Semenjak kejadian itu, Kyo tak pernah muncul di depanku. Aku pun tak berniat mencarinya. Selain itu terjadi perubahan yang sangat drastis pada teman-teman sekelasku. Satu per satu dari mereka mulai menyapa dan mengajakku bicara. Mereka tidak mengucilkan ataupun merendahkanku lagi. Sikap mereka sangat baik padaku sekarang.
Akemi dan teman-temannya pun tidak pernah menggangguku lagi, meskipun aku sering memergoki Akemi menatapku dengan sinis dan penuh kebencian. Tapi aku tidak mempermasalahkannya, bagiku yang terpenting aku bisa menuntut ilmu dengan tenang di sekolah ini. Aku juga merasa senang karena bisa menikmati masa-masa sekolahku secara normal tanpa harus setiap hari melihat tatapan mencemooh dan merendahkan dari teman-teman sekelasku. Aku tahu betul perubahan ini terjadi berkat Kyo. Jika bukan karenanya, mungkin sampai lulus pun, teman-teman sekelasku tidak akan mau berteman denganku dan mereka akan tetap mengucilkanku.
Aku sangat menyadari sudah banyak bantuan Kyo untukku, bahkan dia pun telah menyelamatkan kehormatanku dari kedua pria yang diperintahkan Akemi untuk menodaiku. Kyo adalah penolongku, tapi aku belum bisa memaafkan kekasarannya pada Bu Misaki saat itu.
“Hanna, makan di cafe bersama kami yuk!” ajak salah seorang teman sekelasku, tapi dengan halus aku menolaknya karena seperti biasa aku membawa bekal makan siang yang sengaja disiapkan ibu.
“Ayolah, bukankah kita berteman sekarang? Anggap saja ini sebuah perayaan, kami akan mentraktirmu. Benar kan teman-teman?”
Pertanyaan itu secara serempak ditanggapi dengan anggukan dari beberapa temanku yang berdiri mengelilingiku saat ini. Aku pun tak sanggup lagi untuk menolak sehingga akhirnya aku menerima ajakan mereka.
Aku mengikuti mereka memasuki cafe sekolah yang sebenarnya baru pertama kali aku lakukan. Semenjak menuntut ilmu di sekolah ini, aku memang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Cafe ini. Suasana di Cafe sangat ramai, dipenuhi siswa-siswa yang tengah melahap makan siang mereka.
Makanan-makanan yang terhidang di sini pun sangat lengkap dan mewah. Bahkan di sini terdapat Group Band musik yang memainkan lagu-lagu mengiringi aktivitas makan para siswa. Tempat ini sangat luas dan besar sehingga mampu menampung semua siswa yang menuntut ilmu di sekolah ini. Kursi dan meja berderet dengan rapi layaknya restoran mewah. Hiasan-hiasan yang menghiasi Cafe ini pun semakin membuatku takjub dengan kemewahan Cafe ini, sangat cocok menjadi tempat makan bagi para putra dan putri kaya raya ini. Aku merasa minder berada di tempat ini, sangat tidak cocok untuk orang biasa sepertiku.
“Hanna, kau mau pesan apa?” tanya salah seorang temanku. Aku bahkan tidak tahu menu makanan di Cafe ini, membuatku semakin merasa tidak cocok berada di sini.
“Samakan saja denganmu,” jawabku pelan.
“Hm, baiklah kalau begitu.”
Bahkan di Cafe ini pun dipenuhi banyak pelayan yang dengan sigap melayani pesanan. Tak butuh waktu lama hingga makanan pesanan kami pun terhidang di meja.
Aku dan teman-temanku mulai melahap makanan kami ketika tiba-tiba suasana menjadi riuh. Terdengar siswa-siswa perempuan antusias menatap ke arah pintu, aku pun mengikuti arah tatapan mereka. Kini aku mengetahui alasannya, dua orang pria tampan berjalan memasuki Cafe ini. Kyo menghentikan langkahnya ketika tanpa sengaja bertatapan denganku. Hanya sesaat saja dia menatapku, setelah itu dia dan Siky kembali berjalan menuju sebuah meja yang sudah dipenuhi siswa laki-laki. Aku yakin mereka pastilah teman sekelas Kyo.
