Louis langsung menggeleng dengan cepat, “Google mapsku hebat, dia bisa menunjukkan tempat ini dengan akurat,” balas Louis sembari tersenyum lebar.
“Duduklah. Kau sudah makan?” lanjut Reyhan. “Aku harap, kau tidak keberatan makan makanan di pinggir jalan seperti ini. Lisa ini penggemar fanatik jajanan di pinggiran alun-alun kota Bandung.”
“Oh, ya?” taya Louis yang tampak antusias, sembari melepaskan jaket jeansnya yang berwarna hitam, kemudian menyampirkannya ke sandaran kursi. “Aku bersedia mencoba makanan apa pun. Aku bukan orang yang pemilih soal makanan. Aku juga pernah mendengar jika makanan khas kota ini sudah terkenal enak di mancanegara.”
Lisa tersenyum acuh tak acuh. Namun, dia membuat catatan baru dalam hatinya. Katanya tadi dia tidak memilih-milih kalau menyangkut makanan. Hal ini adalah salah satu sikap yang disukai Lisa.
“Dia juga penulis buku.” Reyhan melanjutkan memperkenalkan Lisa kepada Louis.
Dia bersikap seolah sedang membanggakan anak kesayangannya.
Setelah itu, tiba-tiba dia menjentikkan jarinya dan menatap Lisa. “Kamu juga menyediakan sebuah link di media sosial untuk penggemarmu yang ingin membagikan kisah mereka, untuk diceritakan lewat tulisanmu yang berupa sebuah novel, bukan?” tanyanya kepada Lisa.
Lisa tidak menyahut, dia hanya mengerjapkan matanya dan sedikit mengangguk dengan acuk tak acuh.
Reyhan menoleh ke arah Louis dan menepuk bahu temannya itu. “Dengar, bukannya kau punya cerita bagus? Kau bisa menulis dan mengirimkan kisahmu ke link itu.” Reyhan memberikan ide yang cemerlang menurutnya.
Sementara, Louis langsung tertawa kecil dan menggeleng-geleng kepalanya dengan pelan.
“Apa? Cerita apa?” tanya Lisa dengan antusias, tanpas sadar dia bertanya seperti itu.
Oke, Reyhan berhasil membangkitkan rasa penasarannya. Ia menumpukan kedua tangannya di meja dan mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Dia belum menjelaskan detail ceritanya, tapi tadi ketika dia menelepon, katanya dia bertemu gadis yang membuatnya terpesona,” sahut Reyhan. “Begitu datang dari Singapura, langsung tertarik dengan gadis Indonesia. Hebat sekali!”
Louis tersenyum malu. “Tidak seperti itu, dia terlalu melebih-lebihkan,” timpal Louis tanpa melihat ke arah Reyhan, karena pandangannya tetap tertuju kepada Lisa. “Aku tidak bilang begitu,” sambungnya kembali kepada Lisa.
“Jangan hiraukan ucapan Reyhan,” sahut Lisa, sembari mengaduk-ngaduk minumannya.
“Kalau kamu punya cerita atau kisah menarik, silahkan kirimkan itu lewat link yang sudah aku sediakan di akun khusus untuk cerita. Siapa tahu aku bisa mengengembangkan kisah itu dan dapat dinikmati oleh orang lain.”
“Nanti akan aku pikirkan,” sahut Louis tidak lupa dengan senyuman tipisnya.
Tring!
Tidak lama kemudian, tiba-tiba ponsel Lisa mengeluarkan notif. Dia segera merogoh tas tangannya dan mengeluarkan ponsel.
Ia menatap benda pipih itu sejenak, lalu berkata kepada kedua laki-laki yang kini berada tepat di hadapannya itu dengan nada menyesal, “Maaf, aku tidak bisa di sini lebih lama. Ada urusan mendadak. Aku harus pulang sekarang.”
“Kenapa buru-buru?” tanya Reyhan bingung.
Dia masih ingat, jika tadi Lisa sempat mengatakan kepadanya, bahwa dia tidak ada urusan lagi, lalu kenapa sekarang dia mengatakan jika ada urusan. Jikapun memang ada, urusan apa?
Lisa tidak menjawab pertanyaan Reyhan. Dia mengenakan kembali jaket dan syalnya. “Aku akan meneleponmu nanti, Rey,” ucapnya dengan pandangannya tepat ke arah Reyhan.
Setelah itu, dia menoleh ke arah orang yang berada di samping Reyhan. Orang yang dimaksud tidak lain adalah Louis.
