Wiryo duduk di bangku panjang mengamati kelima adiknya yang sedang tertidur pulas di ranjang. Dua ranjang reyot yang ada di hadapan, menjadi tempat tidur ternyaman baginya dan kelima saudaranya yang lain. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Mata Wiryo kini tertuju kepada sang Ibu yang terlihat pulas tertidur di sudut ruangan.
Wanita yang telah melahirkan Wiryo dan saudara-saudaranya itu tidur beralaskan pakaian-pakaian mendiang suaminya yang meninggal tiga hari lalu. Ya, Ayah Wiryo meninggal karena kecelakaan. Lelaki kuat nan gagah yang menjadi tulang punggung keluarga itu, merenggang nyawa. Tubuh kekarnya tertimpa batu, ketika sedang membuka jalan antara Pisang Sari dan Alas Randu.
Sebagian orang mengatakan Ayah Wiryo menjadi tumbal untuk membuka ruas jalan tersebut. Sang Penunggu Alas Randu tentu saja tak akan mengizinkan dengan mudah wilayah kekuasaannya diobrak-abrik sembarangan. Namun, bagi Wiryo dan keluarganya, jodoh, mati, dan rezeki adalah takdir dari Tuhan. Mereka semua ikhlas menerima kenyataan. Bagi Wiryo sekeluarga apa yang sudah terjadi tak perlu disesali.
Akan tetapi, yang menjadi pemikiran pemuda berusia 15 atau 16 tahun itu adalah bagaimana caranya dia mendapatkan uang untuk acara selamatan tujuh hari sang Ayah ke depan. Belum lagi acara 40 hari, dan acara-acara selamatan selanjutnya.
“Kamu belum tidur, Nak?”
“Ibu ….”
Wiryo menatap sang Ibu yang bangun. dari tidurnya. Wanita yang masih terlihat muda dan cantik tersebut kemudian berjalan menghampiri sang Putra.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya sang Ibu sambil tersenyum.
“Nggak ada, Bu,” jawab Wiryo berusaha tenang.
“Ibu tahu, kamu pasti memikirkan uang untuk selamat bapakmu beberapa hari ke depan, kan? Tenang saja, ibu sudah cari pinjaman sama Pak Kadus,” ucap sang Ibu lagi.
“I-ibu minjam sama Pak Kadus?” tanya Wiryo tak percaya.
“Apa boleh buat, Nak. Hanya beliau yang sudi meminjamkan ibu uang. Itu pun jangan sampai istrinya tahu,” lanjut sang Ibu.
“Tapi, Bu. Kita semua tahu gimana watak Pak Kadus, Wiryo takut ….”
“Ssst … sudahlah, Nak, kamu tenang saja. Bagaimana ke depan, biar ibu yang tanggung. Terpenting kita dapat menyelesaikan semua selamatan untuk mendiang bapakmu ke depannya,” lanjut sang Ibu mengingatkan.
“Wiryo janji akan bantu Ibu cari uang mulai sekarang. Wiryo sekarang sudah besar, lihat Bu, semua teman Wiryo bahkan sudah pergi merantau,” ucap Wiryo penuh semangat.
“Kalau kamu pergi, siapa yang akan bantu ibu di rumah, Nak? Adik-adikmu masih butuh sosok pelindung. Mereka baru saja kehilangan bapakmu, masa kamu tega meninggalkan mereka juga?”
“Bu, kita nggak bisa hidup seperti ini terus. Apa selamanya kita akan mengharapkan uluran tangan dan pinjaman dari orang lain? Sekarang justru karena adik-adik masih kecil, aku harus mulai mencari rezeki untuk masa depan mereka,” kata Wiryo tegas.
Padmini, sang Ibu, hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Begitulah memang sifat Wiryo, keras dan tegas, sama seperti mendiang sang Ayah dahulu. Memang benar apa yang dikatakan oleh Wiryo, di kampung ini khususnya anak-anak seusia Wiryo memang telah banyak yang pergi merantau ke luar kota.
“Ya sudah, setelah tujuh hari bapakmu, kamu boleh mencoba pergi bekerja. Tapi, apa kamu sudah tahu kira-kira mau bekerja apa?” tanya Padmini kepada putra sulungnya tersebut.
“Sementara, Wiryo mau menggantikan pekerjaan Bapak,” jawab Wiryo mantap.
“Tapi, Nak ….”
“Ibu nggak usah khawatir, itu cuma sementara, Bu. Setelah empat puluh hari Bapak, aku akan mencoba ikut Paklik Paidi ke Yogya,” sahut Wiryo mantap.
Padmini tersenyum kemudian mengangguk setuju. Dia sungguh tak menyangka bahwa putra sulungnya tersebut ternyata sudah sangat dewasa, baik fisik maupun pikirannya. Padmini merasa beruntung ada Wiryo yang kini bisa menjadi temannya berbagi cerita.
“Sekarang Ibu sebaiknya kembali tidur, di kamar, ya, Bu. Jangan tidur di sana lagi,” ucap Wiryo sambil menunjuk bangku yang ada di pojok ruangan itu.
“Iya, Nak. Jangan lupa besok pagi kamu dan Lastri pergi ke pasar, ya, kalian beli bahan-bahan untuk selamatan,” kata Padmini sebelum beranjak ke kamar.
“Iya, Bu.”
“Kamu juga cepatlah tidur.”
Wiryo menuruti perkataan sang Ibu, dia kemudian merebahkan diri di samping kedua adik laki-lakinya, Bagyo dan Haryono, sedangkan di ranjang sebelah Lastri sang adik yang lahir setelah Wiryo, tidur bersama adik ketiganya, Sundari, dan adik bungsu mereka Harmini. Mereka enam bersaudara lahir dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh.
****
Paginya Wiryo dan Lastri pergi ke pasar sesuai dengan perintah sang Ibu, sedangkan saudara mereka yang lain membantu pekerjaan ibunya di rumah. Mulai dari menyiapkan kayu bakar, membersihkan rumah, dan mencuci semua perkakas yang akan digunakan untuk selamatan nanti malam.
Di kampung Randu Alas ini, para warganya bagaimanapun keadaan mereka baik kaya ataupun miskin, harus bisa mengadakan selamatan kematian selama tujuh hari berturut-turut. Jika tidak, maka bersiaplah akan menjadi bahan gunjingan seluruh kampung selama berbulan-bulan, bahkan tahun-tahun ke depannya.
Maka dari itu, semiskin apapun keluarga di kampung Randu Alas, mereka akan berusaha mencari jalan keluar terbaik demi bisa mengadakan acara selamat yang pantas bagi pihak keluarga yang meninggal. Suguhan yang diberikan bagi tetangga yang datang untuk mendoakan juga tidak boleh sembarangan. Belum lagi sembako yang wajib diberikan untuk mereka yang turut mendoakan, satu saja isinya kurang, maka akan menjadi cibiran.
Itulah mengapa Padmini, rela merendahkan harga dirinya untuk mencari utangan kepada Pak Kadus, Sarjono, yang sudah terkenal mata keranjang. Di dusun Sirih Enom ini, semua orang tahu sifat dan watak Pak Kadus, tetapi tidak ada yang berani menentangnya. Kekayaan dan juga harta yang dimiliki Pak Kadus Sarjono memang termasuk salah satu dari mereka yang terkaya di kampung Randu Alas.
“Padmini! Keluar kamu dasar wanita jalang!”
Terdengar suara teriakan dari luar rumah Padmini. Padmini yang sedang mencuci beras segera meninggalkan pekerjaannya dan tergopoh menuju sumber suara yang memanggilnya. Hatinya berdebar, dia paham betul siapa pemilik suara tersebut. Padahal kemarin Padmini sudah berusaha berhati-hati, tetapi dia tak menyangka bahwa perbuatannya bisa diketahui juga.
Sariasih, nama wanita yang tengah berkacak pinggang di hadapan Padmini ini adalah istri dari Pak Kadus Sarjono. Semua orang di Sirih Enom, bahkan di kampung Randu Alas tahu bahwa Sariasih adalah salah satu macan kampung. Tidak ada yang berani melawan Ibu Sariasih, selain beliau adalah istri dari pemimpin dusun, Ibu Sariasih adalah anak dari mantan lurah sebelumnya yang sangat disegani dan juga kaya raya pastinya.
“A-ada apa Bu Kadus?” tanya Padmini mencoba ramah.
“Ada apa, ada apa, kamu nggak usah sok polos begitu. Katakan kepadaku berapa uang yang dikeluarkan suamiku untukmu?” tanya Bu Kadus geram.