Dua minggu berlalu setelah aku meminta banyak hal pada Kyo. Tak ada kejadian aneh yang terjadi. Kyo tetap sama, sikapnya tak berubah sedikit pun. Meskipun jika kuperhatikan dia sudah jarang membolos atau datang terlambat lagi ke sekolah. Entah itu artinya dia sudah mengabulkan permintaanku saat itu atau hanya sebuah kebetulan. Aku belum sempat menanyakannya.
Hubunganku dan Kyo juga tak ada yang berubah. Kami masih tetap rutin makan siang bersama dengan aku yang tak pernah lupa membawakan dia bekal makan siang. Kegiatanku sebagai anggota club karate berjalan dengan lancar, hubunganku dengan Kaori semakin dekat dan kami bahkan sudah berani saling menceritakan masalah masing-masing. Aku jadi berterima kasih pada Kyo yang menyuruhku bergabung dengan club karate sehingga aku mengenal Kaori hingga berteman dengannya.
Lamunanku buyar seketika saat suara sorak sorai tiba-tiba membahana. Teriakan demi teriakan terdengar saling bersahut-sahutan yang sebagian besar berasal dari wanita. Awalnya aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan keributan ini tiba-tiba terjadi. Bahkan kulihat semua orang sedang berlarian seolah ingin pergi ke suatu tempat. Kulihat pula beberapa orang sedang menjerit girang di depan jendela sambil menatap ke arah luar. Penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di luar, aku mendekati jendela dan ikut menatap ke luar. Detik itu juga aku menegang, kini tahu persis penyebab keributan ini bisa terjadi.
Di tengah lapangan terlihat beberapa siswa laki-laki sedang bermain basket. Ada sepuluh orang di sana yang sedang memperebutkan satu bola untuk mereka masukan ke dalam keranjang. Dan di antara kesepuluh orang itu ada satu orang yang begitu mencolok. Selain karena dia selalu berhasil merebut bola dari lawan, kecepatan larinya pun mengagumkan. Dan yang membuat semua orang terpukau dengan permainannya adalah karena dia yang selalu berhasil memasukan bola ke dalam keranjang.
“Kyoooooooo! Keren. Kau yang terbaik!”
Itulah yang diteriakan beberapa gadis di sampingku, terutama di luar sana suara yang mengelu-elukan nama Kyo menjadi satu-satunya suara yang terdengar.
Ya, pemain yang kumaksud tadi adalah Kyo. Aku baru tahu dia sehebat itu dalam permainan basket. Dan ya, aku juga paham alasan semua orang menjerit histeris melihat aksinya karena dia memang begitu hebat dan luar biasa. Permainannya bahkan berhasil membuatku ikut terpesona dan terkagum-kagum padanya.
“Kyoooooooo!!!”
Para gadis di sampingku bagai orang gila yang terus menjerit-jerit histeris meneriakan nama Kyo. Walau aku juga sekagum itu padanya, bukan bermaksud untuk pamer, tapi aku merasa lebih normal dibanding mereka.
Tak tahan karena telingaku terasa berdengung berada di dekat gadis-gadis itu, aku pun berjalan menjauh dari jendela. Aku menuruni tangga menuju lantai dasar karena aku memang ada di lantai satu tadi. Aku pikir sepertinya lebih menyenangkan jika aku menonton aksi Kyo dan teman-temannya yang sedang bertanding basket di luar saja.
“Hanna!”
Langkah kakiku seketika terhenti saat aku sedang menuruni anak tangga begitu mendengar suara seseorang yang memanggil namaku dari arah atas. Aku pun mendongak menatap ke atas dan menemukan Haruko, salah seorang teman sekelasku yang sedang berdiri di atas tangga, pasti dia yang baru saja memanggilku.
“Ada apa?” tanyaku karena tumben sekali gadis itu menegurku. Walau kami sekelas rasanya nyaris tak pernah kami saling bertegur sapa, meski dia memang tak pernah menggangguku juga.
“Ada yang mencarimu di gerbang sekolah.”
Satu alisku terangkat naik, “Siapa?”
Haruko mengangkat kedua bahunya tanda dia pun tak tahu menahu mengenai orang itu. “Cepatlah. Dia sedang menunggumu di sana.”
Haruko melesat pergi tanpa menunggu responku. Aku penasaran ingin segera mengetahui siapa orang yang sedang menungguku di luar gerbang. Memang suasana di sekolah sedang bebas sekarang, tak ada kegiatan belajar mengajar karena para guru sedang mengadakan rapat penting, entah rapat untuk membahas apa, aku juga tak berminat untuk mencari tahu.
Aku melanjutkan langkah yang sempat terhenti, bukan lagi untuk menonton pertandingan basket di lapangan, melainkan untuk menemui entah siapa pun yang sedang menungguku.
Setibanya di luar gerbang yang khusus untuk hari ini dibiarkan terbuka oleh penjaga di jam belajar, aku menemukan dua orang wanita sedang berdiri membelakangi. Aku tak tahu siapa mereka karena tak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Selain itu, aku juga merasa tak mengenal mereka. Tapi aku tetap menghampiri mereka karena seperti yang dikatakan Haruko tadi, sepertinya mereka memang sedang menungguku.
Aku berdeham untuk menarik atensi mereka. Dan berhasil karena kini merasa menoleh ke arahku. Seketika aku menegang di tempat setelah mengetahui salah satu dari mereka adalah seseorang yang aku kenal. Hm, lebih tepatnya baru aku kenal karena kami baru bertemu dan berkenalan sekitar dua minggu yang lalu di tempat balapan motor liar. Dia adalah Aya, mantan kekasih Kyo. Atau mungkin masih pacar Kyo, entahlah, aku tak tertarik mencaritahu tentang hubungan mereka.
“Hai, Aya. Apa benar kau mencariku? Atau kau di sini sedang menunggu Kyo?” tanyaku karena jujur aku heran setelah mengetahui orang yang sedang menungguku ini adalah Aya.
“Jadi dia orangnya?” Wanita yang berdiri di samping Aya menanyakan itu sambil menatapku dengan tatapan yang sangat merendahkan.
“Iya, memang dia. Bagaimana menurutmu?”
Wanita itu mendengus disertai senyum yang terang-terangan sedang mencemoohku. “Tidak bisa dibandingkan denganmu.”
Aya tersenyum lebar mendengar jawaban temannya itu, yang kutebak sedang menilai tentang penampilanku dan dia membandingkannya dengan penampilan Aya yang memang sangat seksi dan glamour.
“Aku datang ke sini untuk sekali lagi memberimu peringatan.”
Keningku berkerut, karena tak paham sedikit pun dengan maksud ucapannya ini.
“Kau pasti masih mengingatnya, kata-kataku malam itu sebelum kau pergi begitu saja meninggalkan tempat karaoke dan membuat Kyo ikut pergi untuk menyusulmu.”
Aku tertegun, mencoba mengingat-ingat yang dia maksud ini, dan ya, sepertinya aku mulai mengingatnya sekarang sekaligus paham apa yang sedang dia bahas ini.
“Oh, tentu saja aku masih mengingatnya. Kau bilang padaku agar aku tidak coba-coba mendekati Kyo karena dia itu milikmu, begitu, kan?”
Aya mengangguk, “Benar. Aku memang dengan jelas mengatakan itu.”
“Lalu apa masalahnya?” tanyaku dengan berani. “Aku tidak pernah mencoba merebutnya darimu. Tidak sedikit pun.”
“Omong kosong. Yang kau katakan hanya kebohongan,” balas Aya, yang sungguh membuatku terheran-heran karena aku tidak merasa sedang mencoba mendekati Kyo atau merebutnya dari Aya. Aku bahkan sedang mati-matian berusaha menghilangkan perasaan cintaku ini padanya.
“Katakan saja yang sejujurnya, kau kan yang menyuruh Kyo berhenti ikut balapan?”
Mendengar pertanyaannya ini seketika aku tercengang.
“Kau juga kan yang melarangnya agar tidak berkumpul lagi dengan kami?”
Untuk pertanyaannya yang kedua jelas aku tak merasa telah melakukannya karena aku memang tidak pernah melarang Kyo berkumpul dengan teman-temannya. Masih jelas di ingatanku, aku hanya memintanya berhenti mengikuti balapan liar, merokok dan mabuk-mabukan seperti yang dilakukannya malam itu.
“Kenapa diam? Ayo, jawab!” teriak Aya, membuatku berjengit kaget karena tiba-tiba dia membentakku.
“Aku tidak pernah melarangnya berkumpul dengan teman-temannya. Benar, aku melarangnya mengikuti balapan lagi, tapi tidak dengan berkumpul bersama kalian. Lagi pula memang apa masalahnya aku melarangnya, toh Kyo tidak mungkin menurutinya, kan?”
Aya dan temannya itu seketika tertawa lantang seolah ucapanku ini sangat lucu di telinga mereka.
“Jangan pura-pura tidak tahu.” Aya tiba-tiba berjalan mendekatiku membuat kami berdiri saling berhadap-hadapan sekarang. “Gara-gara kau, Kyo sekarang tidak pernah lagi berkumpul dengan kami. Dia tidak pernah mengikuti balapan lagi. Dia juga semakin mejauhiku. Selalu mengabaikan setiap aku menelepon atau mengirimkan pesan padanya. Aku yakin kaulah penyebabnya,” katanya sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.
Sedangkan hal yang membuatku terkejut adalah benarkah Kyo berhenti mengikuti balapan dan berkumpul dengan mereka? Bolehkah aku merasa senang karena ini artinya dia mengabulkan permintaanku hari itu?
“Kedatanganku ke sini untuk memperingatkanmu sekali lagi.” Aya kembali melanjutkan ucapannya membuatku kembali memfokuskan pandanganku padanya yang sempat teralihkan. “Jika terbukti kau yang membuat Kyo menjauhiku dan juga teman-temannya yang lain. Maka kami tidak akan tinggal diam. Tunggu saja pembalasan dari kami. Camkan itu!”
Aya mengancamku dengan tegas dan itu cukup membuatku menegang di tempat karena melihat matanya yang memelotot seram disertai wajahnya yang memerah karena emosi yang tengah memuncak.
“Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku! Ingat itu baik-baik jika kau ingin tetap hidup dengan tenang, jauhi Kyo!”
Aya lalu melenggang pergi bersama temannya setelah itu, tak lagi menungguku memberikan respon apa pun. Untuk beberapa lama aku hanya diam mematung di tempat sambil kedua mataku menatap lurus pada punggung mereka berdua yang sedang berjalan menuju mobil mewah mereka terparkir. Aku lega saat melihat mobil mereka akhirnya berjalan pergi.
Seumur hidupku tidak pernah sekalipun berkeinginan untuk mengusik orang lain. Tapi kenapa setiap aku melakukan sesuatu yang baik menurutku, selalu saja berakhir dengan disalahartikan oleh orang lain. Padahal aku melarang Kyo karena mengkhawatirkannya, siapa sangka tindakanku ini membuat teman-temannya terutama Aya murka padaku. Jadi sekarang aku harus bagaimana? Haruskah aku menjauhi Kyo seperti yang diminta Aya tadi? Padahal aku hanya ingin menikmati masa remajaku dengan tenang, diam-diam jatuh cinta pada pria yang tidak seharusnya kucintai. Bagiku, walau cintaku tak terbalaskan, aku sudah cukup puas berteman dengannya. Tapi jika berteman dengannya akan membuatku terlibat dengan masalah besar. Haruskah aku mundur saja? Menyerah melakukan apa pun yang berhubungan dengan Kyo.
Sampai kakiku kembali melangkah memasuki gerbang, pemikiran ini tak bisa berhenti menggelayut di dalam pikiranku.
***
Aku sedang merebahkan tubuh di atas tempat tidur, setelah baru saja selesai mengerjakan tugas sekolah dan belajar sebentar karena besok akan ada ujian di sekolah. Ingin memejamkan mata untuk tidur rasanya begitu sulit karena kedatangan Aya tadi siang dan juga ancamannya terus terngiang di dalam kepalaku. Aku masih bingung harus melakukan apa setelah ini. Menjauhi Kyo rasanya terlalu sulit di saat aku sudah terbiasa dan nyaman ada dia di sampingku.
Di tengah-tengah lamunanku ini, aku tersentak karena mendengar ponsel yang tiba-tiba bergetar di atas meja. Aku bergegas bangkit berdiri dan mengambilnya. Detik ini juga aku tertegun saat melihat nama Kyo terpampang di layar, dia sedang meneleponku.
Tanpa keraguan tanganku bergerak untuk menekan tombol menerima panggilannya.
“Hanna, kau baik-baik saja?”
Itulah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Kyo begitu telepon tersambung.
“Aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?” tanyaku karena aku heran tiba-tiba dia bertanya demikian.
“Aku dengar dari Siky, tadi Aya datang menemuimu, apa itu benar?”
Dan sekarang aku tahu alasan dia menanyakan ini. Mungkin khawatir Aya melakukan sesuatu yang buruk padaku atau mungkin dia takut aku mengatakan sesuatu yang kasar pada Aya. Entahlah, aku tak tahu pemikiranku yang mana yang benar.
“Dia memang datang menemuiku.” Aku memilih mengatakan yang sebenarnya.
“Apa yang dia katakan padamu?”
“Hm, tidak ada. Bukan hal yang penting.”
Kyo tak menyahut lagi setelah itu, meskipun aku menunggu, dia tetap diam seribu bahasa.
“Kyo …”
“Jangan bohong,” katanya tiba-tiba menyela. “Tidak mungkin Aya datang menemuimu tanpa tujuan. Dia pasti mengatakan sesuatu padamu, Kan? Katakan saja yang sejujurnya!”
Aku mendengus karena suara Kyo terdengar meninggi seolah dia sedang marah. “Kenapa kau tidak tanyakan saja langsung pada Aya? Bukankah dia itu kekasihmu?”
“Aku dan Aya sudah putus.”
“Tapi dia masih mencintaimu.”
“Aku tidak peduli karena bagiku hubungan kami sudah berakhir,” jawab Kyo, suaranya terdengar ketus. “Katakan padaku, apa yang dia katakan padamu?”
“Sudah kukatakan tadi, kau tanyakan saja langsung pada Aya.”
“Hanna …” Kyo terdengar menggeram kesal di seberang sana. “… jawab saja pertanyaanku dengan jujur. Apa dia mengancammu? Atau menghinamu? Atau jangan-jangan dia menyakitimu tadi? Katakan saja apa yang dia lakukan padamu!”
Kyo memberondongku dengan pertanyaan, aku menggigit bibir bawah, luar biasa dilema antara harus berkata jujur atau memilih bungkam. Aku tidak ingin Kyo jadi memiliki masalah dengan Aya dan teman-temannya karena aku. Ini satu-satunya alasan yang membuatku ragu mengatakan yang sejujurnya pada Kyo.
“Jika kau tetap diam seperti ini, jangan salahkan aku jika aku mendatangi Aya sekarang dan aku akan memberinya pelajaran karena sudah berani mengganggumu tadi.”
Mendengar ancamannya ini seketika aku menegang di tempat. “Apa maksudmu dengan memberi Aya pelajaran?”
“Kau tahu maksudku, Hanna. Aku tidak akan segan-segan menyakitinya jika kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya padaku karena aku yakin sesuatu yang buruk dilakukan Aya tadi siang padamu.”
Aku meneguk ludah, dari nada suaranya sudah jelas Kyo tidak main-main dengan ancamannya ini. “Kau tidak akan berani menyakiti Aya. Kaori bilang kau selalu menjaga hubungan baik dengan mantan-mantan kekasihmu.”
“Pengecualian bagi mereka yang berani mengganggu apalagi menyakiti orang yang berarti bagiku.”
Apa pun maksud ucapannya ini sangat berhasil membuat jantungku berdetak tak karuan. Orang yang berarti baginya, mungkinkah aku yang dia maksud?
“Sekarang tinggal pilih, kau ingin aku memberikan pelajaran pada Aya sekarang juga atau ceritakan yang sebenarnya padaku?”
Aku masih bungkam seribu bahasa.
“Jika kau terus diam, kuanggap itu jawaban Aya memang sudah menyakitimu tadi siang dan aku akan pergi untuk memberinya pelajaran sekarang juga.”
“Aya tidak menyakitiku.” Akhirnya aku menjawab, tak ada pilihan lain bagiku selain mengatakan yang sebenarnya. Walaupun sebenarnya aku tak ingin hubungan Kyo dan Aya menjadi buruk karena aku. Tapi sepertinya apa pun pilihanku tetap saja hubungan mereka akan menjadi buruk.
“Aya hanya mengatakan padaku bahwa dia masih mencintaimu. Dia melarangku untuk mendekatimu karena dia tidak rela memberikanmu pada orang lain.” Aku terkekeh di akhir ucapan. “Lucu ya dia. Padahal kita berdua hanya teman biasa tapi dia sepertinya sangat ketakutan aku akan merebutmu darinya.”
“Apa lagi yang dia katakan?” tanya Kyo, mengabaikan sepenuhnya ucapanku tadi.
“Dia bertanya apa aku yang melarangmu berhenti ikut balapan. Memangnya kau benar-benar sudah berhenti balapan ya? Kau mengabulkan permintaanku hari itu, Kyo?”
Terdengar suara gumaman Kyo di seberang sana. “Setelah aku pikir-pikir yang kau katakan ada benarnya. Aku bisa mati jika terus mengikuti balapan liar karena itu aku memilih berhenti.”
“Aya bilang kau juga berhenti berkumpul dengan teman-temanmu?”
“Itu karena kau memintaku berhenti merokok, meminum alkohol dan juga bolos sekolah, kan?”
Aku terbelalak mendengarnya, jadi memang benar dia mengabulkan semua permintaanku.
Aku berdeham untuk menormalkan kembali tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering entah karena apa. “T-Tapi aku tidak melarangmu berkumpul dengan teman-temanmu, kan?”
Kyo berdecak kali ini, “Jika aku berkumpul dengan mereka, mereka pasti akan mamaksaku ikut balapan, merokok, meminum alkohol bersama. Dan akibatnya aku akan bangun kesiangan dan terlambat datang ke sekolah. Satu-satunya cara agar mengabulkan semua keinginanmu ya dengan berhenti berkumpul dengan mereka.”
“Tapi mereka jadi menyalahkanku sekarang.”
“Itulah kenapa tadi aku bertanya apa yang dilakukan Aya padamu. Apalagi yang dia katakan tadi?”
“Sudah, itu saja.”
“Benar hanya itu?” tanyanya seolah tak mempercayai ucapanku.
“Dia hanya menegaskan agar aku tidak mendekatimu karena dia masih mencintaimu. Kyo, kenapa kau memutuskan hubungan dengan Aya? Apa karena kau sudah memiliki kekasih baru?”
“Tidak. Aku sedang tidak memiliki kekasih sekarang,” jawab Kyo yang tentu saja membuatku terkejut bukan main.
“Benarkah? Sulit dipercaya Kyo tidak memiliki kekasih.”
“Kenapa tidak percaya? Padahal wajar saja jika aku tidak memiliki kekasih.”
“Pria seperti Kyo yang begitu populer, selalu menerima setiap wanita yang menyatakan cinta dan bersedia menjadi pacarnya, rasanya mustahil sekarang sendirian.”
Suara dengusan Kyo meluncur kencang, “Sudah pernah kukatakan padamu, alasanku menerima pernyataan cinta dan mau berpacaran dengan mereka karena aku belum menemukan seseorang yang aku sukai meskipun sepertinya sekarang aku sudah menemukannya.”
Kali ini bukan jantung berdebar cepat yang kurasakan melainkan rasa sakit yang tiba-tiba terasa di dalam hatiku. Kyo bilang dia sudah menemukan seseorang yang disukainya, mungkinkah ini berarti kesempatanku untuk bersamanya memang sudah tidak ada? Aku semakin menyadari cintaku ini memang bertepuk sebelah tangan.
“Oh, begitu. Baguslah kau sudah menemukan seseorang yang benar-benar kau sukai sekarang. Aku ikut senang mendengarnya.” Aku hanya mampu berbohong untuk menutupi luka di dalam hatiku yang terasa begitu perih ini.
“Benarkah kau merasa senang mendengarnya?”
“Te-Tentu saja,” jawabku singkat.
“Jika itu aku, aku akan terluka mendengar kau memiliki seseorang yang kau sukai.”
Tidak ada satu pun kata yang mampu melukiskan keterkejutan yang aku rasakan saat ini. Aku sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataannya.
“K-Kenapa kau terluka jika aku memiliki seseorang yang aku sukai?”
“Karena aku menyukaimu dan aku ingin kau menjadi pacarku.”
Aku tercekat, beberapa detik lamanya seolah lidahku kelu karena tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Katakan aku tidak salah mendengar barusan.
“K-Kau sedang bercanda kan, Kyo?” tanyaku sambil terkekeh. “Candaanmu ini sama sekali tidak lucu.” Aku yakin dia sedang mempermainkanku saat ini.
“Aku serius.” Kyo kembali menyahuti. “Hanna, maukah kau menjadi pacarku?”
Sebuah pertanyaan yang sukses membuat jantungku terasa ingin melompat keluar dari rongga dada. Benarkah yang dia katakan ini? Rasanya aku tak sanggup mempercayainya.
“Hanna, kenapa diam? Kau tidak mau menjadi pacarku?” tanyanya yang membuatku mendapatkan kembali kesadaranku yang melayang untuk beberapa saat.
“Aku tidak percaya perkataanmu. Kau pasti sedang bercanda, kan?”
“Hanna, kau itu wanita yang polos, lugu, lucu dan aneh ya. Hahahaha.”
Suara tawanya yang terdengar kencang itu membuatku semakin yakin kalau dia memang sedang mempermainkanku. Kebahagiaan yang sesaat tadi sempat kurasakan, kini berubah menjadi sebuah amarah. Aku tak menyangka hal sepenting ini dia jadikan sebagai candaan. Meskipun hanya bagiku saja hal ini sangat penting. Bagi Kyo tentu saja hal ini sama sekali tidak ada artinya.
“Sudah kuduga, kau memang sedang mempermainkan aku!!” tegasku dengan tanpa mengurangi nada kekesalan pada suaraku.
“Tapi … kau itu sangat baik. Aku baru pertama kali bertemu dengan wanita sebaik dirimu, Hanna. Kau juga sangat lemah dan rapuh, membuatku setiap saat mengkhawatirkanmu. Semua sifat-sifatmu itulah yang membuatku jatuh cinta padamu. Aku tidak sedang bercanda, aku benar-benar ingin kau menjadi pacarku.”
Kini semua kemarahanku lenyap sepenuhnya. Sebuah senyuman tersungging di bibirku tanpa sadar dan aku yakin wajahku sudah berubah menjadi merah bagaikan kepiting rebus. Aku sangat bersyukur karena Kyo tidak dapat melihatnya.
“Untuk menjawab pertanyaanmu yang tadi, alasanku memutuskan hubungan dengan Aya karena aku sudah menemukanmu. Satu-satunya gadis yang berhasil membuatku jatuh cinta.”
Sekali lagi aku tercekat, kembali kehilangan kata-kata untuk merespon ucapannya.
“Jadi bagaimana, kau mau menjadi pacarku, Hanna?”
Aku meneguk ludah, rasa senang yang membuncah di dalam hati membuat lidahku kembali terasa kelu hingga kata-kataku tak dapat keluar sebagaimana mestinya. Padahal aku begitu ingin menjawab pertanyaannya ini.
“Kenapa diam, Hanna? Seandainya kau tidak mau pun, jawab saja. Aku tidak akan memaksamu untuk menjadi pac …”
“I-Iya, aku mau.” Aku dengan cepat menyela ucapannya. “Tentu saja aku mau karena aku juga sepertinya jatuh cinta padamu.”
Keheningan tiba-tiba melanda kami, sempat khawatir Kyo hanya mempermainkanku. Tapi pemikiranku langsung terbantahkan begitu mendengar suara teriakan Kyo di seberang sana.
“Yesss! Itu artinya kita pacaran sekarang ya?” katanya masih dengan nada suara yang terdengar girang.
“Ya. Kita pacaran sekarang,” jawabku.
“Terima kasih, Hanna. Aku senang sekali. Aku pikir hanya aku yang jatuh cinta padamu,” katanya, dan sekarang baru kusadari kami sama-sama memiliki kekhawatiran yang sama.
“Sudah malam, kau istirahatlah. Pasti kau sudah mengantuk, kan? Sampai jumpa besok di sekolah.”
Aku mengangguk disertai wajah yang memanas, aku yakin semburat merah sedang memenuhi wajahku sekarang. “I-Iya.”
Setelah mendengar jawaban singkatku itu, Kyo memutus sambungan telepon.
Mimpikah ini? Tak terlintas sedikit pun di benakku semuanya akan jadi seperti ini. Sempat berpikir memilikinya merupakan sesuatu yang mustahil, nyatanya kini kami sudah meresmikan hubungan kami. Semuanya terjadi begitu cepat tanpa kami rencanakan sehingga membuatku berpikir, sedang bermimpikah aku? Jika benar ini hanya mimpi, aku rela tak bangun lagi sekalipun hanya agar kebahagiaan ini tak hilang.
Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan tanganku yang masih menggenggam erat ponsel. Sekali lagi aku hanya bisa berharap kejadian tadi bukan mimpi. Seandainya ini sebuah mimpi, aku berharap mimpi ini tidak akan pernah berakhir.