‘Jadi dia mendekatiku karena taruhan, aku sudah menduganya. Enggak mungkin laki-laki seperti Satya tertarik padaku. Banyak sekali wanita cantik yang mengejarnya, lalu untuk apa dia bersusah payah mendekatiku. Bodohnya! aku pikir dia benar-benar ingin berteman denganku, ternyata itu adalah taruhan. Sama seperti beberapa laki-laki yang mendekatiku,’ batin Jingga. Jingga keluar dari balik pohon, dengan santai melewati Satya dan Doni menuju kantin untuk membeli roti. Mata Satya terbelalak melihat Jingga lewat.
“Aduh apa dia dengar ucapanku tadi ya?” Doni menatap Satya, merasa bersalah. Satya juga tampak panik.
“Kira-kira dia dari tadi nggak di dekat kita? apa dia dengar ucapanmu tadi?” tanya Satya meyakinkan dirinya sendiri. Doni menggeleeng pelan.
“Kamu sih! kalau ngomong sembarangan,” hardik Satya kesal. Doni menatap Satya dengan perasaan bersalah.
“Wah, bisa gagal rencanamu kalau dia dengar dia pasti nggak akan mau didekati kamu lagi,” ujar Doni merasa bersalah, Satya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Tapi aku tetap penasaran dan akan mendekatinya!” ujar Satya penuh keyakinan, Doni mengernyitkan keningnya.
“Jadi intinya, karena taruhan atau karena penasaran?” tanya Doni, sambil melihat ke kanan dan ke kiri khawatir ada yang mendengar.
“Karena penasaran lah! memangnya aku kekurangan duit, kalau cuma taruhan uang segitu nggak ada apa-apanya buatku. Aku beneran penasaran dengan semua yang disembunyikannya,” sahut Satya berbisik mencondongkan tubuhnya mendekat ke tempat Doni duduk.
“Memangnya apa yang sudah kamu tahu?” Doni penasaran menatap Satya berharap Satya mau memberitahu semuanya.
“Itu rahasia, aku nggak mau bilang sama kamu. Nanti kamu comel!” ujar Satya sambil menyeruput minumannya.
“Ya ampun Satya, bikin penasaran aja. Ya udah, aku dukung. Nanti, kalau kamu sudah tahu kenapa cewek itu nggak mau berteman dengan orang lain kasih tahu aku ya. Ini berita yang sangat bagus, teman-teman juga pasti menantikannya!” timpal Doni dengan senyuman di bibirnya. Satya mengernyitkan keningnya.
“Maksudmu? kamu mau menyebarkan berita itu?” Satya geram.
“Iyalah, semua orang ingin tahu tentang Jingga. Tapi mereka juga enggan untuk mendekatinya. Jadi kalau aku kasih tahu alasan Jingga tidak mau berteman pasti aku jadi terkenal,” ucap Doni cengengesan, Satya geram mengepalkan tangannya. Tidak tahu kenapa, Satya merasa tidak suka dengan ucapan Doni. Tidak seperti biasanya Satya yang cuek tidak peduli temannya melakukan apa kini merasa gusar jika ada yang mengusik Jingga.
“Cukup Doni, aku nggak mau kamu mencari tahu soal Jingga dan jangan menyebarkan sesuatu kepada teman-teman di kampus, kalau kamu melanggarnya aku tidak mau lagi berteman denganmu, kamu mengerti?” Mata Satya membesar, dadanya bergemuruh dengan napas tak beraturan. Tampak keseriusan di wajah Satya, membuat Doni terkejut dan tidak bisa membantah keinginan sahabatnya.
“Oke-oke, tapi ngomong-ngomong kenapa kamu sangat membelanya. Apa kamu mulai menyukainya?” tanya Doni dengan ekspresi wajah penasarannya.
“Sudahlah, jangan lanjutkan. Aku tidak suka membicarakan hal ini!” ujar Satya sambil menyeruput minumannya.