Dia mengulurkan tangan dan tersenyum singkat. “Senang berkenalan denganmu, Louis. Aku minta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama. Mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi.”
Louis menyambut uluran tangannya dan tersenyum hangat. “Tidak apa-apa. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa.” Lisa merangkul Reyhan dan menempelkan pipinya di pipi Reyhan dengan sekilas, setelah itu dia melambaikan tangannya kepada Reyhan dan Louis secara bersamaan.
***
Lisa duduk bersila di lantai ruang tengah apartemennya yang kecil dan berantakan. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan, merentangkan sepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat warna bening dengan giat.
Pagi ini, ia tidak punya jadwal ke kantor, karena hari ini adalah weekend. Sehingga awalnya dia bermaksud merapikan apartemennya yang sudah seperti diterpa bencana banjir dan puting beliung. Sangat berantakan dan tidak berbentuk.
Dia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Namun, begitu menemukan sebuah botol cat kuku putih bening yang terselip di antara pakaian-pakaiannya, dia melupakan rencana awal, dan akhirnya asik mengecat kuku di ruang tengah sambil mendengarkan musik.
“Wah, terlihat sangat cantik.” Lisa tersenyum puas sembari menggerak-gerakkan sepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
Di sela-sela kegabutannya yang hanya menunggu cat kukunya mengering, Lisa terpikir untuk sebuah link yang dibuatnya khusus untuk para penggemar yang menikmati karya-karyanya.
Dia berjalan ketempat tidurnya sembari membawa sebuah laptop yang sudah berada dalam pelukannya. Tanpa menunggu waktu lama, Lisa langsung menyalakan laptopnya, kemudian masuk ke situs web untuk mengecek seberapa banyak cerita yang dikirimkan untuknya.
“Aish! Ternyata banyak juga yang mengirimkan kisah mereka. Tidak kusangka antusias mereka akan seperti ini,” gumamnya sembari terus melihat data-data yang telah masuk.
Dari sekian banyak kisah yang dikirimkan untuknya, tidak ada satu pun kisah yang tidak dia baca. Dia selalu membaca kisah-kisah dari penggemarnya, hal itu dia lakukan untuk menghargai mereka yang sudah bersedia membagi kisah.
Ada berbagai tujuan yang berbeda yang melatar belakangi, sampai mereka mau membagi kisah mereka. Salah satunya, hanya karena mereka iseng saja, atau bahkan karena mereka meminta kisah mereka untuk diceritakan dalam sebuah novel yang dibuat oleh Lisa.
Meskipun begitu, mereka hanya menuliskan kisah mereka secara garis besarnya saja. Untuk selebihnya, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Lisa. Mereka sudah menyetujui jika Lisa akan menambahkan dan mengembangkan kisah mereka, sesuai imajinasi Lisa sendiri.
“Louis Arkeos?” lirih Lisa dengan keningnya yang mengerut, ketika dia membaca sebuah nama dalam data link yang baru saja masuk ke sistem data.
Entah kenapa, hatinya terdorong untuk mengklik nama itu. Nama itu terdengar asing baginya, tapi seperti tidak asing. Sepertinya ada rasa penasaran berlebih dalam dirinya.
~Louis Arkeos~
‘Hai… aku Louis Arkeos. Aku baru tiba di Bandung hari ini.’ Lisa mulai membaca isi dari cerita itu.
Suaranya terdengar cukup pelan, bahkan bisa dikatakan seperti setengah berbisik. Lisa punya kebiasaan, jika dia membaca dengan suara yang nanggung, antara terdengar dan tidak. Sebenarnya ini bukan suatu malasah, karena dia membaca untuk dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain mau mendengar atau tidak, yang terpenting dia paham dengan isi tulisan itu. Lagi pula saat ini dia sedang sendirian, tidak akan ada yang memprotes suaranya.
‘Ini adalah kunjunganku yang entah ke berapa kalinya ke Bandung. Biasanya … setiap kali pesawatku di Bandara Husein Sastra Negara, aku akan melakukan hal-hal rutin yang biasa aku lakukan. Aku turun dari pesawat, mengurus imigrasi, dengan sabar menunggu bagasiku muncul di ban berjalan, setelah itu langsung keluar dari bandara tanpa melihat ke kanan-kiri, dan tanpa mempedulikan orang lain yang sama-sama berada di sana.’
Lisa terus membaca isi file itu. Ada ketertarikan pada dirinya, untuk terus membaca cerita yang dikirimkan kepadanya. Sepertinya dia akan membaca kisah itu sampai selesai.