loader image

Novel kita

Narasima (Kasih Sayang Seorang Ibu) – Bab 2

Narasima (Kasih Sayang Seorang Ibu) – Bab 2

Mengapa Mereka Mau Merebut Anakku?
90 User Views

“Kenapa Kakak tertawa?” tanya Marinda.

“Mar, sebentar lagi kamu akan menikah. Masih saja kamu main boneka,” jawab Aramanda.

“Ini bukan boneka, ini bayi sungguhan.”

Aramanda sedikit sangsi atas perkataan Marinda. Saudara sepupu tersebut didekati. Benda yang digendong Marinda dilihat. Baru dia yakin jika itu bukankah boneka, melainkan bayi sungguhan. Namun, bayi tersebut bukan dari spesies narasima. Yang digendong Marinda adalah bayi dari spesies yang mampu berenang dan bisa memanjat, minagiri. “Dari mana kau dapatkan bayi ini?” tanyanya.

“Saat berburu tadi aku melihat ada seorang ibu telah kehilangan nyawa. Aku kasihan dan aku bawa saja bayi ini. Akan aku besarkan dia,” jawab Marinda.

“Bawa sini bayi itu.” Aramanda mencoba untuk merebut anak yang berada di dalam gendongan Marinda.

Tak dibiarkan tangan sang kakak menyentuh anak temuan, Marinda memegang tangan sang kakak. Tenaga yang dimiliki sudah cukup untuk menahan agar si kecil tak tersentuh oleh narasima lain. Genggaman makin dipererat karena Aramanda tak tinggal diam saja.

Satu tangan tergenggam masih bisa menggunakan tangan yang lain. Aramanda masih berusaha agar bisa menyentuh si anak yang bukan dari spesies saja. Niatnya selalu saja terhalang oleh genggaman tangan Marinda. Tenaga yang dimiliki tak bisa mengatasi genggaman kuat dari sepupu.

Usaha memiliki anak tersebut tak bisa berhasil dengan mudah. Tersirat sebuah rencana untuk melakukan sebuah serangan. Singa berbulu sedikit kecokelatan tersebut mengeluarkan semua cakar yang ada di tangan. Pandangan mata mengarah ke samping. Namun tetap saja tangan tak bisa digerakkan sama sekali. Cakar di kaki pun ikut keluar.

Pandangan mata Marinda sedikit terhalang si anak yang ditemu sehingga dia tak bisa melihat dengan jelas. Pijakan dari sang kakak sama sekali tak bisa dihindari. Genggaman tangan menjadi bubar dan dia mundur terkena cakaran. Kain yang digunakan untuk menggendong si kecil hampir saja putus. “Kak, ini sangat berbahaya buat anakku,” ucapnya.

“Makanya serahkan anak itu,” pinta Aramanda dengan mengisyaratkan pakai satu jari.

“Tak akan pernah.” Merinda masih tetap teguh dengan pendiriannya. Si kecil diturunkan ke sebuah meja.

Keinginan merebut anak minagiri masih ada di dalam hati Aramanda. Narasima yang menggunakan anting putih tersebut masih terus berusaha untuk tetap mengambil anak dari spesies narasima. Tangan pun siap untuk langsung merebut bayi yang masih tak berdaya. Sekali lagi dia terhalang oleh Marinda. Kaki hendak digunakan untuk menjauhkan si kerabat tersebut. Malah dia sendiri yang terkena tendangan terlebih dahulu. Beberapa bulu coklat menjadi rontok. “Mar, berani kau melawanku!” ucapnya dengan sedikit amarah.

“Maafkan aku, aku hanya ingin membela anakku.” Marinda sedikit membungkukkan badan.

Keinginan kedua narasima sangat bertentangan. Sebab itu pertarungan tak terelakkan lagi. Aramanda terlebih dahulu melakukan sebuah serangan. Cakar dibuka lebar dan langsung terarah pada wajah Marinda.

Sebuah pertahanan dilakukan oleh Marinda. Tangan kanan menangkap pergelangan tangan Aramanda. Sebuah bantingan dilakukan. Tendangan melanjutkan dari serangan tersebut. Kaki sedikit dibekuk untuk melakukan lompatan yang lebih baik. Cakar pun telah siap untuk melakukan serangan balasan. Namun serangannya juga ditahan oleh kakak sepupu. Marinda bersalto, tubuh narasima yang dipegangnya itu terangkat. Bantingan yang dilakukan kali ini membuat Aramanda terlempar cukup jauh.

Meski sempat keluar rumah dengan terbang rendah, Aramanda tak mengalami luka yang serius. Bantalan peredam kejut di tubuh mampu mengatasi luka di tubuh saat melakukan pendaratan di tanah. Segera dia bangkit dan mempersiapkan segala senjata alami yang dimiliki. “Mar, kau sungguh keterlaluan. Beraninya kau menyerang kakakmu sendiri!” katanya. Amarah pun diluapkan.

“Maaf saja, aku tak melawan kakakku. Yang aku lawan adalah orang yang akan merebut anakku.” Marinda keluar dari rumah dan mengeluarkan setiap cakar yang tersembunyi. Kaki sedikit dibekuk. Sejumlah tenaga dialirkan. Lompatan begitu bertenaga dilakukan.

Serangan yang tertuju pada Aramanda sama sekali tak terjadi. Lompatan yang dilakukan Marinda tertangkap oleh narasima lain yang sedang melintas di depan rumah tersebut. Lelaki yang berbulu agak gelap tersebut mengorbankan diri agar kedua kerabat bisa berdamai.

“Margono, kenapa kau menghalangiku?” tanya Marinda.

Belum juga pertanyaan itu dijawab, Aramanda terlebih dahulu melakukan sebuah serangan. Terkaman yang dilakukan mampu menggoreskan gambar berwarna merah ditubuh si sepupu. Lukisan luka hendak dilakukan lagi tetapi dia terlebih dahulu terkena tendangan dari Marinda. Serangan hendak dilakukan kembali tetapi tak jadi karena Margono terlebih dahulu berada di tengah pertarungan dua gadis narasima tersebut.

“Kenapa kalian saling menyerang? Kalian sudah hampir menikah dan masih dalam satu kerabat. Apa yang menjadi masalah kalian berdua?” tanya Margono.

Ketegangan antara kedua narasima teralihkan ketika terdengar suara tangisan dari seorang bayi yang berada di dalam rumah Marinda. Sang pemilik rumah berlari memasuki tempat tersebut. Si kecil ditimang-timang sambil diberikan sebotol minuman nutrisi khusus.

Kedua narasima yang berada di luar rumah Marinda ikut masuk ke dalam tanpa izin sang pemilik. Ditemui seorang gadis sedang menggendong bayi. Dari warna tubuh yang terpancar sudah jelas jika itu bukanlah bayi dari spesies narasima.

“Mar, anak siapa itu?” tanya Margono.

“Anak ini sudah tak memiliki orang tua lagi. Aku kasihan kepadanya. Sebab itu aku bawa ke sini,” jawab Marinda sambil sedikit menggoyangkan tubuh. Si kecil pun merasakan sebuah kenyamanan hingga mata menunjukkan ada rasa kantuk.

“Sebaiknya kau serahkan saja pada tetua. Mari aku antarkan,” ajak Margono.

“Kau mau mengambil anakku? Tak akan kubiarkan itu terjadi.” Pandangan mata Marinda sempat menunjukkan ingin memangsa narasima yang ada di sana. Cakar tangan kiri pun sempat dimunculkan kembali sebelum disimpan di sela tubuh. Tubuh dipalingkan dan dia melangkahkan kaki menuju ke belakang. Kalian yang lain diambil agar bisa membawa si kecil. Tombak kesayangan dan seutas tali diambil. Perburuan kembali dilakukan. Langkah cepat dilakukan agar bisa cepat menjauh dari narasima yang ada di sana. Kaki melangkah cepat menjauhi tempat tersebut.

Pertarungan bisa dikatakan tiada yang menang atau kalah. Namun hal tersebut merupakan sebuah aib tersendiri bagi Aramanda. Terlebih bagi Margono merupakan teman bermain bersama sejak kecil. Pengejaran terhadap Marinda yang sedang melarikan diri pun dilakukan. Jejak yang dibekaskan Marinda selalu diikut. Sayang, pandangan Aramanda trlalu fokus ke Marinda sehingga tak memperhatikan jalan berbatu yang dilalui. Dia tersandung sebuah batu dan kaki pun terkikir. Tiada lagi daya untuk mengejar adik sepupu. Kaki yang sakit pun dipegang. “Margono!” teriaknya.

Si lelaki yang mengejar Marinda tersebut sedikit teralihkan. Pandangan tertuju pada Aramanda yang merasakan kesakitan. Pengejaran terhadap Marinda dibatalkan. Dia memilih untuk menolong Aramanda dahulu. “Ara, kamu tidak apa-apa kan?”

Narasima (Kasih Sayang Seorang Ibu)

Narasima (Kasih Sayang Seorang Ibu)

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Marinda menyendap di atas sebuah pohon. Seekor kelinci  yang menjadi sasaran telah berada di posisi yang pas. Dia melemparkan tombak kesayangannya. Mangsa pun telah didapatkan. Perburuan hari ini dirasakan telah cukup. Marinda berjalan menuju ke rumah. Tepat di tepi sungai, dia menemukan ibu minagiri yang telah mati. Di sampingnya terdapat bayi yang menangis keras. Apakah yang ada Marinda lakukan?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset