loader image

Novel kita

Ojo Bandingke Aku, Mas! (Bab 3)

Ojo Bandingke Aku, Mas! (Bab 3)

Tuduhan Itu
62 User Views

“Apa mungkin semua ini karena Nadiva?” tanya batinku mengusap air mataku.

Aku putuskan untuk meninggalkan Mas Abi, yang sepertinya sedang menunggu seseorang di depan gedung.

Aku pun berjalan menuju arena Bazar. Ketika aku kembali ke tempat ini mencari ketiga anakku, tiba-tiba Rey datang menghampiriku.

“Mami, jangan menangis! Kan ada aku disini, Papi kita tinggalkan saja, kita pulang, yuk!” Ajak Rey.

“Kamu benar, Nak! Sebaiknya kita pulang saja, untuk apa berlama-lama disini, hanya bikin Mami sakit hati.” Ujarku tersenyum dengan sepasang netraku yang sembab.

Rey yang sedang berusaha menghiburku, masih tak mengerti dengan apa yang terjadi, yang ia tahu, aku dimarahi Mas Abi dan diabaikannya.

Rey mengajak kedua anakku yang lain untuk segera pulang, dan mereka pun mematuhinya.

“Mami! Kenapa kita pulang?” tanya Mey.

“Papi sedang asyik bersama temannya, sebentar lagi dia akan ada meeting, jadi kita sebaiknya pulang saja ya.” Ajakku menuntun Key.

“Mami, kita tunggu taksi online lagi kan?” tanya Rey.

“Iya, Nak! Kita tunggu disini, Mami sudah pesan kok!” sahutku memantau lokasi taksi online di ponselku.

Kemudian Mas Abi datang menghampiriku, dia mengajakku berbicara tentang kejadian hari ini.

“Maafin Mas! Seharusnya kamu sadar kalau istri temanku itu mengejekmu tadi, dia bilang subur artinya kamu gemuk! Olah raga dong Jingga, jangan sampai badanmu melar kayak gitu, Mas malu!” ketusnya berbicara tepat di runguku seraya memegang kasar lenganku.

“Aku mau pulang, Mas! Sebentar lagi taksinya datang!” ujarku menghempaskan tangan Mas Abi.

Suamiku tidak merespon, Ia tak peduli, dan Ia sama sekali tak merasa bersalah.

Ketika dia berjalan menuju lobi kantor, seorang wanita bertubuh tinggi, langsing, bermata sipit, berambut panjang berwarna hitam pekat dengan poni tebal dan berkulit putih bak model, menghampiri Mas Abi.

Rasa penasaranku semakin menjadi. Aku mengikutinya bersembunyi di balik dinding kaca yang tertutup wall sticker.

“Mami! Mau kemana?” tanya Rey menahan tanganku.

“Sebentar! Kalian tunggu dulu disini Mami ada perlu sebentar saja.” Bisikku pada Ray dan Mey.

Aku melanjutkan langkahku untuk mengetahui siapa sebenarnya wanita itu? Yang tidak begitu cantik, akan tapi terawat dan nampak berkelas.

“Hai, Bi! Kok bisa kebetulan kita sekantor ya, aku gak nyangka bakal mutasi ke cabang ini dan ketemu kamu lagi.” Ujarnya tersenyum menyalami Mas Abi.

“Aku malah senang, sekantor sama kamu, Va!” sahut Mas Abi tak melepaskan tangannya.

“Va? Jangan-jangan … dia Nadiva? Benarkah itu dia?” gumamku sambil terus mengintai.

Hatiku menjadi galau dan tidak karuan. Sengaja saja aku masuk ke lobi kantor dimana mereka berada, lalu aku pura-pura berpamitan dengan Mas Abi.

“Mas! Aku pulang duluan, kasihan anak-anak pengin buru-buru pulang.” Ujarku pura-pura ramah.

“Pu-pulang saja! Lagi pula acaranya bakalan selesai sebentar lagi, kok!” Jawabnya gugup seolah tak ingin ada aku disana.

“Sebentar! Ini istrimu, Bi? Kok gak kamu kenalin sama aku? Padahal istrimu cantik loh!” kata wanita yang disapa Va itu.

