“Aku tidak apa-apa. Hanya saja kakiku terkilir. Lebih baik kita laporkan saja kepada tetua,” kata Aramanda.
Gadis narasima yang terjatuh itu dibawa Margono. Bukan lagi ke tempat Marinda pergi, tetapi ke arah desa. Pandangan Aramanda selalu terfokus ke lensa yang berwarna hitam. Dia ingin merasakan seperti itu untuk waktu yang sangat lama. Bahkan jika bisa untuk selamanya. Sentuhan lembut dari narasima tak menjadi kenangan tersendiri.
Desa telah dicapai. Arah perjalanan tertuju ke langsung ke rumah Aramanda. Dikarenakan pintu rumah sedang ditutup, maka Margono hanya bisa menurunkan gadis narasima yang dibawa ke kursi yang berada di luar dengan sangat berhati-hati. Bagian kaki yang terkilir dilihat. Syaraf yang sedikit keluar dari jalur dikembalikan lagi. Daun dilumatkan dan ditempelkan pada bagian kaki yang terluka.
“Ara, beristirahatlah terlebih dahulu. Aku pamit.” Margono berdiri dan memalingkan wajah dari hadapan gadis yang ditolong.
“Mar, jangan terburu-buru. Kita bicara sebentar saja.” Aramanda menggenggam tangan Margono dengan erat.
“Jika kau seperti ini, bagaimana aku bisa pergi? Aku mau melapor kepada tetua.” Margono menoleh ke belakang. Tangan mulai melepaskan genggaman narasima wanita dengan perlahan.
“Silahkan.” Aramanda melepaskan kepergian Margono.
***
Di tengah hutan Marinda sedang mengawasi seekor rusa. Kedua mata biru nan indah selalu terarah pada di mangsa. Semak belukar digunakan untuk bersembunyi. Kaki sudah siap untuk berpijak. Landasan pun diinjak dengan mantap. Tangan kiri berada di samping untuk mempercepat gerakan sekaligus keseimbangan. Tangan kaki memegang dengan erat sebuah tombak. Target sudah berada di daerah yang terkunci. Tombak hendak dilayangkan. Sayang, tangisan keras dari seorang anak mengacaukan semua rencana yang sudah matang. Mangsa menjadi kabur sebelum tombak melayang. “Anakku, tenanglah,” katanya sambil menancapkan tombak di tanah. Sekali melompat dia sudah bisa mendekat pada sumber suara.
Di atas sebuah pohon terdapat serangga kecil yang mengganggu tidur si kecil. Marinda segera mengambil anak tersebut. Minuman bernutrisi diberikan untuk menenangkan minagiri yang sedang menangis. Ayunan dengan penuh kelembutan dilakukan agar si kecil bisa terlelap. “Dik, tidak apa-apa. Kakak selalu ada di sini.” Marinda menyingkirkan segala macam serangga yang mengganggu anak kesayangan.
Si kecil telah tertidur pulas. Pohon lain digunakan untuk menaruh anak yang tertidur. Marinda melompat ke pohon yang lain. Seekor mangsa sudah terlihat. Terkaman dilakukan ke leher si rusa. Taring telah tertusuk pada kulit si mangsa.
Rusa yang menjadi target tak mau kalah begitu saja. Hewan tersebut berguling ke tanah agar bisa terlepas dari cengkeraman narasima. Kaki terus saja menendang. Otot semakin menguat seiring dengan gigitan narasima yang semakin kuat. Energi yang dibutuhkan semakin banyak seiring pergerakan yang semakin aktif. Udara yang diperlukan tubuh pun kian meningkat.
Suplai udara dari luar terhambat ke paru-paru karena tekanan dari mulut Marinda. Pergerakan kian lagi kian pelan. Terlebih lagi wajah si rusa telah terukir warna merah. Distribusi makanan terganggu dan energi pun kian menipis. Tubuh semakin lemas tak bertenaga lagi. Tiada lagi daya untuk mempertahankan diri. Si rusa hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan. Nyawa pun terlepas dari raga yang didiami seumur hidup.
Meski sudah menang, Marinda juga masih butuh waktu untuk beristirahat. Gadis yang berlumuran darah dan lumpur memandang ke arah langit sambil mengambil napas sebisa mungkin. Mangsa kali ini tidak seperti yang dibayangkan. Tenaga terkuras habis untuk bisa memutuskan saluran pernapasan.
Perburuan yang dilakukan Marinda tak hanya berakhir begitu saja. Makan untuk dirinya memang sudah tersedia tetapi belum untuk si kecil. Anak yang sedang tertidur di atas sebuah pohon diambil. Minagiri kecil digendong di belakang. Sedangkan mangsa dibongkar dan dikeluarkan bagian yang tak dibutuhkan. Marinda hanya mengambil bagian tertentu saja. Tombak digunakan sebagai alat penuntun agar bisa berjalan lebih baik.
Kini dia telah tiba di sebuah sungai. Tiada hewan besar yang ada di sana. Si kecil ditaruh di dekat mangsa. Lompatan dilakukan ke dalam aliran air. Marinda menyelam hingga sampai ke dasar sungai. Rumput yang berada di bawah sana dipanen dengan sesuka hati.
Sejumlah rumput laut telah didapatkan. Marinda keluar dari air. Terdengar jerit bayi yang sedang menangis. Bergegas dia mendatangi anak dari spesies yang berbeda tersebut. Timang-timang kembali dilakukan. Si kecil pun bertawa gembira. Marinda membalas dengan senyuman manis walau tak tahu apa yang dimaksud.
Tak seperti biasa, Marinda langsung pulang ke rumah. Perjalanan kali ini cukup menyita banyak waktu. Beban yang harus ditanggung semakin beresiko. Bukan soal berat yang dipikul tetapi kenyamanan bagi si buah hati. Tak mungkin berlari sambil membawa mangsa, makanan dan anak sekaligus karena dinilai cukup untuk membahayakan anak yang dibawa. Tenaga yang dibutuhkan juga lebih besar. Sebab itulah dia hanya berjalan saja menelusuri hutan.
Mentari telah lama meninggalkan kedudukan tertinggi di langit. Saat itu Marinda telah tiba di rumah. Si kecil diletakkan di sebuah meja. Marinda melakukan pengolahan makanan sendirian. Mangsa diambil bagian daging dan dipanggang di atas sebuah kompor. Bahan makanan dari dasar sungai ditumbuk halus untuk diambil bagian sari pati. Sesekali juga melihat keadaan minagiri yang menjadi anak pungut.
Makanan sudah masak, Marinda mendinginkannya terlebih dahulu. Tubuh si kecil direndam ke dalam air. Sedikit gerakan dari spesies berekor seperti ikan tersebut membuahkan sedikit senyuman dari narasima pemburu. Marinda mengawasi sambil membersihkan diri dengan bantuan air. Pakaian bekas hari ini di taruh pada bak pencucian.
Masakan dirasakan sudah dingin. Marinda menyuapkan sari pati rumput sungai kepada si kecil. Ekspresi wajah dari anak tersebut menunjukkan sebuah kenikmatan. Dia pun mulai mencoba dan terasa tak begitu aneh. Lamban laun malah dia menyukai itu. Perut pun terasa dingin dan nyaman.
Hari-hari dilalui Marinda bersama si kecil yang belum diberi nama. Dia selalu mengajak si buah hati pergi berburu. Daun yang lebar digunakan untuk melindungi anak minagiri dari terik mentari ataupun tetesan air langit. Perburuan yang gagal karena tangis dari anak tersebut malah membuat Marinda tersenyum.
Di malam itu bulan sedang bersinar dengan sempurna. Saat yang tepat bagi Marinda untuk keluar pada malam hari. Bukan untuk berburu tapi bermain bersama si kecil tak masih belum bisa bergerak dengan bebas. Sari pati makanan dari dalam air disuapkan dengan penuh kelembutan. Lirikan mata dengan lawan yang berbeda warna dan pola menjadikan sebuah komunikasi Bahasa tanpa suara.
Di saat sedang bersenang-senang, Marinda melihat sorot mata dari jarak jauh. Tak hanya sepasang saja tapi puluhan pasang. Kewaspadaan pun ditingkatkan. Dekapan kepada si buah hati begitu erat. Segala bulu yang ada di tubuh berdiri sehingga terlihat lebih besar. Cakar pun dikeluarkan semua.