“Kamu kenal dengan cewek itu? kenal dimana?” Doni tampak heran karena orang seperti Satya mengenal gadis introvert seperti Jingga.
“Memangnya dia kuliah di sini? aku baru tahu dia kuliah di sini,” ujar Satya mengernyitkan keningnya hingga kedua alisnya bertaut.
“Ya iyalah kamu baru tahu? yang kamu perhatikan pasti hanya wanita cantik yang terkenal di kampus ini. Sedang gadis itu, dia adalah gadis tertutup yang datang ke kampus hanya untuk belajar. Dia mendapat beasiswa penuh, dia itu anak penyendiri yang tidak punya teman,” papar Doni dengan penuh semangat sambil melirik ke kanan dan kekiri. Satya yang melihatnya heran dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Kenapa sih, kamu cari apa? kok matamu seperti mencari sesuatu,” tanya Satya melihat sahabatnya yang kelihatan gelisah.
“Ah, nggak apa-apa. Eh, kamu kenal di mana sama Jingga?” tanya Doni kemudian, Satya diam tidak menjawab. Karena Satya yakin ada sesuatu yang disembunyikan Jingga, dan Satya tidak mau memberitahu siapapun dulu tentang cerita pertemuan dengannya. Satya juga semakin penasaran dengan laki-laki yang katanya mengejarnya, yang membuat gadis lugu itu lari ketakutan hingga nekat menghentikan mobil orang yang tidak dikenalnya. Satya yakin untuk gadis introvert seperti Jingga tidak akan mudah meminta tolong kepada orang lain kalau bukan karena sangat terdesak.
“Hey! malah bengong. Kenal dimana sama Jingga?” Doni mengulangi pertanyaannya.
“Oh, dia menolongku waktu aku mencari buku di Perpustakaan kampus. Jadi aku tanya namanya,” sahut Satya berbohong.
“Hahaha, kalau itu aku percaya. Jingga memang sering ke Perpustakaan. Mainnya memang kesana dia. Tapi ngomong-ngomong ngapain kamu ke Perpustakaan? ada angin apa?” Doni mengernyitkan keningnya, karena setau Doni Satya itu paling anti ke Perpustakaan.
“Aku pengen tahu aja suasana Perpustakaan itu kayak apa? ujar Satya berkelakar. Memang aneh kalau Satya ke perpustakaan, karena Satya adalah mahasiswa yang terkenal malas. Bahkan untuk mengerjakan tugas pun dia membayar orang, jadi mana mungkin dia pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas kuliah ataupun belajar.
“Di Perpustakaan itu jarang cewek cantik, jadi nggak usah main ke sana. Tuh lihat Jingga … cantik sih, tapi susah diajak komunikasi. Cewek kayak gitu, mana ada laki-laki yang mau deketin,” Timpal Doni lagi.
“Apa maksud kamu? jangan ngomong sembarangan deh! kalau jodoh kan nggak tahu. Memangnya Jingga seaneh itu? aku rasa dia biasa saja, hanya pakaiannya saja yang sederhana dan dandanannya juga sederhana apalagi wajahnya yang polos tanpa make up. Aku rasa dia malah cewek yang menarik,” sanggah Satya membela Jingga.
“Eits, tunggu-tunggu! jangan bilang kamu tertarik sama Jingga?” tatapan mata Doni seakan menuduh Satya.
“Maksudmu apa? Satya tidak mau kalah.
“Maksudku kamu suka sama Jingga?” tanya Doni lagi memastikan.
“Nggak usah mengada-ngada deh, aku cuma heran sama kalian kenapa kalian pikir Jingga itu aneh. Padahal menurutku dia biasa saja,” Satya menegaskan.
“Biasa bagaimana Bro? hari gini nggak punya temen itu nggak biasa, berarti dia punya kelainan. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sulit berteman. Nah itu masalahnya, berarti kan dia punya masalah!” ucap Doni tidak menyerah dengan pendapatnya.
“Kamu mau taruhan sama aku? aku pasti bisa deketin dia!” Satya menantang Doni dengan tampang wajah yang serius.
“Hahaha nggak usah mimpi deh, setiap ada laki-laki yang deket sama dia tuh pasti selalu lari,” Doni terkekeh dengan tantangan Satya, karena menurutnya buang waktu mendekati cewek pendiam itu. Satya mengernyitkan keningnya.
“Memangnya banyak yang menyukainya?” tanya Satya merasa aneh, karena di awal Doni bilang Jingga tidak punya teman.
“Menyukai sungguh-sungguh sih enggak, cuman banyak yang ngajak taruhan agar bisa jadi pacarnya,” ujar Doni sambil terkekeh. Wajah Satya seketika berubah kesal mendengarnya.
“Kenapa mereka melakukan itu? bagaimana kalau dia benar-benar menyukai orang yang mendekatinya? Apa kalian tidak kasihan?” dengkus Satya dengan mata mendelik.
“Waduh, kalau itu aku nggak tahu. Tapi ada beberapa temanku yang mengajak taruhan untuk mendekatinya. Cuma ya itu gagal, karena Jingga benar-benar menutup diri dan tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk mendekatinya. Biarpun wanita sekalipun,” papar Doni, sambil sesekali melihat ke sekeliling.
“Kalau begitu, aku akan coba dekati dia,” Satya melangkah meninggalkan Doni yang masih berdiri terpaku.
“Hey! tunggu … kamu yakin mau deketin Jingga? anak aneh begitu?” teriak Doni, mata Satya membesar tidak terima dengan julukan untuk Jingga.
“Aku yakin setidaknya aku bisa jadi temannya,” ujar Satya enteng.
“Lalu bagaimana dengan Melinda?” Doni tidak mau terseret ke dalam masalahnya dengan Melinda, pasalnya Doni sedang mengejar cinta adiknya Melinda.
“Gampang besok aku putusin Melinda!” seru Satya membuat mata Doni terbelalak.
“Astaga Satya, semudah itu kamu melupakan perjuangan Melinda?” Doni mengerutkan keningnya.
“Siapa yang menyuruhnya untuk berjuang?” ujar Satya santai.
“Setidaknya kasih dia waktu dua minggu untuk pacaran denganmu, masa baru satu minggu sudah putus. Kamu kan tau aku sedang mendekati adiknya Melinda,” suara Doni memohon. Tapi tentu saja tak diperdulikan Satya. Dia malah belalu pergi meninggalkan Doni.
Satya masuk ke kelasnya untuk mengikuti mata kuliah, bolak-balik Satya melirik arloji yang melingkar di tangannya. Satya merasa waktu begitu lama jika sedang mengikuti kuliah. Hingga akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba, kuliah berakhir dan Dosen keluar dari ruang kelas. Satya bergegas keluar kelas, Doni yang melihatnya heran melihat Satya yang meninggalkannya tanpa pamit. ‘Mau kemana Satya kok buru-buru,’ batin Doni.
Satya menaiki tangga kampus menuju lantai tiga, Satya bermaksud untuk mencari Jingga di sana. Satya mengedarkan pandangannya hingga tatapannya tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk sendiri membaca buku. Satya melangkah menghampirinya.
“Halo Jingga,” sapa Satya dengan seulas senyum di bibirnya. Jingga menoleh, menatap laki-laki yang berdiri di depannya.
“Mau apa?” tanya Jingga ketus.
“Apa karena semalam kamu butuh pertolongan, jadi sikapmu baik. Lalu kenapa sekarang berubah!” dengkus Satya kesal. Namun Jingga tidak memperdulikan ucapan Satya. Dia membalikkan tubuhnya, lalu meninggalkan Satya begitu saja. Satya berlari mengejarnya Jingga.
“Hey, tunggu! Jingga menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Satya. Jarak mereka tidak terlalu jauh kurang lebih 2 meter.
“Aku kan sudah mengucapkan terima kasih padamu. Apa masih kurang? aku tahu siapa kamu, keluarga Mahendra adalah keluarga kaya dan pengusaha besar. Tidak mungkin kan kamu minta imbalan dariku untuk pertolonganmu. Lalu apalagi yang kamu inginkan dariku?” Jingga menatap mata Satya tajam.
“Pertemanan! Aku ingin kita berteman,” ujar Satya, Jingga mengernyitkan keningnya.
“Maaf aku tidak bisa berteman denganmu, dunia kita berbeda!” Jingga kembali membalikkan tubuhnya tapi dicegah oleh Satya dengan menarik tangannya.
“Tunggu! Apa maksudmu dunia berbeda? kita kan sama-sama tinggal di bumi, kamu dan aku sama-sama manusia. Memangnya kamu alien?” Jingga tidak menjawab, dia hanya menatap manik mata Satya dengan tajam.
“Maaf Satya, aku tidak bisa berteman denganmu ataupun dengan siapa saja!” seru Jingga menegaskan. Mata Satya mendelik mendengarnya.
“Kenapa? Apa kamu dilarang berteman?” dengkus Satya kesal.
“Kamu tidak perlu tahu alasanku. Yang jelas lebih baik kamu tidak berteman denganku. Aku hanya ingin kuliah di sini, mencari ilmu lalu lulus. Setelah itu mencari kerja. Aku tidak mau berteman dengan siapapun.” sorot mata Jingga tajam menatap Satya. Setelah itu Jingga meninggalkan Satya yang masih berdiri terpaku. ‘gila tuh cewek, berani-beraninya nolak aku!’ Satya Mahendra laki-laki yang banyak dikejar wanita, ditolak mentah-mentah walau hanya jadi teman. Sehingga membuat Satya semakin penasaran mendekatinya.
‘Aku akan mengikutinya ke mana dia pergi,’ batin Satya.
Jingga tampak tergesa-gesa keluar dari kelas setengah berlari hingga menuju halte bus. Satya yang melihatnya cepat-cepat mengambil mobilnya untuk mengikuti ke mana Jingga pergi.
Jingga berdiri dengan sabar menunggu bus yang akan di naikinya. Hingga sebuah bus berhenti di depan halte. Jingga menaiki bus tersebut, Satya bersiap-siap untuk mengikutinya. Jalan-jalan Kota Jakarta siang itu dipadati kendaraan bermotor. Tidak aneh, kemacetan Jakarta memang selalu terjadi. Satya memasang pandangan matanya dengan tajam, kalau kalau Jingga tturun dari bis yang dinaikinya. Hingga di depan sebuah rumah sakit jiwa di Jakarta bus tersebut berhenti dan Jingga turun dari bus tersebut. Satya mengernytkan keningnya.
“Mau apa dia ke rumah sakit jiwa?” ucap Satya. Satya yang melihat Jingga memasuki rumah sakit tersebut, dia cepat-cepat memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit, untuk mengikuti Jingga. Tapi ternyata langkah Jingga terlalu cepat hingga Satya kehilangan jejaknya.