CHAPTER 2
Anjir….
Ini di tengah hutan kayak gini, kalau bukan dedemit menjelma sebagai wanita berkerudung, apakah mungkin dia adalah Sundel Bolong?
Ah. Sepertinya bukan.
Meski memang, aku mendadak merinding di saat melihat sosok berpasminah putih tersebut.
Sumpah….
MENGERIKAN….! benarkah dia manusia?
Apa jangan-jangan… dia adalah setan penunggu Hutan Baluran?
Hahaha… bodoh! Ya jelas saja, dia itu pasti manusia. Ckckck… Farhan… Farhan… gimana sih kamu ini? Efek belum minum kopi kali ya? Yang benar aja, masa iya sih ada setan naik motor butut, pakai helm pula di kepalanya? Tidak mungkin ada kan?
Tapi…
Ya, siapa juga sih yang bakalan tidak mengira kalau pengendara motor itu setan? Bagaimana tidak, lihat saja bentukannya. Pakaiannya serba berwarna putih dari atas sampai bawah. Motor bebek dari brand Honda yakni Supra Fit butut yang berwarna hitam pun nampak samar-samar dikarenakan minimnya pencahayaan di tengah hutan, yang dipenuhi dengan pohon-pohon kering dan bebatuan.
Dari kejauhan, mungkin orang yang melihatnya akan berprasangka jika yang mereka lihat adalah sesosok putih yang tengah duduk melayang di atas aspal. Hahaha…!
Tinnn…. Tinnnn… Tinnn….!
Anjir. Aku kaget. Sumpah…..!
Bagaimana tidak kaget, selain ini di tengah hutan. Sepi melempem, tiba-tiba saja semuanya mendadak berubah. Kebisingan yang aku dengar itu, berasal dari suara klakson motor.
Asli. Suara klakson tersebut membuat gendang telingaku bergetar karena suaranya yang sangat berisik.
ASTAGAAAA!!
Ternyata dan oh ternyata, yang menekan tombol klakson tidak lain adalah pengendara motor butut itu. Dia memang seorang wanita, tentu saja. Mana mungkin seorang pria mengenakan hijab malam-malam di hutan seperti ini? Iya kan? Lagipula, masa iya ada pria yang pakai hijab, kalau ada gila sih.
Kira-kira apa yang sedang ia lakukan sekarang? Pakai nanya! Ya jelas marah lah, bodoh!
Lihat saja, nampaknya ia tengah memberhentikan motornya juga. Tentu, wanita berhijab itu akan melakukannya. Karena itu juga kan gara-gara diriku yang sembrono, asal-asalan menginjak pedal rem mobilku tanpa berpikir dua kali. Tapi, ya namanya juga kaget. Tidak salah kan?
Karena kecerobohan diriku, pengendara motor butut itu jelas hampir menyerempet Fortuner hitam kesayanganku ini.
Heyheyhey! Mobil doang kok dipikirin? Kamu masih waras kan Han?
Yang harus kamu pikirin tuh, gimana kalau pengendara itu nabrak dan kenapa-kenapa gara-gara kecerobohanmu? Bisa ribet urusannya kan? Nyawa orang coy! Orang!
Sudahlah…
Sudah…
Berdebat dengan diri sendiri hanya akan membuang banyak waktu dan pengendara itu semakin kesal akan kelakuanku. Itu sebabnya, diriku memutuskan untuk langsung menjalankan mobilku kembali. Bukan untuk kabur, melainkan diriku hanya ingin menepikan mobilku di pinggir jalan. Walaupun jalanan sangatlah sepi, namun harus tetap kulakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Saat mobil Fortuner hitam kesayanganku ini berada di posisi yang aman. Aku membiarkan mesin mobil menyala, lampu mobil tidak ku padamkan, biar sebagai tambahan bantuan penerangan baik posisi belakang maupun posisi depan juga.
Mungkin setelah aku balik Denpasar, sepertinya memang bagus jikalau mobil ini ku lengkapi dengan lampu strobo biar kian terang. Kan, siapa tahu di kemudian hari, aku kembali di hadapkan pada situasi seperti sekarang ini.
Setelah itu, tak lupa ku buka setengah jendela mobil bagian kemudi, karena aku sedikit punya pengalaman. Intinya pernah kunci mobil ketinggal di dalam dan posisinya sama persis. Aku menutup pintu mobil dari luar dengan keras alhasil pintunya pun tertutup secara otomatis.
Setelahnya aku membuka pintu mobil dan langsung menghampiri pengendara motor yang sedari tadi tidak berhenti untuk menekan tombol klakson.
“Assalamualaikum….” aku mencoba memberinya salam sebagai ummat muslim. Apalagi wanita itu mengenakan hijab.
“Bapak punya mata tidak sih?!!” loh he? Mampus.
Hahahaha. Aku belum siap dengan keadaan yang mendadak seperti ini. Bagaimana tidak, belum saja diriku ini menyelesaikan ucapan ku dan meminta maaf kepadanya. Eh, dia malah sudah terlebih dahulu memaki diriku habis-habisan.
“Bapak kenapa berhenti tiba-tiba seperti ini? Bagaimana kalo aku menabrak mobil bapak, dan bla … bla …. bla….!” Anjir. Seriusan? Ini seriusan, dia ngomel di tengah hutan kek gini?
Yap! Wanita berhijab itu tiada hentinya dan terus-menerus memberikan kata-kata pedas, berasa mulutnya habis makan cabe sebaskom. Pedaas.!
Ya sudahlah. Aku juga gak mau berdebat dengannya. Karena pada dasarnya aku juga gak salah di sini, aku hanya kaget dan pada akhirnya menghentikan laju mobil secara mendadak.
Tapi, kalau aku juga gak menghentikan omelannya ini, telingaku rasanya sudah mulai panas. Jangan sampai, keadaan berbalik, emosiku terpancing dan pada akhirnya, aku bisa nekad melakukan sesuatu padanya. Apalagi di sini tak adanya saksi mata apabila aku mengambil tindakan, bukan?
Ah. Sudahlah. Beneran aku harus meningkatkan kesabaranku untuk menghadapinya.
“Saya minta maaf ya Mbak. Ini murni kesalahan saya, karena tidak fokus dalam berkendara” aku sengaja menggantung, hanya sekedar ingin melihat bagaimana responnya. Namun, nyatanya, matanya kian menyala.
Tapi… meski menyala. Kenapa… kenapa, malah terlihat…. Indah?
Mata yang indah….!
Tanpa sadar, aku bergumam dalam hati. Lalu jenak berikutnya aku tersadar.
Oh shit. Nope….
Kenapa aku malah mengagumi matanya yang berbinar di tengah kegelapan malam?
Stop Farhan….
Bukan waktunya untuk memperhatikan sepasang mata wanita ini.
“Mbak…. sekali lagi saya minta maaf,” kembali aku melayangkan permintaan maaf yang sungguh-sungguh, “tapi, alangkah baiknya kalau ada orang yang sedang mengucapkan salam kepada kita itu dijawab dulu Mbak. Bukankah, salam itu do’a?” ku lanjutkan ucapanku. Mungkin untuk sekedar meredakan secuil rasa dalam sana yang tiba-tiba mencoba mendobrak.
Entahlah.
Gak mungkin juga, aku terpesona hanya sekedar menatap sepasang mata berbinar dan bercahayanya itu, kan? Gak mungkin lah.
Meski, aku juga tak memungkiri, di saat ia turun dari motornya, melangkah semakin mendekatiku, silut wajahnya yang terkena pancaran cahaya keremangan dari lampu mobilku, kian menampakkan parasnya yang…. hmm, sekali lagi. Aku bergumam. Parasnya cantik.
Ahhh biji. Kenapa pula aku mengagumi wajahnya sih?
Mendengar satu kata yang sebelumnya ku lontarkan. Ia langsung menghentikan makiannya, ia pun menjawab salam ku sebelumnya. “Wa alaikumsalam,” begitulah jawabnya, meskipun agak ketus dan terkesan terpaksa.
Semakin dekat posisinya, semakin memperjelas parasnya.
“Cantik…” oh shit. Malah aku menjadikannya sebuah kata dan memperdengarkannya ke empunya. Matanya semakin menyala menatapku.
Ini seriusan? Seriusan kami bakal bertengkar di tengah hutan?
“Anda tidak sopan…”
“Anda bla… bla….” again? Dia kembali mengoceh tak jelas. Namun…. Kenapa saat diriku mendengar ucapannya yang judes ini, sontak langsung mengingatkanku pada sosok mendiang istriku saat dia ngambek kepadaku?
Sejurus kemudian, segala kenangan manis dan pahit yang sudah kita berdua lewati bersama, seakan-akan muncul kembali di benakku. Hatiku seperti terkikis saat mengingat semuanya. Apalagi, ingatan yang selama ini telah kusimpan rapat-rapat, saat di mana diriku menyaksikan langsung, istriku menghembuskan napas terakhirnya, karena gagal dalam melawan penyakit asam lambung yang diidapnya.
Sejak kepergiannya, diriku sudah menutup rapat-rapat hati yang telah rapuh ini. Meskipun, beberapa kali kucoba membuka hatiku kembali demi Dillah putri kesayanganku, mendapatkan kasih sayang dari sesosok ibu. Tapi, tidak ada perasaan yang spesial saat para wanita-wanita itu berada di dekatku.
“Bapak tau tidak? Saya hampir celaka, gara-gara Bapak mengerem mendadak!”
Masih kalimat pedas, sepedas cabe ia lontarkan. Sepertinya wanita ini masih belum puas mengeluarkan semua uneg-unegnya. Alhasil, lamunanku akan mendiang istriku dan sosok wanita yang berada di hadapanku ini pun buyar seketika di saat ia kembali mengoceh.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Iya Mbak, iya. Saya tahu, itu sebabnya saya.…” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku, karena wanita itu kembali memaki dan memaki diriku.
Ternyata, tidak semua wanita akhwat itu bertutur kata lembut. Nyatanya, ada juga yang suka mengomel. Tapi, yang anehnya nih. Omelannya semakin memperlucu sosoknya.
Saat ia masih mengomel dan diriku hanya bisa terpaksa untuk mendengarkannya.
Tiba-tiba…
Krssrrkk… Krssrrkk… Krssrrkkkk…!
Anjir…. apa itu?
Jawabannya segera kami dapatkan, serta sukses mengejutkan kami berdua. Segerombolan monyet yang tengah bergelantungan di atas pohon. Mereka meloncat dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Beberapa di antaranya terus meloncat. Namun, ada dua monyet yang malah turun dan mendekat ke arah seorang wanita yang sedari tadi hanya mengomel dan memaki.
Tentu saja, ia sadar akan kehadiran monyet itu dan wanita berhijab itu pun langsung teriak.
“Aaaaaaaaaaa!! Mo-mo-monyet!!” dia melompat-lompat, hingga dia semakin mendekatiku. Hingga pada akhirnya………………
TAP….!
Anjir. Apa ini?
Kenyal…. lembut….!
Belum juga aku tersadar atas apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku melihat, sepasang mata berbinar sang wanita ini, sangat dekat dengan posisi mataku. Kami bertatapan untuk sejenak, dan aku menyadari matanya kembali menyala.
“BRENGSEEEEEKKKK!”
PLAK…………..!
Fuckkk…. aku kena gampar.
BERSAMBUNG CHAPTER 3