“Iya, dia Jingga istriku.” Sahutnya tak bersemangat.

“Sebentar, Mbak! Jangan dulu pergi! Saya Nadiva, teman Mas Abi.” Kekehnya menutup mulutnya yang tengah tertawa menyembunyikan sesuatu.

“Teman spesial, Mbak! Tepatnya mantan!” imbuh istri Ardhi- teman Mas Abi yang sedari tadi meledekku.

“Ma! Kamu sebaiknya diam! Atau pulang saja, dari tadi kok ngawur terus! Dia juga perempuan, sama dengan kamu! Punya perasaan dikit kenapa!” Ardhi menegur istrinya dengan nada tinggi.

Nadiva sama sekali tak membantah, justru Ia malah menertawakan istri Ardhi yang celetak-celetuk sembarangan.

Tak menunggu lama aku buru-buru pulang, tak memedulikan Nadiva dan mereka di sana.

“Kamu tega, Mas! Istri diledek didepan suaminya gak ada perasaan tersinggung sama sekali, bukannya membela malah marah-marah!” gumamku berjalan menuju anak-anakku.

Suamiku benar-benar tak punya perasaan. Ia terus merasa malu dengan fisikku yang kini menjadi gemuk ini.

“Badanku ini aib buat kamu, Mas! Padahal tanpa kamu sadari, kamulah yang sudah membuatku jadi seperti ini.” Batinku bèrderai air mata, sambil menyandarkan tubuhku ke jok mobil.

Rupanya benar, wanita itu adalah Nadiva. Mantan kekasih Mas Abi yang batal bertunangan karena tak mendapat restu orang tua Nadiva.

“Aku bisa saja merawat diri dan tampil lebih baik darinya. Pertanyaannya ‘apa gajimu mampu merawat wajah dan tubuhku’?” batinku berdebat lagi.

Rasanya, aku ingin bekerja mencari tambahan penghasilan, merubah penampilan, dan lainnya. Tapi kasihan Key, dia masih kecil. Lagi pula, Mas Abi tak memperbolehkanku bekerja. Sebenarnya ijazah Sarjanaku masih berlaku jika aku melamar pekerjaan, toh umurku masih masuk usia produktif untuk bekerja.

Mas Abi menikahiku saat aku masih kuliah semester tiga. Sebenarnya Ibu dan Bapak tak setuju dengannya. Namun, aku mencintai Mas Abi begitu juga dengannya, aku berusaha meyakinkan Ibu dan Bapak kalau Mas Abi adalah pria yang baik.

Rupanya, apa yang ditentang orang tua memang selalu terbukti, cepat atau lambat.

Cinta Mas Abi mulai berubah seiring berjalannya waktu. Hanya karena aku dekil, gemuk, dan tak pernah memedulikan penampilan, apalagi perawatan.

Sore itu, hujan turun dengan derasnya, angin bertiup kencang, pepohonan meliuk kesana-kemari karena tertiup angin, petir pun bersahutan. Aku bersama ketiga anakku, masih berada di dalam taksi, dan kami merasa ketakutan.

“Bu! Perjalanannya dilanjutkan saja atau menepi dulu? Anginnya kencang sekali, dan petirnya itu loh, bikin saya takut!” kata pengemudi taksi online itu.

“Mas berani melanjutkan tidak? Rumah saya sudah dekat kok, tinggal satu blok lagi!” sahutku memaksa.

“Baiklah kalau begitu, semoga tak terjadi apa-apa.” Sahutnya.

“Maaf ya, Mas! Saya ingin saat keadaan seperti ini, saya dan anak-anak aman di rumah, karena suami saya belum pulang, setelah itu … Mas boleh kok menepi, saya kasih tips lebih deh, Mas!” pintaku memaksa lagi.

“Baik, Bu! Saya juga gak tega melihat Ibu dan anak-anak Ibu.” Sahutnya.

“Terima kasih banyak, Mas! Semoga rezeki Mas lancar.” Jawabku mendoakannya.

“Mami, petirnya bikin aku takut.” Ujar Mey.

“Iya, makanya Mami maksa sama Mas sopir untuk melanjutkan perjalanannya. Untung saja Mas sopirnya baik ya!” ujarku mengusap kepala Mey dan Key.

