidak menjadi teman baik lagi. Gadis itu lebih sering menatapku sinis. Mungkin karna dia tidak terima Abbas melamarku, mungkin saja kan? Atau karna hal lain yang tidak ku ketahui. Entah kenapa aku semakin tertarik membuatnya kesal dengan berpura-pura bersikap seakan aku bangga memiliki Abbas. Tapi jauh sebelum aku bersikap seperti itu, dia sudah kesal lebih dulu. Itu ekspresinya menurutku. Cantik-cantik kok hatinya busuk?

Oke, oke cukup. Anggap saja dia angin lalu.

Dan yah, setelah itu. Tidak ada perubahan. Abbas dan aku masih tidak saling bersua. Kadang terbesit dalam hati sebuah pertanyaan ini maksudnya apa coba? Dia datang melamar, tapi lamaran itu sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Perihal perasaan Abbas. Aku tidak tahu sama sekali. Dia tidak pernah menyapaku layaknya orang-orang yang habis di lamar pada umumnya. Tidak pernah mencoba meminta nomer ponselku. Atau meminta pertemanan di akun medsosku. Atau mengajak bertemu. Tidak! Dia tidak melakukan semua itu.

Dia…masih penuh tanda tanya bagiku.

***

LDR 1

LDR 1

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Namanya Kalista Anjani, kuliah di UGM (universitas gadjah Mada) dan dia tinggal di asrama kampus. Itu impiannya sejak kecil. Hubungan dengan orang tuanya tak terlalu baik. Bahkan bisa dibilang itu alasan utama mengapa Kalista ingin kuliah yang jauh sekali sehingga tidak perlu bertemu dengan orang tuanya setiap hari. Awalnya Kalista sangat rajin dan cukup mahir mengerjakan tugas kuliahnya. Namun beberapa kendala terjadi dipertengahan semester. Perjodohan dengan tetangga di kampung halamannya membuat Kalista uring-uringan dan galau setiap waktu. Ditambah lagi ekonomi keluarganya mulai merosot hingga membuat Kalista diam-diam bekerja paruh waktu disebuah restoran dekat kampus. Abbas, begitu panggilannya. Meski bertetanggaan keduanya sama-sama tidak memiliki ketertarikan sejak kecil. Bahkan mungkin mengira bahwa Kalista ada pun bagi Abbas tidak pernah. Begitu juga sebaliknya. Dingin dan cuek sifat Abbas pada Kalista. Itulah mengapa rumit sekali hubungan keduanya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset