loader image

Novel kita

Misteri Kematian Si Gadis Cupu – Bab 3

Misteri Kematian Si Gadis Cupu – Bab 3

Misteri Kematian
95 User Views

“Jangan! Jangan lakukan itu!” Mutia beteriak ketakutan.

“Kamu harus mati sekarang juga!” Seringai buas terpampang jelas dari sosok menakutkan ini. Dia lantas membentak Mutia tanpa mau mendengar permohonan dari gadis culun itu.

Pria paruh baya sebelumnya kini telah berubah wujud menjadi sosok yang sangat menakutkan. Kedua tangannya memegang dua buah senjata tajam yang tampak berlumuran darah. Sesekali dia mengayunkan kedua senjata tajam itu di tangannya dengan sorot mata buas.

Sontak Mutia yang masih trauma oleh insiden sebelumnya, kini berlarian ke sembarang arah. Sampai akhirnya dia tiba pada sebuah rumah di ujung perkampungan itu.

Rumah besar seperti sebuah rumah panggung pada umumnya. Tampak berdiri megah dan kokoh dibandingkan rumah-rumah lain yang dilalui Mutia sebelumnya.

“Tolong! Tolong saya Pak, Bu!” teriak Mutia kepada pemilik dan penghuni kediaman itu.

Beberapa sosok tampak berjalan keluar menuju pintu depan kediaman. Salah satunya lalu berkata, “Ada apa? Kenapa kamu begitu tampak ketakutan sekali?” ucap sosok tua tersebut yang di sampingnya berdiri wanita yang sama tua dengannya.

“Saya … Saya akan dibunuh seseorang, Kek. Dia terus mengejar saya dengan kedua senjata tajam yang dipegangnya itu.” Dengan nafas yang tersengal-sengal, Mutia mencoba menjelaskan situasi sebenarnya yang dialaminya barusan.

“Tenangkan dirimu, Nak. Ayo naik dan masuk kesini! Semoga orang yang kamu maksudkan itu tidak berani datang ke sini untuk mencari mu.” Nenek tua itu, kali ini yang berkata.

Mutia mengikuti saran dan arahan dari kedua sosok yang berkulit keriput tersebut. Dia lantas perlahan naik dan masuk dan duduk bersimpuh bersama belasan orang lainnya.

Panjang lebar dia menceritakan bagaimana awalnya dia bisa sampai kesini. Tentunya saja dia merahasiakan kronologi kejamnya dia ketika menghabisi pasangan dua sejoli itu dibawah sebuah tekanan dan keterpaksaan.

Belasan sosok lainnya tiba-tiba menatap wajah Mutia dengan sorot mata penuh arti yang menyiratkan sesuatu hal yang kuat.

“Bagaimana kalau kamu makan dan minum dulu? Setelah itu beristirahatlah barang sejenak di dalam kamar itu,” ucap wanita tua sambil menunjuk ke arah sebuah kamar yang berada di belakang Mutia duduk.

Entah mengapa Mutia lantas menyahuti dengan anggukkan kepalanya. Mungkin saja efek dari kelelahan yang dialaminya, membuat dia tak kuasa menolak tawaran yang menggiurkan dari sang nenek tua tersebut.

Sambil mengelus perutnya yang kian merasakan lapar dan haus, Mutia berdiri dan berniat untuk membantu sang nenek di dapur. Namun, nenek tersebut menolak Mutia yang berinisiatif ingin membantu dirinya.

Mutia kembali patuh dan bersimpuh lagi di atas sebuah tikar yang terbuat dari sejenis karpet permadani. Sekali-kali dia menoleh secara bergantian ke wajah sosok yang masih duduk dalam satu ruangan besar bersamanya.

Lima belas menit berlangsung, nenek itu datang bersama tiga sosok wanita lainnya. Kemungkinan mereka adalah pelayan disini. Beberapa jenis hidangan, berikut dengan satu buah kendi minuman kini telah tersedia di hadapan para anggota keluarga dan Mutia sendiri.

Ketika Mutia menatap ke arah makanan yang telah tersaji ini, perasan batinnya tidak enak dan dadanya berdegup kencang. Jiwanya menolak untuk mengambil sup dan makanan aneh lainnya.

Sup itu memiliki aroma yang sangat aneh karena sangat amis dan berbau tajam. Seperti kotoran yang dipenuhi dengan begitu banyak serangga menjijikkan.

“Silahkan makan, Nak. Jangan ragu dan sungkan. Anggap saja rumahmu sendiri,” tawar si nenek kembali dengan sebuah senyuman misterius.

Mutia semakin merasa ada keganjilan di dalam kediaman itu. Apalagi dengan aroma-aroma tajam dan menjijikkan itu membuatnya mencari cara agar bisa keluar dan pergi dari sana secepatnya.

“Maaf, Nek. Perut saya tiba-tiba mulas. Saya ingin pergi ke kamar mandi terlebih dahulu tapi dimana kamar mandi letaknya, Nek?” Dengan ide mendadak yang terlintas di benaknya, Mutia berkata demikian sambil mengangkat kembali tubuh letihnya itu.

Ketika dia baru saja berdiri tegak, tiba-tiba suara dengan nada membentak menghentikan niatnya untuk melangkah, “Tidak boleh! Kamu tidak boleh pergi sebelum menyelesaikan makananmu! Kamu harus menyelesaikan makanmu dulu baru setelah itu kamu bisa pergi.” Suara itu terlontar dari mulut seorang pria muda berperawakan besar.

Sorot matanya tampak bengis dan tidak berperasaan. Dia pun berdiri lalu menghampiri tubuh Mutia yang terpaku akibat bentakan keras sebelumnya.

Kesadaran Mutia yang seketika pulih. Dengan reflek dia bergegas berlari menuju pintu utama. Sebelum dia berhasil menuruni anak tangga, sesosok pria paruh baya yang memegang dua buah senjata tajam besar, kini tepat berada pada anak tangga terbawah rumah panggung itu.

Seringai keji terlukis dari wajah pria yang memegang benda tajam itu. Secara perlahan-lahan dia menaiki setiap anak tangga sambil memainkan sekali-kali senjata tajamnya kesana-kemari.

Mutia lantas berbalik arah menuju ke dalam. Namun, dia sungguh terkejut menyaksikan pemandangan aneh yang terpampang jelas dari pandangan kedua bola matanya.

“Kenapa ini? Siapa kalian sebenarnya? Kenapa kalian berusaha ingin menghabisi nyawa saya? Apa salah saya pada kalian?” ucap Mutia dengan keringat dingin yang terus bercucuran.

Bagaimana tidak? Belasan orang tadi saat ini sudah tidak lagi memiliki wajah yang sebelumnya jelas terlihat olehnya. Pupil mata berubah kemerahan dengan sorot yang tajam. Keseluruhan kulit terlihat bersisik seperti seekor ular piton.

Mutia tidak bisa lagi berkata apa-apa saat ini. Kepalanya dipaksa berpacu untuk bisa segera menyelamatkan dirinya dari sekelompok siluman ular yang telah siap memangsa dirinya.

Dalam keadaan serba sulit, sudut matanya menangkap sisi ruangan yang bisa untuk menuju arah belakang rumah. Tanpa pikir panjang lagi Mutia berlari menuju arah tersebut. Namun, kembali Mutia tersentak kaget, ruangan belakang ini memang benar adalah sebuah dapur yang dijadikan tempat mereka membuat makanan.

Akan tetapi di dalam ruangan tersebut tampak belasan sosok yang tubuhnya tergantung dalam posisi terbalik dan telah tewas dalam keadaan yang sangat mengenaskan sekali.

“Astagfirullah, tempat apa ini sebenarnya? Kenapa aku bisa ada di tempat mengerikan seperti ini? Ya Tuhan, tolong kembalikan aku di tempat Ibuku berada! Aku takut sekali ada di sini,” ucap Mutia dengan tubuh gemetar.

Tubuhnya terlihat tidak utuh. Yang terlihat hanyalah tulang-tulang rusuk yang masih mengeluarkan darah segar. Sepertinya sosok-sosok itu baru saja atau tidak lama menjadi korban pembantaian yang kejam dilakukan belasan sosok siluman yang kini berada diluar ruangan sana.

Jasad-jasad yang tergantung itu setiap pasang bola matanya tampak mendelik, seakan-akan ingin melompat keluar dari dalam rongga matanya. Bahkan kulit dan daging terlihat terkelupas di beberapa bagian lainnya. Kemungkinan dari situlah sup yang dihidangkan sang nenek bersama para pelayannya.

Pada sudut ruangan dapur ini tampak sesosok mayat yang tubuhnya mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Sekujur tubuhnya sudah dihinggapi berbagai jenis hewan yang mengerikan.

Tiba-tiba Mutia merasakan bahunya disentuh sesuatu yang terasa dingin dengan aura mencekam yang menekan tubuhnya. Ketika Mutia membalikkan tubuhnya, dia seketika berhenti bernafas karena di hadapannya kini, telah berdiri sesosok makhluk menakutkan dengan keseluruhan kukunya yang terlihat panjang sekali.

“Mau kemana kamu? Ikut denganku sekarang juga!” paksa sosok makhluk menyeramkan itu sambil menarik tangan Mutia.

“Tidak! Jangan paksa aku! Kembalikan aku ke tempat asalku!” Mutia terus saja memohon pada sosok yang terlihat seperti perempuan itu.

Misteri Kematian Si Gadis Cupu

Misteri Kematian Si Gadis Cupu

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Cerita ini mengisahkan seorang gadis yang selama ini terkesan dingin dalam kesehariannya yang suka menyendiri dan banyak diam. Menjelang jam bel berbunyi, pertanda waktu istirahat bagi siswa-siswi. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras yang berasal dari belasan murid. Tepatnya di ruangan sebelah kelas Nara. Ruang kelas tersebut kebetulan berada disamping sebuah ruang yang dijadikan gudang yang selama ini terbengkalai sejak kejadian tiga bulan yang lalu. Nara perlahan-lahan berjalan keluar dari kelasnya dan menghampiri ruang kelas sebelah yang terdapat belasan siswa sedang mengalami kesurupan. Bukannya berhenti, Nara masih melanjutkan langkahnya menuju depan pintu gudang terbengkalai tersebut. "Nara jangan kesana!" teriak salah satu guru yang tiba-tiba merasakan sesuatu hal yang aneh terjadi pada saat ini. Karena kejadian ini selalu berulang-ulang setiap minggu tepatnya pada hari Kamis. Bagaimana kisah selanjutnya? Mari saksikan kelanjutan yang sebagian penulis angkat dari kisah nyata dan dari beberapa narasumber yang terpercaya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset