Adela dan Ayres yang baru saja tiba di mansion Kakek Alan disambut dengan begitu hangat oleh para pegawai yang bekerja di sana. Mereka menebar senyuman saat masuk ke dalam rumah yang lebih pantas disebut istana tersebut saking luasnya.
Ayres menggeleng pelan melihat betapa mewah pesta yang katanya sebatas pesta makan malam keluarga tersebut. Yah, maklum saja sebagai salah satu keluarga paling kaya di kota itu sekaligus sangat berpengaruh, pesta seperti ini bagi mereka hanya pesta biasa.
“Papa, Mama!” panggil Adela sesaat setelah melihat eksistensi orangtuanya yang sedang bercengkrama dengan kakek Alan.
“Hai, Sayang,” sapa Anita, ibunda Adela sembari memeluk sang anak singkat. Sementara Ayres menyapa dengan menundukkan badannya.
“Wah! Kau tambah gagah saja, Nak,” puji Andrew, ayah Adela menepuk pundak Ayres beberapa kali mengundang tawa antara mereka sementara kakek Alan hanya mengangguk sembari tersenyum tipis ke arah Ayres.
Keluarga Andrew sudah sampai di sana kini tinggal menunggu kedatangan keluarga Andres. Tak butuh waktu lama keluarga mereka pun tiba namun ada satu hal yang membuat Kakek Alan serta keluarga Andrew tak bisa mengalihkan pandangan. Sebab mereka tidak hanya datang bertiga, namun berempat dengan seorang pria muda yang mungkin berusia 27 tahun.
Setelah saling menyapa untuk sekedar basa-basi, Kakek Alan pun mengajak mereka menunju meja makan. Makanan enak dan mahal telah tertata dengan rapi di atas meja. Tak hanya rapi, makanan itu juga punya daya tarik seni yang luar biasa membuat orang yang melihatnya pertama kali mungkin tidak akan tega untuk memakannya saking indahnya.
Seperti halnya pria asing yang sedang bersama dengan keluarga Andres. Matanya menatap kagum dengan mulut yang terbuka lebar. Anggun, wanita di sampingnya sampai harus menepuk pundak pria itu untuk menyadarkannya dari kekaguman.
“Jadi, ini pria yang akan menjadi calon suamimu, Anggun?” tanya Kakek Alan membuka percakapan.
Anggun yang ditanya langsung menatap ke arah sang kakek sembari tersenyum lebar.
“Iya, Kek. Perkenalkan dia Arvino Liem,” kata Anggun dengan bangga memperkenalkan calon suaminya yang cukup tampan.
“Selamat malam semuanya,” kata pria bernama Arvino tersebut menundukkan kepala menyapa mereka semua di sana.
“Wah! Ternyata kau pintar juga mencari suami yang punya awalan nama yang sama dengan keluarga kita,” kata Kakek Alan membuat mereka semua tertawa.
Entah sebuah kebetulan atau tidak, semua keluarga Kakek Alan memiliki nama dengan huruf awalan A.
“Bukankah itu syarat mutlak untuk menjadi anggota keluarga Mattheo?” canda Anggun.
“Ya, kau memang benar,” timpal kakek Alan setuju. “Jadi kapan rencana kalian akan menikah?” lanjutnya bertanya.
“Bulan depan, Tuan Mattheo,” jawab Arvino terdengar begitu kaku. Pria itu mencoba untuk tetap menjaga sopan santunnya di depan keluarga calon istrinya.
“Tidak perlu kaku seperti itu. Bukankah sebentar lagi kita akan menjadi keluarga? Panggil kakek saja seperti yang dilakukan Anggun,” kata Kakek Alan.
Meski terlihat malu-malu Arvino menuruti saja titah sang kakek. Ternyata berita yang beredar itu benar. Kakek Alan adalah sosok yang ramah. Padahal Arvino sudah sangat was-was tadi, takut jika ‘sang raja’ tidak menyukainya. Namun sepertinya dia tidak perlu khawatir sekarang.
Sementara keluarga Andres terlihat begitu bahagia membahas pernikahan Anggun dan Arvino, keluarga Andrew hanya bisa tersenyum tipis. Tidak berniat juga bergabung dalam percakapan itu. Namun mereka tetap memberi selamat. Tentu saja.
