Sudah menjadi hal yang biasa bagi Marinda untuk berburu. Hutan Kalisanga merupakan sebuah tempat favorit. Tempat yang tak rata menjadi salah satu kegemarannya. Narasima dengan bulu berwarna emas serta mata biru kehijauan tersebut telah bersiap dengan tombak warisan dari sang kakek. Baju hijau membuat penyamaran menjadi sempurna ketika berada di semua semak-semak. Tombak dipersiapkan dengan tangan kanan dan cakar dengan tangan kiri. Kaki diatur agar bisa melakukan sebuah penyerangan secara mendadak. Sebuah sergapan dilakukan. Tombak sebagai perpanjangan tangan langsung menembus tubuh si mangsa. Dia sudah mendapatkan tiga kelinci untuk dimakan sore hingga esok pagi.
Perburuan hari ini dirasakan sudah cukup. Tombak digunakan untuk membawa hewan hasil buruan. Langkah kaki penuh kegembiraan dilakukan, Marinda bergerak menuju ke tempat untuk mengistirahatkan tubuh.
Perjalanan pulang hari itu sedikit berbeda. Terdengar sebuah pertarungan dari jarak cukup jauh. Cakar yang ada di tangan dan kaki dikeluarkan untuk memanjat sebuah pohon. Di ketinggian tertentu dia memandang lebih jauh. Arah dari sumber keramaian diperkirakan. Ternyata sedang terjadi penyerangan di wilayah minagiri.
Di dalam hati Marinda ingin sekali membantu desa tersebut. Namun dia juga ingat pesan para tetua dan guru agar tak mencampuri urusan dengan spesies lain. Selain itu juga dia tak pernah ke wilayah tersebut meski terkadang dilihat dari jarak jauh. Marinda pun turun dari pohon dan melanjutkan perjalanannya kembali. Mangsa yang sudah didapat diambil kembali.
Jalan sulit terganti dengan aliran sebuah sungai berwarna merah darah. Sesosok tubuh berwarna perak agak gelap tergeletak di sungai tersebut. Banyak sisik yang telah terkelupas dari tubuh. Ekor besar hampir saja terlepas. Namun sirip sudah banyak yang patah. Cairan berwarna merah agak keputihan terus saja keluar dari tubuh tersebut. Marinda pun memeriksa untuk memastikan masih bisa ditolong atau tidak. Tubuh tersebut dibalik, napas pun diperiksa. Tiada aliran udara lagi. Bisa dipastikan tubuh tersebut merupakan spesies minagiri berjenis kelamin perempuan. Terlebih lagi memiliki mata berwarna merah menyala. Tangan si tubuh tak bernyawa tersebut diangkat agar bisa dipindahkan. Baru Marinda mengetahui masih ada yang hidup di sana. Sesosok bayi minagiri berjenis kelamin perempuan.
Semula Marinda tak mau mengambil bayi tersebut karena berbeda spesies. Belum lagi upacara kematangan untuk menikah belum pernah dilaksanakan. Teriak bayi yang kehilangan sesosok ibu tersebut membuat dia tak tahan lagi. Bahkan air mata tak kuasa muncul. “Anak manis, kau haus ya,” katanya sambil terus mendekat.
Tubuh sepanjang kurang dari setengah meter tersebut digendong. Kain yang dikenakan minagiri diambil tanpa izin dan dikenakan Marinda. Masih teringat saat menggendong narasima muda. Cara yang sama pun diterapkan pada bayi minagiri. Tentu saja dilakukan dengan penuh kehati-hatian tingkat tinggi. Terlebih lagi dia tahu jika minagiri memiliki bobot setengah daripada narasima. Barang bawaan minagiri dibongkar. Beruntung masih ada asupan gizi bagi bayi tersebut. Dengan demikian dia bisa menenangkan si kecil yang sudah kehilangan ibunya.
Barang bawaan diperiksa lagi. Beberapa pakaian yang masih bisa digunakan si kecil diambil. Sosok tersebut diseret dan dimasukkan ke sebuah lubang sebelum ditutup dengan bebatuan. “Aku tak tahu siapa namamu dan kenapa kau harus kehilangan nyawa. Satu yang pasti, izinkan aku merawat anakmu hingga dewasa,” katanya sambil menunduk ke batu.
Angin sedikit bertiup di dalam hutan tersebut. Daun yang sudah tua berguguran terbawa aliran udara yang bergerak. Salah satu mengenai batu pemakaman sebelum menyentuh kaki bercakar. Hal ini dimaknai Marinda sebagai sebuah tanda persetujuan.
Perjalanan kembali dilakukan. Tiada lagi halangan atau kejadian yang mencurigakan. Kawasan pemukiman narasima dimasuki dengan tanpa beban sama sekali. Kaki tanpa alas terus melenggang di atas bebatuan alami.
Tempat kediaman telah digapai. Jari bercakar dimasukkan ke dalam lubang yang terdapat di daun pintu. Sebuah trik dilakukan sehingga pengait benda yang terbuat dari kayu khusus super ulet bisa terlepas. Dia pun memasuk rumahnya sendiri.
Si kecil tengah tertidur pulas. Marinda menaruh anak tersebut di sebuah meja. Sedangkan dia sendiri membelah tubuh kelinci dengan cakar. Isi hewan dibersihkan sebelum dipanggang.
“Tok tok tok!” suara ketukan terdengar dari pintu yang ada di dapur. Marinda bergegas mendatangi isyarat tersebut. Pintu dibuka, seorang narasima dengan usia lebih muda terlihat. Bulu gadis di balik pintu tersebut berwarna agak gelap dengan telinga sedikit bulat. Giwang emas menghiasi telinga si tetangga muda.
“Kak, hari ini dapat apa?” tanya narasima itu.
“Kelinci, ada apa?” tanya balik Marinda.
“Kebetulan adikku sedang minta daging kelinci. Ibu dan Ayah sedang ke desa lain menghadiri hajat. Bisa kita barter?” tawar perempuan tersebut.
“Kebetulan aku butuh minuman bernutrisi. Bisakah kita saling bertukar? sedikit saja,” tawar balik Marinda.
“Boleh saja.”
Gadis tersebut kembali ke rumah. Sebotol cairan nutrisi berwarna putih diambil. Dia pun kembali ke rumah Marinda. Pertukaran barang terjadi. Gadis tersebut mendapatkan daging kelinci, sedangkan Marinda mendapatkan minuman yang diinginkan.
Waktu memasak sudah usai. Marinda mengambil daging hewan buruan tersebut. Namun si kecil menangis. Dia pun berdiri dan memeriksa anak yang ditemukan. Dilihat dari raut wajah, anak tersebut terlihat sedang kehausan. Minuman hasil dari pertukaran diberikan kepada anak tersebut. Sebuah kain diambil dan dililitkan ke tubuh. Marinda menggendong si minagiri yang masih kecil. Ayunan dilakukan sambil memberikan minuman agar si kecil merasa nyaman dan bisa tertidur pulas. Marinda bisa makan setelah si kecil terlelap ke dalam alam mimpi.
Merawat anak kecil yang semudah yang dibayangkan. Di tengah malam terpaksa Marinda harus bangun karena minagiri menangis begitu keras. Timang-timang dengan penuh kelembutan dilakukan. “Dik, Kakak ada di sini. Jangan menangis dan cepatlah tidur,” ucapnya dalam keadaan masih mengantuk. Kaki melangkah dengan pelan sambil mengitari kamar tidur. Si kecil sudah tertidur, dia pun ikut memejamkan mata.
Mentari sudah agak tinggi. Cahaya yang begitu terang masuk ke dalam kamar tidur Marinda. Sebab itulah narasima yang berbulu emas bisa terbangun. Rasa kantuk belum juga hilang, tapi arah cahaya membuat hati merasa cemas. Baru kali ini dia terlambat bangun. Marinda pun berburu-buru untuk membersihkan diri sendiri serta si kecil yang masih belum bisa apa-apa. Minuman nutrisi telah disiapkan, dia menggendong si kecil yang sudah terbangun.
“Marinda!” terdengar sebuah teriakan yang berasal dari luar rumah. Marinda membuka pintu rumah. Seorang kerabat berlihat sedang membawakan makanan.
Aramanda, narasima yang memiliki bulu hampir sama dengan Marinda merasa sesuatu hal yang aneh dengan adik sepupu yang berdiri di tengah pintu tersebut. Sebuah kain yang melilit ditubuh menjadi pusat perhatian. Belum lagi ada sesuatu yang digendong Marinda. “Hahaha,” tawanya.