“Hai, teman-teman,” sapa Kyo sambil bertos ria dengan teman-temannya. Suasana menjadi begitu ramai begitu kedatangan Kyo. Dia tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Aku tidak tahu apakah Kyo menyadari bahwa sosoknya kini telah menjadi pusat perhatian para siswa perempuan, begitupun aku. Tapi aku berharap Kyo tidak menyadari aku sedang sibuk menatapnya saat ini.
“Selalu seru jika ada Kyo.”
“Iya, aku juga jadi bersemangat. Wajahnya memang tidak pernah bosan untuk dilihat. Benar kan, Hanna?”
Aku mengalihkan tatapanku pada Kyo dan kini kembali menatap teman-temanku yang duduk satu meja denganku. Aku hanya menanggapi pertanyaan salah seorang temanku itu dengan senyuman karena diam-diam aku setuju dengan pendapat mereka.
“Oh, iya. Hanna, kami jadi iri padamu. Bagaimana bisa kau begitu dekat dengan Kyo? Sampai dia membelamu seperti waktu itu.” tanya salah seorang temanku dengan raut penuh harap di wajahnya, mengharapkan aku akan memberikan jawaban. Entah jawaban apa yang harus aku berikan padanya, karena aku pun tidak tahu pasti alasan Kyo begitu peduli padaku. Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawaban.
“Tapi Kyo itu memang baik. Dia tidak pernah kasar pada wanita.”
“Iya, benar. Itulah mengapa aku ingin sekali menjadi pacarnya.”
“Enak saja, aku juga mau jadi pacarnya.”
Aku hanya terdiam mendengarkan pembicaraan teman-temanku. Rupanya mereka memang sangat mengidolakan Kyo.
“Hei, Kyo, kau sudah mau pergi? Kau baru makan sedikit.”
Perkataan yang berasal dari salah seorang teman Kyo kembali menarik perhatianku. Kyo memang terlihat beranjak bangun dari kursinya.
“Kau tahu kan, aku tidak terlalu suka makanan di cafe ini. Aku pergi dulu. Sampai jumpa di kelas ya,” ucapnya setelah menepuk pelan pundak temannya yang tadi bertanya padanya. Tampaknya Siky memang sahabat karib Kyo karena dia pun mengikuti Kyo meninggalkan Cafe ini.
Suasana kembali tenang di dalam Cafe, hanya suara alunan musik dan suara pelan beberapa siswa yang mengobrol yang terdengar. Begitu pun denganku yang merasa tak bersemangat untuk menyantap makanan meski teman-temanku sibuk mengajak berbincang-bincang. Entah kenapa diabaikan oleh Kyo seperti tadi membuat hatiku tak nyaman.
***
Dua minggu tepatnya aku tidak melihat Kyo. Terakhir kali melihatnya ketika tanpa sengaja bertemu dengannya di cafe sekolah waktu itu. Ada sebuah perasaan aneh yang kurasakan ketika tak melihatnya lagi. Sesuatu yang berharga terasa menghilang dari hatiku.
Sejak menuntut ilmu di sekolah, aku sudah terbiasa menyendiri. Tapi baru kali ini aku merasa begitu kesepian. Seharusnya aku tidak merasakan kesepian lagi sekarang karena teman-teman sekelasku sudah bersikap baik padaku, bahkan sering mereka mengajakku berkumpul bersama. Namun tetap saja aku merasa hari-hariku sangat hampa. Bukan hanya ketika di sekolah bahkan di rumah atau di tempat kerja pun aku merasa tidak bersemangat.
“Hei, kenapa sejak tadi melamun terus? Apa ada masalah lagi di sekolah?” tanya Kak Akane yang tanpa kusadari sudah duduk di sampingku.
Aku memang sedang berada di tempat kerja, suasana mini market cukup sepi sehingga kuhabiskan waktu dengan banyak melamun. Aku juga belum menceritakan kejadian yang menimpaku selama ini pada Kak Akane. Aku tidak sanggup lagi menahan rasa sepi ini, aku membutuhkan seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku. Aku pun akhirnya menceritakan semuanya pada Kak Akane. Dimulai dari kejadian mengerikan yang nyaris merenggut kesucianku, sikap kasar Kyo pada teman-teman sekelasku dan Bu Misaki, perubahan sikap teman-teman sekelasku serta pertengkaranku dengan Kyo pun tak luput kuceritakan pada Kak Akane.
“Kenapa kau baru menceritakannya sekarang?”
Terlihat Kak Akane sangat kesal padaku karena tidak segera menceritakan kejadian-kejadian yang menimpaku ini padanya.
Aku menundukan kepala, penuh sesal. “Maafkan aku, Kak,” gumamku lirih.
“Kau pasti sudah jatuh cinta para pria bernama Kyo itu.”
Aku terkesiap mendengar perkataannya sehingga cepat-cepat aku kembali mengangkat kepala. Aku merasa yang dikatakan Kak Akane merupakan sesuatu yang mustahil. Namun mengingat aku tak pernah jatuh cinta pada siapa pun sebelumnya, membuatku hanya mampu terdiam.
“Kau harus segera berbaikan dengannya. Mendengar dia melakukan semua itu untukmu, aku yakin dia pun jatuh cinta padamu.”
Aku membulatkan mata, “Itu mustahil, Kak.” Kali ini dengan tegas kutampik pemikiran Kak Akane yang terdengar berlebihan menurutku.
“Kau ini masih muda, kau belum berpengalaman soal cinta. Perasaan hampamu semenjak kau bertengkar dengan Kyo, jelas merupakan bukti bahwa kau mencintainya. Selain itu, jika Kyo tidak mencintaimu, menurutmu kenapa dia mati-matian melindungimu? Dia bahkan datang menyelamatkanmu ketika kau nyaris diperkosa. Dia juga menunjukan amarah sebesar itu pada teman-teman sekelasmu yang selama ini selalu mengucilkanmu. Aku sangat yakin kalau dia pun jatuh cinta padamu.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala, tak setuju pendapatnya. “Mungkin dia hanya kasihan padaku,” jawabku mencoba mencari alasan yang tepat dan masuk akal atas semua kebaikan Kyo padaku.
Kak Akane berdecak sebal, “Haah, terserah kau saja kalau kau tidak percaya perkataanku. Tapi segeralah berbaikan dengannya. Aku tidak suka melihatmu tidak bersemangat seperti ini. OK?” Setelah itu Kak Akane mengedipkan sebelah mata dan tanpa menunggu responku, dia melangkah pergi meninggalkanku sendirian lagi di meja kasir. Mungkin aku memang harus menuruti perkataan Kak Akane. Aku harus meminta maaf karena aku tidak tahan terus bertengkar dengan Kyo.
***
Kurebahkan tubuh di tempat tidur empukku begitu selesai belajar malam ini. Memang seperti ini kegiatanku setiap hari. Setelah pulang bekerja, aku akan belajar sebentar setelah itu tidur di kasur empukku.
Perkataan Kak Akane tadi tidak henti-hentinya terngiang di kepala. Aku masih tidak mempercayai perkataannya, bagiku sangat mustahil pria sepopuler Kyo bisa jatuh cinta pada gadis sepertiku. Tapi mengenai perasaanku pada Kyo, benarkah aku jatuh cinta padanya? Aku masih belum yakin dengan perasaanku ini.
Kutatap jaket hitam Kyo yang tergantung di dinding, jaket hitam yang dia berikan padaku di hari pertama pertemuan kami di atas rooftop saat dia menyelamatkanku dari Akemi dan teman-temannya.
“Anggap saja jaket dan saputangan itu aku jika sedang tidak bersamamu. Jangan takut lagi, aku akan selalu menjadi pelindungmu.”
Perkataannya malam itu kembali terbayang di ingatanku, sepertinya memang benar yang dikatakan Kak Akane. Entah sejak kapan sosok Kyo menempati posisi yang sangat penting di dalam hati dan juga hidupku. Dia sangat berarti untukku dan aku tidak ingin kehilangannya. Jadi sudah kuputuskan jika bertemu dengannya lagi, aku akan langsung meminta maaf padanya atas semua perkataan dan sikap kasarku hari itu.