Rey yang duduk di depan sesekali menengok aku dan kedua adiknya.

“Kamu memang bisa diandalkan, Rey! Sampai Mami gak nyangka pemikiranmu jauh lebih dewasa dari umurmu, Nak!” tutur batinku menatap wajah Rey.

Jika Mas Abi marah padaku, Rey lah yang paling pertama memusuhi Mas Abi.

Akhirnya kami tiba di rumah dengan selamat, pengemudi taksi online itu kemudian menepi di depan gerbang rumahku.

“Mas! Jangan dibawah pohon kalau menepi! Di dekat pos ronda saja, itu di depan rumah saya.” Teriakku menunjukkan pos ronda di depan rumahku ditengah derasnya hujan.

“Mami! Lekas masuk! Petirnya takut sekali. Atau kita suruh masuk saja Mas sopirnya.” Saran Rey.

“Enggak, Abang! Nanti orang mengira hal-hal buruk pada Mami. Apalagi Papi belum pulang, gak boleh sembarangan masukkin lelaki lain selain Papi.

“Kasihan dia, Mam! Gimana kalau aku temani saja Mas sopir itu di Pos Ronda ya?! Tolong bawakan Abang jaket dan buatkan kopi untuknya, Mam!” pinta Rey layaknya orang dewasa.

“Baiklah, tunggu disini, Mami bawakan apa yang Abang minta ya.” Sahutku pergi ke dalam rumah.

Anakku-Rey, pergi menemani sopir taksi itu, sementara aku di dalam bersama kedua anakku melepas pakaian yang basah terguyur air hujan, lalu membersihkan badan mereka, kupakaikan mereka piyama dan kaus kaki, lalu keberikan mereka masing-masing segelas susu hangat.

“Sudah habis susu, istirahat ya!” Titahku menuntun mereka menuju kamar mereka.

“Oke, Mami!” sahut Mey dan Key bersiap untuk tidur.

Dua jam kemudian, Mas Abi pulang dengan muka masam. Rupanya dia melihat Rey dengan sopir taksi itu. Tanpa mengucapkan salam atau menyapa ia buru-buru mendekatiku.

“Bilang sama aku kenapa Si Rey disana sama lelaki asing!” bentaknya menjambak rambutku.

“Aw! Sakit, Mas! Lepasin! Aku bisa jelasin sama kamu, tenang dulu, Mas! Kamu juga kan baru pulang, tiba-tiba marah aja!”

“Tuhan, tolong aku, apa dia murka padaku? Bagaimana dengan Rey dan sopir taksi itu? Aku takut, Mau diapakan mereka?”

Ojo Bandingke Aku, Mas!

Ojo Bandingke Aku, Mas!

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Aku Jingga, yang kini berbadan gemuk selepas melahirkan 3 orang anak selalu dicibir suamiku, dia selalu membandingkanku dengan mantan kekasihnya yang tak jadi bertunangan. Hidup terkadang selucu itu. Aku juga manusia, punya hati, aku bukanlah tumpukan batu yang harus terus bersabar menghadapi suamiku yang selalu sinis dan uring-uringan selepas pulang bekerja. "Jingga, kamu perawatan kek, bedakan atau maskeran gitu. Perempuan kok dekil! Kamu gak kayak Nadiva, dia selalu tampil cantik, berseri, terawat meski sudah menikah!" Kata Abimanyu suamiku. "Kalau dia memang menarik untuk kamu kenapa kamu gak nikah saja sama dia! Emang gajimu cukup untuk bawa aku ke klinik kecantikan, atau sekadar membeli skin care? Bantu aku di rumah saja kamu gak pernah, Mas! Sementara anak kita ini butuh makan, susu dan jajan, mereka masih kecil-kecil dan aku juga butuh bantuanmu untuk merawat mereka, aku capek juga, apa kamu bisa merasakan jadi aku?" Begitulah setiap harinya, diantara kami memang selalu bertengkar. Mungkin kami berdua stress, masih bersyukur bahwa kesehatan mentalku tidak terganggu. Apakah aku dan suamiku Abimanyu akan tetap bersama? Atau aku lebih memilih berpisah karena tak tahan dengannya?

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset