“Itulah sebabnya aku ingin kamu agar membantu menghamili Dania”
…
…
…
Setelah reaksi terkejut awal dan pertukaran percakapan seperti yang diceritakan sebelumnya, Icha berbalik untuk menatap Dania dan berkata sengit, “Biar kuperjelas, kamu ingin aku menyetujui Bara agar menidurimu, mengisi tubuhmu dengan spermanya, dan dengan begitu kamu akan hamil. Benar begitu?”
Dania masih belum mengangkat matanya. Aku bisa melihat tubuhnya sedikit gemetar, seolah-olah dia berada di ambang tangis. Dan Dania menjawab tanpa melihat Icha. “M-maafkan aku, Mbak. Tidak seharusnya aku melakukan ini. Aku tau ini tidak benar dan bisa menghancurkan persahabatan kita, tapi ”
Ageng memotong. “Tidak, memang itu yang aku minta. Kalian berdua adalah teman terbaikku dan percayalah, pemikiran Dania akan tidur dengan laki-laki lain membuatku merasa terpuruk. Tapi kami sangat perlu untuk melakukannya, kami tidak tau harus berbuat apa lagi”
Ada keheningan setelah itu.
Aku tidak tau harus berkata apa, bahkan aku juga bingung bagaimana menangani situasi yang serba canggung ini.
Semua terasa tidak nyaman. Aku menatap Icha, perempuan cantik berusia 32 tahun, ibu dari tiga anak-anakku. Ada ekspresi bingung di wajahnya yang jelita. Ia yang biasanya tenang kini nampak sedikit gusar.
Payudaranya yang cukup besar bergerak turun-naik saat ia bernapas pendek-pendek di sebalik jilbab yang dikenakannya. Aku kemudian melihat Dania. Meskipun mereka sedekat saudara, dua perempuan itu sangat berbeda secara fisik.
Kalau Icha sedikit pendek dan agak gemuk, Dania tinggi langsing dengan payudara kecil padat dan pinggul bulat yang terlihat sangat nakal.
Rambutnya aku belum pernah melihatnya selama beberapa tahun ini, karena Dania kini mengenakan hijab, Ya, berjilbab.
Namun setauku, –sebelum Dania mengenakan jilbab..– saat itu rambutnya hitam sebahu, matanya cokelat eksotis.
Beda dengan Icha yang bermata hitam jernih.
Namun mereka sama-sama cantik, meski payudara dan tubuh Icha telah menjadi sedikit berisi akibat dari melahirkan tiga orang anak.
Dania melirik ke arahku dan menemukanku sedang menatapnya. Wajahnya langsung memerah karena malu, dan ia pun cepat-cepat menunduk lagi. Sebuah gambar tiba-tiba melintas dalam pikiranku, tanpa diminta, tubuh telanjang Dania sedang kutindih, dan dia mengerang sambil menggeliat saat penisku terus meluncur masuk ke dalam dirinya.
Ia memohon padaku agar mengosongkan spermaku ke dalam liang vaginanya. Kalau saja Icha tidak berdehem, aku pasti akan terus membayangkannya, bahkan bisa-bisa muncrat dibuatnya. Namun Icha yang tiba-tiba berdiri, menyela lamunan erotis itu. “Kupikirkan dulu, beri kami waktu” katanya kepada Ageng.
“Ayo, Sayang, kita pulang” Dia menarik tanganku dan tanpa membantah aku segera mengikutinya.
…
…
…
Icha terlihat tenang, seperti benar-benar merenungkan percakapan itu ketika kami berjalan kembali ke rumah kami, yang hanya berkelang 2 rumah di deretan depan rumah kami.
Ketika dia sedang seperti ini, hal yang paling aman adalah tidak mengganggunya. Jadi aku pun tidak mengatakan apa-apa dan kami berjalan dalam diam.
Ketika sampai di rumah, aku segera masuk ke tempat tidur setelah sejenak menengok kamar anak-anak.
Keanu dan Khahlil tampak sudah tertidur pulas. Icha mengikutiku masuk ke kamar.
Setelah meletakkan Khailillah di box bayi, ia akhirnya berpaling kepadaku dan mulai berbicara.
“Kalau kamu sendiri gimana?” Tanyanya dengan meringis sedikit ironis, yang langsung melegakanku karena ternyata ia tidak meledak marah.
“Tidak, itu usulan gila..!” Jawabku penuh kebohongan. Kuputuskan untuk berhati-hati dalam hal ini, biar Icha saja yang mengambil kesimpulan.
“Benar” Icha mengangguk mengiyakan.
“Coba bayangkan, kamu tidur dengan Dania dan membuatnya hamil. Mikir apa tuh si Ageng?” Dia tampak bingung.
Aku mengambil napas dalam-dalam, tapi tidak menjawab.
Pelan aku berbaring di sisinya, dan mulai mempermainkan bulatan payudaranya yang sangat indah, hal yang sudah jadi kebiasaanku sebelum tidur sejak kami kali pertama menikah.
“Tapi kasihan juga mereka” tambahnya.
“Tanpa anak setelah lima tahun menikah, pasti sedih sekali. Aku bisa merasakannya”
Aku tetap diam, sama sekali tidak menanggapi. Dan sepertinya pilihanku ini sangat benar karena selanjutnya Icha melanjutkan.
“Dia meminta bantuanku, sebagai sahabatnya yang paling akrab dan juga satu-satunya orang yang sanggup menolongnya, tapi apa yang kulakukan? Aku malah bereaksi buruk” pandangan Icha menerawang menatap langit-langit kamar.
“Apalagi yang bisa kamu lakukan? Memang kamu mau merelakanku tidur dengan Dania?” Aku menjawab.
“Permintaan mereka memang sangat keterlaluan” Satu kebohongan lagi dariku.
Dia kemudian berbalik miring, memberiku tatapan tajam yang sangat menusuk.
“Bagaimana Dania menurutmu, dia sangat menarik kan?” Tanyanya menuduh.
“Ah, dia bukan tipeku” aku langsung menjawab sambil mempertahankan kontak mata, mengetahui bahwa jawaban lain akan menjadi bencana.
“Maksudku, dia selalu kuanggap seperti saudara” Jawaban itu terdengar sangat meyakinkan, bahkan bagiku.
Ya, dania memang tidak pernah masuk ke dalam pikiranku, sampai sekitar satu jam yang lalu.
Bersambung Chapter 3