Senyum manis dan lebar terpampang di depan Clarabelle. Wanita cantik dengan tubuh besar, padat, dan seksi berdiri di depan Clarabelle.
“Apa kabar? Aku benar, ini kamu, Clarabelle!” Wanita itu maju beberapa langkah dan memeluk Clarabelle dengan hangat.
“Oh, my God. Rita!” Clarabelle segera melempar senyum lepas. Kejutan yang menyenangkan. Rita, teman baiknya saat dia mengikuti reality show waktu itu. Siapa yang mengira mereka bisa bertemu secara kebetulan seperti itu.
“Senang sekali melihatmu lagi, Clarabelle!” Rita masih memandang dengan senyum lebar. Kedua tangannya memegang bahu Clarabelle.
“Aku bayar belanjaanku, lalu kita bicara.” Clarabelle mengacungkan keranjang yang dia pegang. Gilirannya untuk membayar di kasir.
Beberapa menit berikut kembali kedua wanita itu bicara. Tapi Clarabelle tidak bisa lama karena harus segera pulang. Rita tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia memilih ikut ke rumah Clarabelle. Ada banyak yang dia ingin ceritakan. Dia masih punya setidaknya sampai tiga jam sebelum harus kembali ke hotel tempatnya menginap.
Tentu saja Clarabelle sangat senang. Mereka segera menuju ke rumah Adriano. Dengan senyum lebar Clarabelle mengenalkan ayahnya pada Rita. Wanita yang ramah itu segera akrab dengan Adriano. Setelah berbincang beberapa lama, Adriano kembali masuk ke kamar dan istirahat. Itulah waktu Clarabelle dan Rita bicara lebih jauh tentang hidup mereka masing-masing.
“Di akhir acara, hari itu, Simon meninggalkan aku, La. Aku hancur, aku terlanjur sayang padanya.” Rita memulai kisahnya. “Alasannya karena aku punya anak, dia belum siap.”
Clarabelle tidak menduga jika hubungan manis Rita dan Simon harus berakhir. Clarabelle merasa dadanya kembali berat. Dia pun sedang di situasi rumit, setelah mengetahui tujuan Jordan mengikuti reality show itu.
“Tetapi …” Rita meneruskan cerita. “Satu bulan setelah itu, Simon menghubungi aku. Dia bilang sangat rindu dan tidak bisa melupakan waktu-waktu kami bersama. Perjuangan yang tidak mudah selama dua bulan, dia yakin, pasti bukan tanpa alasan. Dia menemuiku, sungguh kejutan, Lala. Kami berkencan lagi, dia mulai mengenal Andrew, dan … mereka jadi teman baik.”
Senyum kembali menghiasi bibir Rita. Clarabelle melebarkan mata mendengar itu. Ternyata ada kisah lanjutan setelah hari terakhir di acara itu?
“Simon minta aku kembali dengannya. Kami, menikah lagi, di gereja.” Kalimat itu Rita ucapkan dengan rasa haru. “Simon sangat sayang pada Andrew. Aku tidak pernah mengira … Ini … sungguh berkat istimewa buat aku dan putraku.”
Di akhir kisahnya, Rita mengusap ujung matanya yang basah. Rita menambahkan jika kedatangannya ke kota itu karena ikut Simon yang ada keperluan bisnis. Sudah tiga hari dia di Sydney, esok hari dia dan Simon akan kembali ke kota asal Simon, di kota Coffs Harbour, yang berjarak lebih kurang lima setengah jam dari Sydney.
“Oh, thank God, aku senang sekali mendengar ini, Rita. Aku bahagia buat kam, Simon, dan Andrew.” Clarabelle merasa ada yang mengalir di hatinya. Senang dan juga sedih bercampiur di sana.
Senang, teman baiknya akhirnya mendapatkan kebahagiaan. Sedih, karena kisah Clarabelle sendiri berbalik. Di awal dia dan Jordan bisa disebut pasangan paling aman dan romantis. Ternyata baru berjalan setengah tahun, semua berubah. Jordan tidak semanis yang Clarabelle kira.
“Terima kasih. Aku sungguh bersyukur, tidak salah aku dipertemukan dengan Simon. Para ahli cinta itu memang mengerti aku dan Simon adalah pasangan yang serasi.” Kembali senyum lebar Rita mengembang. “Lalu apa kabar kamu dan Jordan? Aku benar, bukan? Jordanmu adalah Hayden berkelas itu?”
Clarabelle tersenyum. Manis, tapi tidak lepas. Rita bisa melihat ada nada sendu dari aura Clarabelle.
“Is there something happen?” Rita menatap Clarabelle.
“Yeah … kamu benar. Dia Hayden yang itu. Yang punya segalanya. Kamu juga benar, pasti dalam hubungan kita akan mengalami konflik, ada ketidakcocokan.” Clarabelle menarik lagi ujung bibirnya, masih berusaha tersenyum meski hatinya berteriak keras karena rasa pilu. Sebisa mungkin Clarabelle tidak mau menangis di depan Rita.
“Ohh, sorry …” Rita seketika paham, situasi Clarabelle dan Jordan sedang tidak baik.
“It is okay. Just pray for Jordan and me,” ucap Clarabelle.
“Lala, tetapkan hatimu. Jika kamu yakin, teruskan dan perjuangkan. Jika tidak, lepaskan sebelum kamu dan Jordan makin hancur, lalu terus saja saling menyakiti.” Rita menggenggam kedua tangan Clarabelle.
Clarabelle menarik napas dalam. Yang Rita katakan tidak salah. Clarabelle punya pilhan. Dia lepaskan Jordan atau dia bertahan, itu haknya.
“Apakah kamu sungguh cinta Jordan?” Rita masih lekat memandang Clarabelle.
Ujung mata Clarabelle basah. Dia mengerjap beberapa kali dan mengangguk. “Ya, aku memang jatuh cinta padanya, Rita. Aku sungguh sangat sayang padanya.”
Rita mengembuskan napasnya. Dia bisa merasa pilu yang mengalir di hati Clarabelle, meski tidak tahu apa yang terjadi. Dia juga tidak punya hak mencari tahu, kecuali Clarabelle dengan terbuka bicara.
“Lala, jika kamu butuh bantuan, kapan saja, aku siap,” ucap Rita.
Clarabelle mengangguk lagi. “Thank you, Rita.”
Hari mulai gelap, Rita segera pamit. Jordan belum ada kabar. Clarabelle masuk ke kamar dengan hati makin gundah.
*****
Sedangkan Jordan, dia masih di rumah Ronald. Siang saat sampai di rumah Ronald, Jordan seperti orang kalap. Dia marah-marah dan memaki-maki Ronald. Dia menyebut juga Warren dan Louie sebagai biang kerok kekacauan yang dia alami.
Awalnya Ronald bingung dengan semua yang Jordan katakan. Dia bicara melompat sana sini, tidak jelas. Akhirnya Ronald mulai bisa menyusun kerangka persoalan yang membelit temannya itu. Satu sisi, ada rasa bersalah juga di hatinya karena punya usulan gila. Membuat taruhan, agar Jordan menikah dengan seorang wanita dalam waktu tiga bulan.
Siapa yang mengira Jordan benar-benar melakukannya. Taruhan itu sudah usai, tapi perjalanan rumah tangga Jordan baru dimulai. Dan Jordan sangat kacau setelah istrinya tahu soal taruhan itu!
“Aku harus bagaimana, Ron? Katakan padaku?!” Jordan menyentak Ronald, lalu dia meneguk anggur di gelasnya, yang masih ada setengah. Jordan sudah banyak minum. Hampir dua botol dia tenggak sendiri.
“Joy, sudah cukup kamu minum. Kamu tidak akan bisa berpikir kalau mabuk.” Ronald mengambil gelas yang Jordan pegang. Sekaligus satu botol anggur, Ronald pindahkan agar tidak dijangkau oleh Jordan.
“Hei, jangan gila! Aku butuh minum, Ron!” sahut Jordan.
“Kamu butuh tidur. Lalu kamu akan lebih tenang dan bisa menyelesaikan masalah kamu.” Ronald kembali ke tempatnya, duduk di sisi Jordan.
“Aku harus gimana, Ron?” Jordan menarik lengan Ronald dan menatap kesal pada temannya. Mata Jordan tampak kuyuh dan kacau.
Ronald memegang kedua bahu Jordan. Ini baru kali pertama dia lihat Jordan begitu kalut karena seorang wanita. Sebelumnya Jordan tidak akan pernah peduli. Kalau wanita itu marah, Jordan akan meninggalkannya. Dengan sombongnya Jordan akan berkata, wanita itu pasti akan mencarinya dalam beberapa hari.
“Kenapa kamu pusing? Tetapkan hatimu.” Ronald menatap Jordan. “Kalau kamu lelah, lepaskan dia. Mudah, kan?”
“Apa kamu bilang?” Jordan balik menatap mata kecil Ronald. “Gampang kamu bicara!”
“Joy … ini seperti bukan kamu.” Ronald makin dalam memandang Jordan. “Apa kamu cinta Clarabelle?”
Pertanyaan itu membuat mata Jordan melebar. Apa dia cinta Clarabelle?