Wiryo dan Lastri mempercepat langkah mereka. Beberapa tetangga menjemput dan memberi tahu keduanya tentang apa yang sedang terjadi di rumah mereka. Sang Ibu sedang dilabrak oleh Bu Kadus Sariasih. Setengah berlari, Wiryo berusaha secepat mungkin untuk sampai di rumah. Dia ingin melindungi sang Ibu dari amukan Bu Kadus, tetapi Wiryo juga ingat bahwa dia tak boleh gegabah karena sedang membawa telur untuk selamatan sang Ayah nanti.
“Mas, pelan-pelan saja,” ucap Lastri.
Sang Adik terlihat kepayahan, mereka berdua memang membawa cukup banyak belanjaan.
“Sini biar Mbah yang bantu bawakan barang-barangmu. Mbah tahu kamu ingin segera sampai di rumah.”
“Makasih, Mbah Semi. Saya jalan dulu,” sahut Wiryo.
Untung ada Mbah Semi, seorang janda tua yang tinggal di seberang rumah Wiryo. Beliau jugalah yang menjemput Wiryo dan Lastri bersama beberapa tetangga lain. Namun, di antara semua tetangga yang menjemput memang tidak ada satu orang pun yang berani menawarkan bantuan untuk dua saudara tersebut. Mereka semua takut jika harus berurusan dengan Ibu Sariasih. Hanya Mbah Semi yang berani membantu keduanya karena merasa tidak akan ada ruginya. Toh, beliau tidak berhubungan secara langsung dengan Ibu Sariasih.
Mbah Semi paham beberapa orang tetangganya yang lain enggan membantu Wiryo dan Lastri karena takut ke depan tidak akan diberikan pinjaman oleh Ibu Sariasih. Namun, hal itu tentu saja tidak berlaku bagi janda tua tersebut. Hidupnya terbilang sudah cukup makmur dan terjamin di masa tuanya. Keempat anaknya sudah sukses merantau dan menetap di luar kota, jadi uang tak ada masalah untuknya.
Hanya saja rasa kesepian yang sering melanda hati Mbah Semi, dan Wiryo serta adik-adiknyalah yang terkadang datang menemani dan menghibur hati Mbah Semi. Wanita tua tersebut membantu Wiryo membawa barang-barang belanjaannya, dia juga memanggil Lastri untuk mengikuti langkahnya.
“Kamu jangan pulang dulu. Bawa semua belanjaan ini ke rumah Mbah, ya, takutnya nanti kalau kita bawa pulang, diobrak-abrik sama wanita itu,” ucap Mbah Semi kepada Lastri.
Gadis berusia 14 tahun tersebut mengangguk tanpa banyak bicara. Dia tahu bahwa Mbah Semi mengatakan sebuah kebenaran. Lastri tentu saja tak ingin barang belanjaan persiapan selamatan sang Ayah hancur dan menjadi tak berguna. Untuk itu Lastri mengikuti Mbah Semi, mengambil jalan memutar lewat belakang rumah beliau.
“Kalian yang lain sana pergi lihat keadaan. Jangan mengikuti kami. Lihat mereka bahkan berbelanja untuk kalian,” ucap Mbah Semi sambil mengusir tetangganya yang lain.
“Lha kok, untuk kami, Mbah? Itu kan untuk selamatan Kang Warjono,” ucap seorang tetangga.
“Minah, jadi orang pintar sedikit. Ini nanti dibagikan untuk siapa? Untuk tetangga toh, kamu ini sudah tua tapi nggak pintar juga,” jelas Mbah Semi sambil bersungut.
“Oh, iya,” sahut wanita tambun yang dipanggil Minah tersebut.
Tak lama beberapa tetangga yang lain kembali k rumah masing-masing. Namun, sebagian ada juga yang berjalan menuju rumah Wiryo dan keluarganya, mereka tentu saja penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sana. Bagi mereka sebuah tontonan gratis seperti sekarang tidak boleh dilewatkan.
**
“Cukup Bu Asih, jangan tunjuk-tunjuk Ibu saya!” teriak Wiryo.
Pemuda tanggung tersebut tentu saja tidak terima jika sang Ibu direndahkan oleh orang lain, terlebih itu adalah Ibu Sariasih, wanita yang jelas-jelas beberapa kali dipergoki oleh Wiryo sedang menggoda almarhum bapaknya dahulu.
“Walah ada cah bagus, anak gantengnya Mas Warjono,” ucap Bu Sariasih sambil tersenyum ketika melihat kedatangan Wiryo.
Bagi Ibu Sariasih, sosok Wiryo benar-benar serupa sang Ayah, tampan dan gagah. Namun, tentu saja keras kepala. Melihat Wiryo bejalan tegak menghampirinya ada perasaan aneh yang berdesir di dalam dada. Wanita angkuh tersebut tersenyum miring membayangkan sesuatu.
“Wiryo, jangan begitu, Nak,” kata Padmini sambil berjalan menghampiri putra sulungnya tersebut.
“Ibu nggak apa-apa?” tanya Wiryo.
Dia memeriksa keadaan sang Ibu, dilihatnya juga keempat adiknya yang bersembunyi di balik pintu. Bagyo tampak sedang memeluk Haryono, dan Sundari yang melindungi Harmini dalam pelukannya. Pasti keempat adiknya itu sangat ketakutan melihat kejadian barusan.
“Ibu nggak apa-apa, Nak. Ibu Sariasih datang dan berkunjung, menanyakan utang ibu,” jawab Padmini sambil berusaha tersenyum.
Wiryo tahu sang Ibu hanya berusaha menutupi kekhawatirannya. Semua orang juga tahu siapa pun yang pernah berurusan dengan Ibu Sariasih, ke depannya tidak akan bisa hidup tenang. Akan ada saja masalah yang datang menghampiri mereka. Apalagi kalau bukan masalah tentang uang.
“Tenang saja, Cah Bagus, aku ke mari hanya ingin menanyakan berapa utang ibumu kepada suamiku. Tidak ada maksud lain, tanya saja sendiri sam ibumu,” lanjut Ibu Sariasih sambil berjalan menghampiri sepasang ibu dan anak tersebut.
“Iya, Wiryo, apa yang dibilang Bu Kadus benar,” sahut Padmini cepat.
“Kalau begitu saya mohon maaf sudah berteriak-teriak Bu Kadus,” ucap Wiryo.
“Nggak masalah itu. Saya hanya ingin mengingatkan kepada ibu kamu juga, bahwa bunga yang harus dibayarkan sebesar tiga puluh persen, ya. Jadi kalian hitung sendiri berapa bunganya. Dan kamu, Padmini, lain kali kalau mau pinjam uang itu langsung sama saya. Jangan main lewat pintu belakang, nggak malu apa kamu? Tanah kuburan suamimu saja masih basah, tapi kamu sembarangan masuk ke dapur tetangga,” kata Bu Sariasih sambil kembali tersenyum miring dengan tatapan mengejek pun merendahkan.
“Bu-bukan begitu adanya, Bu Kadus, kebetulan kemarin Ibu nggak ada di rumah, dan hanya Pak Kadus yang ada di tempat,” jelas Padmini berusaha membela diri.
Padmini bagai lupa dirinya sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Meskipun kemarin dia sudah berusaha menghindari orang-orang, tetapi tetap saja ada yang tahu Padmini datang menemui Pak Kadus Sarjono secara diam-diam. Entah memang sudah nasib apesnya, atau bagaimana, wanita yang baru saja menjanda itu harus menanggung malu karena keteledorannya.
“Padmini-Padmini, kamu memang wanita kampung yang nggak pernah makan bangku sekolah. Makanya kamu bahkan nggak tahu istilah, dinding pun berbisik. Kamu nggak tahu saja bagaimana kekuatan uang mengalahkan segalanya,” sambung Bu Sariasih santai.
Dia menatap lekat ke arah Padmini yang kini berdiri di belakang tubuh gagah Wiryo. Hal tersebut tentu saja justru membuat Bu Sariasih merasa senang, dia jadi punya banyak kesempatan untuk menikmati pemandangan indah tersebut. Wajah tampan dan tubuh kekar Wiryo, sanggup membuat Bu Sariasih melambungkan khayal yang tinggi.
“Saya akan bayar utang Ibu beserta bunganya. Bu Kadus tak perlu khawatir dan tak perlu repot-repot datang ke mari lagi. Tak layak rasanya gubuk reyot kami kedatangan orang besar dan terhormat seperti Ibu,” ucap Wiryo tegas sambil berdiri tegak melindungi sang Ibu.
“Mau bayar pakai apa kamu, Cah Bagus?” tanya Padmini sambil tersenyum miring.