‘Tuh! dia ke arah sini, kamu tidak usah bicara apa-apa!” Doni mengangguk, Jingga melangkah melewati Satya dan Doni. Tidak ada senyuman ataupun sapaan dari Jingga, dia berlalu meninggalkan Satya dan Doni begitu saja.
“Gila benar-benar tuh cewek! tidak ada sopan santun. Bukankah kamu bilang semalam kamu sudah mengantarnya pulang ke rumahnya? lihatlah menyapa pun tidak, setidaknya melemparkan senyum untukmu,” oceh Doni mengumpat kelakuan Jingga.
“Sudahlah Don, aku memang sudah berkomitmen dengannya. Dia mau menerima aku sebagai teman, tapi di kampus aku harus berpura-pura tidak terlalu mengenalnya dan tidak boleh mendekatinya,” sahut Satya, Doni mengernyitkan keningnya.
“Dia memberikan syarat itu, kenapa? Bukankah semua wanita sangat bangga bisa dekat denganmu? Benar-benar aneh!” Doni menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mungkin dia menghindari masalah,” sahut Satya santai.
“Maksudmu apa?”
“Sudahlah, tidak perlu di bahas. Aku mau ke kelas dulu,” Satya berdiri tanpa menjawab pertanyaan Doni yang masih bingung dengan ucapan sahabatnya.
Jingga memasuki kelas karena sebentar lagi dosen akan datang. Seperti biasa Jingga mencari tempat di pojok dan menyendiri.
“Bolehkah aku melihat tugasmu? aku belum mengerjakan tugas,” ucap salah seorang mahasiswi yang datang menghampirinya. Jingga mendongak menatap tajam mahasiswi tersebut.
“Tidak boleh! aku tidak bisa memberikan tugas kuliahku, kalau kamu mau aku akan mengajarimu tapi bukan dengan mencontek!” sahut Jingga ketus.
“Ya ampun Jingga segitunya, pelit banget!” mahasiswi tersebut meninggalkan Jingga mengumpat kesal. Seperti biasanya, Jingga tidak peduli.
Jam kuliah usai, Jingga bergegas pergi dari kampus untuk menemui ibunya di rumah sakit jiwa. Satya yang saat itu melihatnya, terburu-buru sudah tahu ke mana Jingga akan pergi.
“Pasti dia akan ke rumah sakit jiwa, aku akan kesana karena aku sudah menghubungi salah satu dokter di sana, yang mengatur kalau ada teman yang dirawat di sana. Aku akan mencoba untuk mendekati Jingga, masuk ke dalam dunianya. Satya menyipitkan matanya sambil menatap lurus ke arah Jingga yang sudah menaiki sebuah bus.
“Satya, kita nongkrong di cafe yuk!” ajak Doni. Satya menoleh mencari datangnya suara.
“Aduh, maaf aku ada urusan,”tolak Satya tanpa mengungkap alasannya.
“Widih, punya urusan apa nih. Apa kamu sudah diberi beban sama papamu untuk mengelola perusahaan?” Doni meledek.
“Nggak, bukan itu. Ada yang aku harus cari tahu,” sahut Satya sambil siap-siap meninggalkan Doni.
“Apa soal Jingga?”
“Hushh, jangan berisik! dengar, hanya kamu yang tahu kalau aku sedang mendekati Jingga. Karena di kampus aku tidak boleh mendekatinya, kalau ini bocor aku tidak mau berteman lagi dengan kamu. Mengerti?”ancam Satya dengan ekspresi wajah serius dan tatapan tajam.
“Kenapa kamu jadi sering mengancam?” gerutu Doni kesal.
“Habis kamu suka menyebarkan berita kemana-mana, sebelumnya aku harus warning dulu agar kamu bisa mengerti,”
“Aku lihat kamu semakin penasaran dengan gadis itu, hati-hati nanti malah jatuh cinta!” Doni terkekeh mengingatkan.
“Memangnya kenapa kalau aku jatuh cinta?”
“Bukannya kamu bilang kalau kamu kemungkinan akan dijodohkan, makanya sekarang kamu puas-puasin cari pacar. Begitu kan?” Doni mengingatkan agar Satya tidak kebablasan, Doni khawatir ke depannya akan menjadi masalah untuknya.
“Iya awalnya memang seperti itu, keluargaku sudah menjodohkan aku. Tapi kalau aku mempunyai calon aku akan memperjuangkannya. Sudah ya, aku pergi dulu,” Satya berlalu meninggalkan Doni yang masih tercengan dengan ucapannya.
Satya mengendarai mobilnya menuju Rumah Sakit Jiwa, tempat di mana Jingga biasa kunjungi. Satya memasuki rumah sakit jiwa tersebut menuju ke kantor karena Satya sudah membuat janji dengan salah satu dokter kenalan Dari Om Satya.
“Halo, kamu Satya?” sapa Dokter tersebut mengenali Satya, mungkin Om-nya sudah memberikan fotonya kepada dokter tersebut.
“Iya Om,” sahut Satya.
“Oke di sini ada data untuk teman, yang kamu maksud. Namanya Ayu Jingga Pramudya, ibunya dirawat di sini sudah 5 tahun lamanya.
“I-ibunya?” sontak Satya terkejut mendengar penjelasan dokter.
“Iya, aku akan mengantarkanmu ke tempat yang satu ruangan dengan ibunya. Kebetulan dia memang tidak punya sanak family, tapi ada seseorang yang selalu membayar biaya rumah sakitnya. Entah dia ada hubungan apa, karena dia ingin statusnya dirahasiakan.”
“Oke dok,” ucap Satya singkat.
“Jadi kamu bisa mengatakan kalau ibu yang ingin kamu temui, adalah ibu dari temanmu.”
“Baiklah dok, terima kasih atas bantuannya. Dan saya sudah mentransfer ke rekening dokter.”
“Terima kasih kembali, sekarang biar perawat yang akan menemanimu,” Dokter itu memanggil perawat untuk menemani Satya.
“Baik dok,”
Seorang perawat datang, lalu mengajak Satya untuk menemui seorang ibu yang sakit jiwa yang dirawat satu kamar bersama dengan ibu Jingga. Saatnya melangkah mengikuti perawat tersebut, beberapa orang yang ditemuinya membesarkan matanya melihat Satya melintas bersama salah satu perawat. Mereka seperti ingin menerkam Satya.
‘Wah benar kata perawat yang dulu, kalau masuk sini harus ditemani,’ batin Satya.
“Ceklek,” pintu dibuka.
“Silakan,”
Satya masuk ke kamar dengan ruangan yang cukup besar, ada tiga tempat tidur di dalam ruangan tersebut. Terlihat dua ibu sedang berbaring, sedang yang satu sedang di suapi oleh seorang gadis yang sangat di kenalnya.
“Jingga,” sapa Satya. Jingga yang sedang menyuapi ibunya menoleh ke arah Satya.
“Ka-kamu? sedang apa kamu di sini?” Jingga tampak panik melihat kedatangan Satya.
“Aku sedang menjenguk ibunya temanku,” sahut Satya mencoba menenangkannya, Jingga mengalihkan pandangan ke arah ibu yang sedang duduk sendiri. Biasanya Jingga juga memberikan makanan kepada Ibu tersebut dan menganggapnya sebagai ibu.
“Apa hubungan kamu dengan ibu Mursi?” tanya Jingga heran, karena tidak mungkin keluarga kaya seperti Satya mempunyai keluarga yang sakit jiwa, dan meskipun ada pastilah tidak di rawat di Rumah Sakit Pemerintah seperti ini. Pikir Jingga.
“Dia ibu temanku, aku hanya ingin menyampaikan pesan dari temanku. Lalu sedang apa kamu di sini?” tanya Satya pura-pura tidak tahu. Jingga diam tidak menjawab, wajahnya tampak ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.