“Aku permisi ke toilet sebentar,” kata Adela pada mereka.
Wanita itu pun berlalu dari sana. Setelah menyelesaikan urusannya Adela keluar dari toilet tersebut. Dia berhenti sebentar ketika melihat sosok wanita yang tengah berdiri sembari menatapnya dengan senyuman terpatri di wajahnya.
Adela hanya menghela napas lalu melanjutkan langkah untuk mencuci tangannya di wastafel.
“Aku tahu kau pasti tidak menikmati malam ini kan?” tanya Anggun dengan nada mengejek.
Adela mendongak menatap adik sepupunya itu dari cermin besar yang ada di hadapan mereka.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Adela mengernyitkan dahinya bingung.
“Ya. Tentu saja. Karena pesta malam ini diadakan untuk menyambut calon suamiku,” kata Anggun berjalan lebih dekat. “Sayang sekali. Adela yang biasanya selalu menjadi tokoh utama, malam ini harus rela menjadi tokoh figuran,” lanjutnya tertawa.
Adela tersenyum lebar lalu berbalik untuk menatap wanita yang lebih muda darinya tiga tahun. Namun tidak pernah ada sikap sopan yang Adela lihat apalagi saat mereka hanya berdua seperti ini. Yang Adela lihat hanyalah seorang wanita arogan dan serakah.
“Tidak apa-apa,” Adela menepuk pundak Anggun pelan. “Membuat tokoh figuran sedikit merasakan bagaimana rasanya menjadi tokoh utama bukanlah masalah. Namun bukan berarti hal itu bisa membuatnya menjadi tokoh utama. Sekali kau menjadi tokoh figuran maka selamanya akan tetap seperti itu,” kata Adela lembut namun sangat menohok.
Dia bisa melihat bagaimana rahang Anggun mengeras karena emosi. Wanita salah besar telah menjadikan Adela sebagai lawannya. Tentu saja mereka tidak akan sebanding.
“Seharusnya kau tahu dimana batasanmu, Anggun,” kata Adela dan kali ini raut wajahnya berubah serius. “Keluargaku sudah cukup baik padamu. Apakah itu cukup sampai kau juga mengincar apa yang seharusnya menjadi milikku?”
“Sayangnya aku menginginkan semuanya.”
Bukankah sudah Adela katakan jika Anggun itu wanita arogan dan serakah. Namun sepertinya Adela harus menambahkan satu sifat lagi. Tidak tahu diri. Ya. Sepertinya itu sifat paling cocok yang bisa menggambarkan seorang Anggun.
Kali ini Adela yang hampir tersulut emosi. Bahkan tangannya sudah hampir terangkat dan melayangkan satu tamparan di pipi kiri Anggun. Namun Adela masih bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Dia menarik napas dan membuangnya beberapa kali dengan sangat pelan. Tak ingin Anggun sampai menyadari jika dirinya sedang dikuasai emosi sekarang.
“Baiklah. Kita lihat saja sampai dimana kemampuanmu untuk merebut hakku,” kata Adela malah menantang adik sepupunya itu. Adela melangkahkan tungkainya untuk menjauh dari sana namun belum sempat dia meraih gagang pintu suara Anggun kembali terdengar.
“Dia yang akan merebutnya darimu, Adela.”
Kening Adela berkerut. ‘Dia’? Dia siapa maksud Anggun?
Anggun ikut berbalik kemudian berjalan ke arah pintu. Meraih gagang pintu itu lebih dulu. Dan saat dia berdiri tepat di samping Adela, Anggun berbisik pelan.
“Berdoalah agar kau juga cepat hamil menyusulku,” ujarnya kemudian berlalu dari sana meninggalkan Adela yang diam membeku di tempatnya.
Tubuh wanita itu gemetar. Jika tadi dia bisa dengan mudah mengontrol emosi yang tercipta, kali ini Adela kalah. Dia sampai harus berpegangan pada gagang pintu yang telah tertutup kembali. Napasnya memburu, telapak tangan yang berkeringat serta dada yang terasa sesak. Adela berjuang keras untuk mengembalikan kesadarannya.
Tunggu?
Dia tidak salah dengar kan?
“Jadi, Anggun sudah hamil?”
Bersambung…..