“Mau kemana kamu, Mas!”
Aku sibuk mengejar Mas Abi yang berlari menuju pos keamanan, di depan rumahku itu.
Buk,
Mas Abi mendaratkan hantaman ke wajah driver taksi online itu, lalu memukulinya, tanpa diberikan perlawanan.
“Cukup! Kamu sudah gila, Mas!” teriakku mencoba meghentikan amarahnya.
“Diam kamu! Gak usah ikut campur!” emosinya semakin memuncak.
“Aku tanya sekali lagi, siapa laki-laki ini! Dia selingkuhan kamu ‘kan! Kok kamu tega biarin anak kamu kedinginan di luar dalam keadaan hujan deras begitu, demi menemani lelaki ini ngobrol di Pos keamanan!” bentaknya melepaskan sepasang sepatunya.
“Mas! Jaga bicaramu! Jangan berburuk sangka padaku! Kamu berubah, Mas! Sejak ada Nadiva, kamu sering marah-marah dan sengaja mengorek-ngorek kesalahanku, aku tidak sehina itu! Tanyakan saja sama anakmu kalau kamu tidak percaya.” Sahutku seraya pergi ke kamar dengan kaki yang dihentakkan.
“Dasar istri gak becus!” gerutu Mas Abi.
“Rey, pulang! Papi mau bicara sama kamu!” bentak Mas Abi menarik tangan Rey kasar.
“Iya, Pi! Lepasin tangan Rey!” sahut Rey kesakitan.
“Pak! Anaknya jangan dimarahi, jangan ditarik begitu, Pak! Kasihan!” kata pengemudi taksi online itu.
“Saya tidak bicara dengan anda! Dia anak saya dan dia urusan saya! Jangan pernah ikut campur!” bentak Mas Abi dengan mata memerah dan tangan yang mengepal.
Aku melihat dari jendela kamarku, aku tak tega dengan Rey. Anak sebaik dia tak pantas mendapat perlakuan kasar seperti itu, salahkah dia beramal menemani lelaki itu? Dia hanya bermaksud menolong lelaki itu.
Rey masuk ke rumah dengan tangisan tanpa henti. Dia sangat jengkel dan marah pada Mas Abi.
“Mami, kenapa Papi kasar padaku, salahku apa? Rey cuma menemani Mas itu, dia kan sudah mengantar kita sampai ke rumah waktu hujan deras dan angin yang kenceng.” Ungkap Rey memelukku.
“Rey! Dengar Papi! Siapa lelaki yang ngobrol asyik sama kamu tadi?” tanya mas Abi membentak.
Dia cuma sopir taksi aja, Pi! Rey kasihan sama dia, udah nganter kita ke rumah dengan selamat, sementara Rey kasihan sama dia khawatir Mas itu kena petir saat di perjalanan.” Ungkap Rey terisak.
“Kamu jujur? Kamu gak bohong ‘kan?” tanya Mas Abi.
“Enggak, Papi! Rey sudah jujur sama Papi!” jawab Rey masih terisak.
Mas Abi terdiam dalam amarahnya, dia nampak sangat membenciku. Aku segera menenangkan Rey, sementara Mey dan Key terbangun dari tidur mereka, mereka menangis mendengar Mas Abi memarahi Abangnya mereka.
“Papi jahat! Papi jahat sama Mami dan Abang Rey!” teriak Mey berlari ke kamarnya.
“Aku tak peduli! Aku mau pergi! Jangan mencariku!” kata Mas Abi.
“Pergilah! Siapa juga yang akan mencarimu, kamu angkuh sekali, Mas!” kesalku menitikkan air mata.
“Apa kamu bilang! Sekarang kamu sudah mulai melawan, ya! Kamu berani sama aku, Hah! Kamu ingin terlihat unggul dihadapanku!” bentaknya menggoyangkan badanku dengan kasar kemudian menghempaskanku ke sofa.
“Malas aku di rumah ini, tak ada yang mau mengerti aku!” gerutu Mas Abi membanting pintu.
Kemudian dia nampak menghubungi seseorang, lalu pergi, entah kemana.
Mami, Papi mau kemana?” tanya Mey.
“Mungkin Papi kembali lagi ke kantor.” Jawabku.
“Tadi aku denger Papi bicara dengan perempuan di telepon.” Celetuk Mey.
“Perempuan? Siapa ya? Oh, mungkin Aunty.” Sahutku menepis kecurigaan Mey.
Aku yakin, Mas Abi pergi menemui Nadiva. Aku coba hubungi Ardhi saja, karena dari sekian banyaknya teman Mas Abi, hanya Ardhi yang selalu baik padaku.
Kuambil ponselku, kucari kontak yang bernama Ardhi-teman Mas Abi. Syukurlah, aku sempat menyimpannya, karena dia sempat menghubungiku saat Mas Abi ketinggalan ponselnya di kantor.
Aku tiba-tiba bimbang, tapi aku membutuhkan kejelasan, aku merasa semakin tak enak hati.
Tak banyak berpikir lagi, aku segera mengambil ponselku lalu menghubungi Ardhi tanpa ragu.
“Selamat malam Mas Ardhi, apa Mas tahu kemana Mas Abi pergi?”
“Malam, kalau tidak salah, tadi dia bilang mau pergi ke karaoke bareng teman-teman yang lain, kecuali saya. Karena saya gak enak badan.”
“Loh, ke karaoke? Perasaan Mas Abi gak pernah mau diajak kesana, siapa yang mengajaknya?”
“Iya, awalnya Abi memang tidak mau tapi Rana teman kami juga memaksanya, dia juga nampak kusut tadi, dia bilang ya sudah daripada stress dia mau cari hiburan dulu, begitu katanya.”
“Karaoke mana, Mas? Maaf saya banyak tanya, dan tolong jangan beritahu istri Mas Ardhi kalau saya chat, kalau bisa hapus saja, saya tidak mau kalau nanti istri Mas Ardhi bilang sama Mas Abi, bisa berabe urusannya.”
“Memory Karaoke, tenang saja saya jaga rahasia kamu.”
“Terima kasih, Mas!”
Sejak kututup pembicaraanku dengan Ardhi, pikiranku tiba-tiba berkelana jauh, entah kemana, perasaan cemas, khawatir dan takut, memenuhi benakku. Haruskah aku mencarinya, bahkan mengintainya?
“Mas Abi ke karaoke? Kok bisa? Ya sudah, kalau begitu aku harus cari tahu, dengan siapa dia pergi.” Batinku segera mengambil keputusan.
Aku segera pergi mengambil jaket tebalku ke kamar, aku akan pergi mengintai Mas Abi. Akan kubuktikan perkataan Ardhi.
“Abang Rey, Mami ada keperluan dulu, tolong jaga Mey dan Key ya … kalau Key ingin susu, Abang ambil di lemari pendingin, disana ada susu kotak kesukaan Key, ada camilan juga disana, kalian bisa makan sambil nonton TV. Oke!” titahku berbisik.
Rey mengangguk tanda setuju. Aku berjalan perlahan, menghindari Key terbangun dari tidurnya. Aku pun memesan ojek online. Aku pergi walau hatiku gelisah meninggalkan ketiga anakku.
Malam yang dingin dan sepi, kuberanikan diri pergi melawan rasa takutku akan gelapnya malam. Saat semua orang terlelap tidur, aku justru sibuk mencari kemana suamiku pergi? Perasaanku tak enak, aku gelisah, risau dan galau.
“Sudah sampai, Teh! Ini Memory Karaoke, Teteh baik-baik saja?” tanya tukang ojek itu khawatir.
“Teh?”