Mungkin perasaan cinta itu sudah berubah menjadi perasaan kecewa dan benci. Tidak ada yang bisa Jasmin harapkan dari Amsal lagi karena pria itu benar-benar berubah. Amsal yang dulu lembut, penuh cinta dan hangat sudah mati. Amsal yang ada di hadapannya saat ini persis seperti iblis.
Tubuh Jasmin sudah lemah dan tidak berdaya lagi. Ia meringkuk di balik selimut, air matanya juga sudah mengering sampai rasanya tidak bisa menangis lagi.
“Itu adalah hukuman untukmu. Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksa kesehatan bayimu, walaupun aku menghukumu, kamu tetap tidak boleh sakit!” Setelah mengancingkan seluruh kacing kemejanya, Amsal segera beranjak dari atas ranjang. Ia menatap Jasmin sekali lagi sebelum benar-benar keluar dari kamar ini.
“Kamu juga pasti menginginkan hal itu, kan? Sekarang lebih baik kamu terbaring lemah di sini, aku akan pergi dan ada urusan. Jadi jangan meninggalkan kamar hotel ini atau mencariku! Dokter akan segera datang. Percuma saja kamu mau pergi ke mana, ponselmu dan semua ATM serta uang cashmu aku sita. Dan kamu juga masih lemah, dengan permainan aku saja kamu tidak bisa mengimbangi bagaimana aku bisa tahan sama kamu? Kamu kalah dengan Melani Jasmin, itu sebabnya aku lebih menyukai Melani saat ini.”
“Kamu benar-benar kejam, Mas! Brengsek sekali kamu, Mas! Kamu kasar dan membuatku luar dalam, bagaimana aku tidak lemah kalau kamu melakukannya dengan kasar. Kalau terjadi sesuatu dengan anakku, aku akan melaporkannya pada Ayah Lukman. Aku tidak takut dengan pria brengsek sepertimu!”
“Terserah kamu, bangsat!”
‘Bruak!’
Pintu terbanting dengan sangat kuat, Jasmin sampai gemetar saking takutnya. Ia benar-benar takut dan terluka. Semalam setelah berdebat di dalam lift, Amsal menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar ini dengan sangat kasar. Lalu membantingnya ke atas ranjang, bahkan ia sampai merobek baju serta dalaman Jasmin. Ia tidak melakukan pemanasan atau mencium bibirnya untuk membuatnya lebih tenang. Tanpa ada rasa kasihan dan rasa cinta, Amsal menyiksa miliknya dengan kasar dan hentakan yang sangat kuat. Ia bahkan sampai menjerit, menangis, memohon kepada Amsal agar berhenti. Tapi pria itu hanya mencabut dan menghentikannya ketika ia hampir keluar. Lali terus melakukan penyiksaan sampai pagi tiba. Awalnya Jasmin sempat pingsan, Amsal menyiram wajahnya dengan air dari dalam kamar mandi hingga membuatnya terbatuk. Lalu melakukan lagi penyiksaan itu hingga rasanya Jasmin tidak bisa berdiri. Ia benar-benar lemah.
Sekarang pria itu pergi dan berkata akan memanggil dokter di saat posisinya tidak mengenakan apa pun? Sialan sekali dia. Jasmin takut jika dokter yang datang bukan dokter wanita. Bagaimana dokter itu memeriksanya? Jasmin benar-benar malu. Tapi Jasmin tidak punya tenaga untuk duduk, berdiri, apalagi berjalan menuju ke lemari untuk mengambil pakaiannya.
“Selamat pagi, Ibu. Maaf saya masuk karena semuanya tidak dikunci dan saya juga sudah mendapatkan izin masuk dari Pak Amsal.”
Jasmin menatap ke arah pintu masuk di mana dokter itu langsung berjalan ke arahnya. Rasanya Jasmin bernapas lega karena ternyata yang datang adalah dokter perempuan.
“Dokter, sebelum anda memeriksa saya, bolehkah saya meminta bantuan anda?” cicit Jasmin kepada dokter wanita tersebut.
“Tentu saja boleh, Ibu. Apa yang bisa saya bantu?” Dokter itu pun bertanya balik dengan sangat ramah.
Jasmin malu untuk mengatakannya, tapi ia juga tidak tahu harus bagaimana. “Saya minta tolong ambilkan pakaian santai saya dengan pakaian dalam saya di lemari itu. Lalu setelah itu Dokter taruh di samping saya ini, baru Dokter bisa memberikan saya waktu sebentar saja dengan menunggu di luar kamar karena saya akan mengganti pakaian saya.”
Dokter itu mengerti maksudnya dan sepertinya situasi ini pasti ada hubungannya dengan suaminya yang tiba-tiba pergi begitu saja.
“Baik, Bu.” Dokter itu menjawab dengan senyum ramahnya.
Setelah dokternya menyerahkan pakaian serta dalaman, beliau keluar dari kamar sejenak dan menutup pintunya. Kemudian Jasmin segera mengenakan pakaiannya, ia berusaha sekuat tenaga untuk melawan rasa sakit itu sebelum kembali rebahan lagi dan berteriak kepada dokter tadi untuk kembali masuk ke dalam.
“Sudah bisa saya periksa ya, Ibu.” Dokter itu mulai menjalankan tugasnya, ia memeriksa kondisi Jasmin.
“Apakah bayi saya baik-baik saja, Dok?” tanya Jasmin setelah cukup lama Jasmin terdiam karena tidak ingin mengganggu fokus pemeriksaan dokternya.
“Bayi Ibu kondisinya lemah, ini efek dari Ibu juga karena Ibu juga sedang lemah. Aku akan memberi Ibu vitamin nafsu makan, vitamin untuk kesehatan tubuh Ibu juga. Bahkan vitamin untuk membuat imun Ibu kembali lagi karena jika Ibu sehat, bayinya akan ikut sehat.”
Jasmin mengangguk lemah, ia tidak tahu harus melakukan apa lagi.
“Sebentar lagi makanan untuk Ibu datang. Lebih baik Ibu makan dulu saja sebelum meminum obat dan vitamin dari saya. Apakah ada sesuatu yang sakit lagi Bu?”
Jasmin ingin mengatakan sesuatu, namun ia takut.
“Ada apa Bu? Katakan saja jika memang ada yang ingin disampaikan,” ucap sang dokter yang membuat Jasmin menghela napas panjang sebelum ia mengatakan bahwa ia membutuhkan obat nyeri untuk menghilangkan rasa sakit yang ada di bawah sana.
“Ini semua obatnya ya, Bu. Di minum setelah makan, semoga kondisi Ibu lekas membaik,” tutur dokter tersebut sambil tersenyum lebar.
“Terima kasih banyak, Dok.*
Ketika Jasmin sedang berusaha memejamkan mata karena ia sangat lelah dan mengantuk, tiba-tiba dokter yang masih stay itu membangunkannya. “Makan dulu, Bu. Makanan Ibu sudah datang,” ucap dokter tersebut sambil membantu Jasmin duduk dan makan dengan bantuan meja kecil yang bisa di angkat dan diletakkan di depan Jasmin.
Seharusnya di saat seperti ini Mas Amsal yang harus merawatnya. Mas Amsal yang harus menyuapinya, tetapi dokter ini melakukan hal yang bukan tugasnya kepada Jasmin. Rasanya benar-benar sangat terharu. Saat ditanya apa motifnya? Beliau mengatakan bahwa ini sudah kewajibannya untuk membuat pasiennya sembuh. Dan memastikan bahwa pasiennya benar-benar makan serta minum obat yang ia berikan.
Amsal sudah membayar lebih dokter itu untuk merawat Jasmin dengan baik. Saat ini ia harus menghampiri kekasihnya Melani. Ia takut terjadi sesuatu dengan Melani karena sejak tadi belum juga di balas pesannya, bahkan panggilannya saja tidak diangkat.
“Kamu juga ke mana sayang?” gumam Amsal seraya mempercepat laju mobilnya sampai tiba di hotel tempat Melani menginap.
“Maaf Mas, aku pulang.”
Suara voice note dari Melani membuat Amsal bernapas syok. Pria itu langsung menelepon Melani lagi.
“Halo Melani, di mana kamu saat ini?”
“Di Bandara Mas, aku terpaksa harus pulang dan maaf baru memberitahumu saat ini.”
“Kenapa tiba-tiba seperti itu? Ada yang terjadi? Kamu bisa ceritakan padaku, Melani.”
“Ini berhubungan dengan karir aku di perusahaan kamu, Mas. Kalau aku tidak pulang, Pak Lukman akan memecatku. Ini pasti ada hubungannya dengan Jasmin. Karena Pak Lukman tahu saya juga berada di Bali. Udah dulu ya Mas, aku harus naik pesawat.”
Panggilan pun di akhiri secara sepihak oleh Melani. “Sialan, Argg!” Amsal hanya bisa memaki sambil memukul-mukul stir mobilnya untuk melampiaskan rasa kesalnya.