loader image

Novel kita

Menaklukkan Menantu Cindoku dan Temannya – Chapter 3

Menaklukkan Menantu Cindoku dan Temannya – Chapter 3

Chapter 3
305 User Views

CHAPTER 3

 

Selamat Datang Di Kota Surabaya…

Yah, seperti itulah tulisan yang baru saja ku baca di salah satu billboard yang terpajang di Bandara ini. Beberapa waktu yang lalu, aku akhirnya bisa mendarat di sini, kota Surabaya. Kota yang dulu, pernah menyimpan kenangan dua tahun lamanya bersama istri pertamaku. Ibu dari kedua anak-anakku. Tentu saja, ketika aku masih aktif di kesatuan dan di tugaskan di sini.

Rupanya putraku beneran membelikan ku tiket dua hari setelah kami mengobrol di pagi hari via phone. Yang menawarkanku untuk jalan-jalan ke sini sekalian berkunjung ke rumah barunya yang baru saja ia beli.

Aku berangkat meninggalkan ibu Kota jam 10 pagi, dan akhirnya aku tiba di sini sekitaran jam 11 san lewat tadi. Dan karena aku tak membawa banyak barang, hanya tas punggung yang menampung beberapa lembar pakaian serta perlengkapan lainnya, jadi aku tak perlu mengantri bareng beberapa penumpang di tempat pengambilan bagasi buat mengambil bagasi yang tak di bawa serta ke atas kabin pesawat.

Oh iya, pada tahu kan, antara Jakarta dan Surabaya tak ada perbedaan waktu? Sama-sama WIB? Ah, aku pikir kalian semua yang membaca tulisanku ini memahami hal tersebut.

Sambil berjalan, dengan tubuh tegakku ini, tanpa menundukkan kepala, karena telah terlatih dalam kesatuan, jika seorang prajurit apalagi seorang perwira harus mampu menegakkan bahu, menyejajarkan kepala dengan pandangan ke depan, aku pun berjalan keluar sambil meraih ponselku yang ada di tas kecil yang biasa menemaniku selama ini.

Tak perlu mencari nomor telfon Rizal, karena begitu membuka histori telfon, aku langsung bisa melihat di urutan kedua dari atas, masih ada nomornya.

Aku pun langsung menelfonnya.

“Halo Rizal, papa sudah sampai nak” ujarku saat Rizal menjawab panggilan telfonku ini.

“Oh iya pah. Welcome to Surabaya…. hehehe”

“Mana kamu? Papa sudah di pintu kedatangan nih” balasku tanpa basa-basi.

“Oh iya pa. Kebetulan Rizal masih di kantor nih… nah, Rizal udah minta tolong ke Novi tuh, dan katanya sih dia udah sampai 20 menitan yang lalu. Coba deh papa telfon atau nanti Rizal coba telfon dia juga”

“Loh… kenapa bukan kamu yang jemput?”

“Kan Rizal masih kerja pah.”

“Ohh. Ya sudah. Biar papa saja yang menelfon Novi”

“Sip deh pa… sampai ketemu di rumah nanti ya. Malamnya kita makan bareng di luar aja. Hehehe”

“Ya ya ya… nanti di lihat” balasku. Tanpa menunggu responnya, ku tutup telfon, dan mulai mencari nomor telfon Novi. Karena memang aku tak pernah berkomunikasi langsung dengannya melalui telfon, karena biasanya, jika kami mengobrol, memakai nomor ponsel Rizal. Nah, biasanya di situ, si Novi akan nimbrung juga dan memang, aku paling malas untuk bervideo call, hanya telfonan saja. Jadilah aku sudah cukup lama tak melihat bagaimana Novi sekarang ini.

Begitu mendapatkan nomor ponsel Novi di kontak ponselku, bersamaan kaki ini melewati pembatas antara dalam dan luar pintu kedatangan, begitu aku ingin mengklik nomor Novi buat menelfon, secara tak sengaja sepasang mata tuaku ini menatap ke arah sesosok wanita berkaca mata hitam sedang menatap ke arahku juga.

“Haiii… paaa…. disini paaaaa!” wanita itu, mengangkat tangannya ke arahku. Dan aku langsung mengenalnya meski ia berkaca mata hitam.

Dialah Novi…

Hmm… makin cantik saja menantuku ini.

Dengan blazer putih, serta rok hitam. Seakan menyempurnakan penampilan Novi siang ini, yang juga paling mencolok di antara para wanita yang berderet di depan sana, yang sama-sama menunggu penumpang keluar dari pintu kedatangan.

Memang tak banyak berubah dari terakhir aku bertemu dengannya. Tapi, meski begitu aku rasa ukuran dadanya agak lebih besar dari sebelumnya. Atau aku yang selama ini tidak begitu memperhatikannya?

Novi membuka kaca matanya begitu aku telah berada di dekatnya.

“Novi… apa kabar nak?” ku ulurkan tanganku. Wanita cantik dan … hmm, maaf, aku harus gentle mengatakan selain dia cantik, tentu saja semua sepakat jika Novi ini makin seksi saja. Belum lagi betis dan setengah pahanya yang terekspose karena hanya mengenakan rok span hitam yang pendek, semakin menyempurnakan keseksiaannya di hadapanku.

Novi akhirnya menyambut tanganku. Dia menarik tanganku sekalian sedikit merendahkan tubuhnya, untuk menggapai punggung tanganku, dan di tempelkan di keningnya. Wahhh. Bahkan telapak tangannya saja masih lembut seperti dulu. Halus… wanginya bener-bener semerbak. Wangi yang berasal dari parfum mahal tentunya.

“Puji tuhan pa… Novi sehat. Mas Rizal juga sehat. Papa gimana kabarnya?” Novi pun melepaskan tanganku setelah ia menyalimnya, kemudian membalas pertanyaanku tadi, serta mengakhirinya dengan pertanyaan juga.

“Yah… Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat sekarang Nov. Papa masih sehat. Meski kalian sudah meninggalkan papa” Novi tentu saja memahami jika kami sudah berbeda keyakinan. Makanya aku membalas dengan pujian memakai bahasa dalam keyakinan yang ku anut saat ini.

“Hehehe, ahh papa… Ini kan maunya mas Rizal.” balas Novi. Ketika dia membalas, dia sambil mengenakan kaca matanya kembali. Senyum di wajahnya itu, bener-bener semakin membuatnya terlihat cantik, anggun dan mempesona. Serta sangat sensual.

Ah hentikan Johan…

Sepicik itukah pikiranmu? Kenapa kamu mesti menghadirkan pemikiran seksi nan sensual terhadap wanita ini yang secara tidak langsung, dia juga telah menjadi anakmu.

Ya sudahlah…

Memang bener apa yang ku pikirkan barusan. Jika tak sepantasnya aku melihat Novi sebagai seorang wanita. Seharusnya aku melihatnya sebagai seorang anak. Paham ya yang ku maksudkan ini.

“Yuk pah. Papa gak ada barang selain tas itu kan?” tanya Novi.

“Ya. Papa hanya bawa satu tas saja”

“Papa masih kuat jalan gak? Hehe… kebetulan Novi markir mobilnya agak jauhan sih”

“Ayo… papa masih kuat untuk berjalan sejauh puluhan kilometer.”

“Hehehe emang papa Johan terbaik deh.” balas Novi sambil tersenyum. Manis dan cantik. Ohh stop Johan. Jangan lagi engkau memuja anak mantumu itu, meski itu hanya terucap dari dalam hatimu saja.

Tanpa menunggu lama, aku lebih dulu mengajak Novi buat berjalan saja. Kami berdua pun beralan bersisian tanpa mengobrol lagi seperti tadi, menuju ke parkiran mobil.

 

“Papa atau Novi yang menyetir?” tanya Novi ketika kami telah tiba di parkiran, berdiri di depan sebuah mobil HRV putih keluaran terbaru. Sepertinya mereka baru membelinya.

“Mobil kamu?”

“Hehe iya pah. Hadian pernikahan ke 3 kami dari papa di Kalimantan”

“Ohh… koh Wijaya terlalu memanjakanmu.”

“Ihhh gak ih pah. Papa kan sayang Novi” balas Novi.

“Iya. Karena kamu putri bungsunya”

“Kalo papa Johan, sayang juga gak ke Novi?”

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengarnya, kemudian ku balas, “Saya sayang ke Rizal, Jadi… saya juga wajib menyayangi kamu, Nov”

“Ah papa Johan…. terima kasih, karena masih menyayangi kami”

“Oh of course… itu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk mencintai dan menyayangi kalian semua”

“Ihh kok malah ngobrol sih” sambil tersipu, karena mendengar penuturanku barusan, ia pun mengingatkan padaku, “Papa atau Novi yang nyetir nih?”

“Kamu saja lah. Papa masih jetlag” ku balas ia, dan segera berjalan ke arah pintu samping kiri mobil.

“Ya udah.” Novi pun segera masuk ke mobil.

 

Aku lebih dulu duduk di jok samping kemudi, sembari menaruh tas ke belakang. Begitu Novi ikutan masuk, kaki kirinya yang lebih dulu tiba di dalam, ketika itu pula, tanpa sengaja – di saat aku ingin mengembalikan posisi tubuhku ke posisi semula, setelah sehabis menaruh tas begitu saja di jok tengah – tanpa sengaja, perhatianku tertuju ke paha Novi yang dimana posisi roknya terisingkap dan tertarik ke atas akibat empunya baru saja masuk ke dalam.

Oh shit….

Putih sangat paha anak menantuku ini.

Belum lagi, aku tak memalingkan wajah ini beberapa detik saja, hanya untuk melihat bagaimana bentuk pahanya itu yang nyaris sampai ke bagian pangkal. Nyaris bukan sudah…. kalo sudah, itu artinya aku pasti akan melihat dalaman yang Novi kenakan. Untungnya masih nyaris. Dan itupun, sudah cukup bagiku untuk melihat guratan urat-urat hijau yang menghias paha putihnya.

Begitu Novi sudah duduk dengan baik di belakang kemudi, ia pun yang tak menyadari jika baru saja, papa  mertuanya ini melecehkannya dengan mata tuanya, akhirnya aku pun berhasil mengalihkan pandanganku, dan berhasil duduk dengan baik di jok samping, ia pun segera membenahi duduknya, yang pada akhirnya rok hitamnya itu ia tarik ke bawah. Meski dari ekor mata ini, hal itu sia-sia saja. Karena nyatanya, aku masih bisa menikmati pemandangan paha putih mulus bergurat urat-urat hijau yang semakin menyempurnakan keseksian dan kesensualannya, meski hanya dengan melihatnya memakai ekor mata saja.

“Oh iya pah… mau ke rumah langsung, atau mau nyari makan dulu?”

Aku menoleh, “Terserah kamu. Papa ikut saja”

“Oh ya udah, kalo gitu kita makan dulu aja. Papa mau makan apa?”

“Terserah kamu Novi.”

“Hehe papa mah terserah melulu.”

“Ya. Karena papa di sini kan, tamu”

“Eh iya. Hehe, ya udah, kita cari makan sekarang” aku hanya membalas dengan anggukan kepala saja, dan masih berusaha untuk tidak melihat ke arah bagian roknya itu, yang menunjukkan betapa putih dan halusnya paha wanita ini. Lalu, jenak berikutnya, mobil pun mulai Novi jalankan keluar dari parkiran bandara menuju ke tempat makan yang ia pilih.

Karena aku akan tinggal di rumah mereka selama di sini, jadi, sepantasnya tak kuhadirkan pikiran kotor dalam otakku ini tentangnya. Aku tak mau, justru akulah yang tersiksa nantinya. Karena biar bagaimana pun, Novi ini hanyalah anak menantu, bukan darah dagingku. Jadi, apapun itu, aku tetap akan birahi juga jikalau aku masih tetap menghadirkan pikiran kotor dalam sana.

 

BERSAMBUNG CHAPTER 4

Menaklukkan Menantu Cindoku dan Temannya

Menaklukkan Menantu Cindoku dan Temannya

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Artist: Released: 2024
Kenapa di umurku yang tak mudah lagi, di saat aku berkunjung ke rumah putraku yang sudah menikah dengan wanita cantik keturunan Cindo itu, hidupku mulai berubah. Awalnya semua biasa-biasa saja, aku bahkan sampai menginap selama beberapa bulan disana. Tapi rupanya keadaan tak sejalan. Aku yang notabenenya telah di tinggal pergi istriku beberapa tahun lamanya, akhirnya mulai terpancing oleh Sy4hw*t yang selalu di tampakkan oleh menantu cantikku itu meski aku yakin, emang sudah kebiasaan dia saat berada di rumah mengenakan pakaian seperti 'itu'. Semua telah terjadi.... Mustahil untuk ku urungkan niatku buat menciptakan sebuah hubungan terlarang dengan menantuku itu.

Comment

  1. Duuhh, ga di ospek waktu dulu matanya.. wkkw

    Semangat suhu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset