BAB 1
Musholla itu tepat berada di tengah-tengah kampung, Terbuat dari bata yang diplester sederhana dan beratap rendah. Kebanyakan rumah-rumah warga berdiri sana mengitarinya, Bagai musholla itu adalah pusat segalanya. Sikap kekeluargaan antara warga masih kuat.
Jika salah seorang warga ditanya, apakah mengenal si A, artinya sama saja menanyakan saudara atau kerabat dekat, atau teman akrab.
Semua orang saling mengenal dan hidup berdampingan dalam damai. Arman bangun dengan badan segar bugar.
Ia bangkit dari peraduannya, dari sebuah karpet tipis milik musholla yang tidak terpakai.
Dipandanginya jam dinding yang terpaku di pintu kayu. Sudah saatnya ia menjalankan tugasnya.
Dengan mengenakan celana panjang dan kain sarung yang dililitkan di pinggang, Arman berjalan keluar untuk mengambil air wudlu.
Selanjutnya ia mulai menyapu musholla sembari menunggu waktu shubuh tiba.
…
…
…
Pagi itu udara sangat sejuk.
Satu-dua lampu di rumah warga mulai menyala, tanda denyut nadi kehidupan segera dimulai. Arman menatap jalanan yang agak terhalang oleh deretan bunga yang tumbuh di kiri dan kanan musholla.
Pandangan matanya menembus hingga ke arah perempatan di ujung jalan.
Di atas kabel listrik yang membentang di antara tiang-tiang, langit di atasnya terlihat kelabu.
Jauh di depan, terlihat jembatan kayu yang membentang kaku. Arman menguak jendela musholla perlahan. Ia menatap burung-burung kecil yang lincah.
Sayap-sayap mereka begitu ringan berkepakan di udara pagi. Cakar-cakar mungil itu tak lelah berlompatan dari satu dahan ke dahan lain.
Sesaat bertengger di pohon waru, lalu pindah ke dahan kopi, ke cabang-cabang cengkih, ke pelepah-pelepah kelapa.
Suara burung-burung itu berdengung di telinga Arman, membuat hatinya jadi semakin tenang.
Bunyi beduk menandai waktu subuh telah datang.
Arman bergegas mengumandangkan adzan dengan suaranya yang cempreng-cempreng serak. Setelah itu ia bergegas berganti baju dan menunggu para jamaah, sembari mengalunkan puji-pujian untuk mengagungkan kekuasaan yang Maha Kuasa.
Ustad Ferry adalah yang pertama datang, disusul kemudian oleh orang-orang yang lainnya.
Seperti biasa, hanya ada segelintir orang.
Kebanyakan malas menerobos kegelapan serta dinginnya pagi untuk menuju ke musholla.
Setelah melaksanakan sholat yang dipimpin oleh Ustad Ferry, Arman berganti pakaian kembali dan kemudian tanpa sempat sarapan pagi, ia melangkah pergi meninggalkan musholla.
Arman harus sudah berangkat ke ladang Pak Jalal sebelum pukul setengah enam, sebab ia sudah janji kepada laki-laki paling kaya di desa itu untuk membantunya memanen jagung.
Dari arah berlawanan, Arman berpapasan dengan banyak orang.
Perempuan-perempuan yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena punggungnya diberati beban, para lelaki terengah menahan pikulan di pundak, Tetapi ada juga beberapa orang yang berjalan melenggang saja atau hanya dengan menenteng keranjang belanjaan, mengepit dompet di ketiak, dan kain gendongan berkibar di bahu.
Sementara itu, di jalan setapak tampak beberapa orang memanggul cangkul dan menenteng sabit, menyusuri pematang-pematang sawah, turun di antara pangkal-pangkal rumpun padi yang terpotong, melewati gundukan-gundukan jerami sisa panen.
Angin sepoi-sepoi basah bertiup dari timur menuju barat menyisakan hawa semalam.
Di sisi lain ada yang masih berkerudung sarung, berjalan sambil mendekap kedua siku, sesekali tampak menguap.
Satu dua masih berpakaian tebal, melangkah pelan-pelan dengan menuntun atau menggendong anak kecil.
“Berjualan, Mbok?” Tanya Arman menyapa seseorang, “Ke pasar, Kang?” Tanyanya lagi ke orang yang lain. Semua menyahutinya dengan ramah dan supel.
“Kalian mau sekolah ya?” Seru Arman ke segerombolan bocah.
“Yang bener ya. Sekolah yang tekun, supaya pintar dan jadi orang kaya, nggak susah seperti kita-kita ini, orang-orang tua yang sudah telanjur bodoh”
Arman tertawa, dan anak-anak itu hanya menanggapinya dengan cengiran.
Jalan menurun. Gedebuk kaki makin gaduh. Lalu, jalan menanjak.
Langkah-langkah melambat. Mendatar, turun, naik lagi. Sekali waktu Arman tersandung batu, melompati lubang atau jalan yang rusak, serta menepi karena berpapasan dengan sekawanan kerbau.
Lalu, sampailah ia di jalan berumput, kelokan yang tepat menuju ke ladang Pak Jalal.
Arman menyusuri jalan setapak itu, yang kiri-kanannya ditumbuhi semak-semak rendah.
Sisa embun di atas rerumputan tampak seperti kristal-kristal kecil yang menguraikan sinar matahari.
Di ujung jalan, ia berhenti sesaat, menatap ke bawah. Kilatan jernih serta gemercik air seolah menantang kesungguhannya. Jalan menurun dan bersaf-saf.
Tangan Arman kadang-kadang berpegangan pada rumput-rumput atau akar-akar pohon waru.
Ladang Pak Jalal sudah tidak jauh lagi.
Arman melambatkan laju langkah kakinya. Angin berembus menerpa punggungnya yang basah. Burung-burung kecil masih berlompatan di dahan. Tapi, mereka tak berani menyapa. Bunyi gesekan sendal memantul ke dinding batu, berpendar ke sisi yang lain, meleleh pada lumut-lumut setengah basah.
Sesekali Arman mengusap keringat di kening dengan punggung tangannya, terkadang menarik napas dalam-dalam sambil meluruskan betisnya yang mulai terasa pegal.
Hanya sebentar. Setelah itu ia pun kembali berjuang melangkahkan kaki.
Namun kali ini Arman kembali berhenti ketika ekor matanya tanpa sengaja, menatap sebuah bungkusan yang tergeletak di tepi pematang.
Sebuah tas cangklong tua, tapi sepertinya penuh oleh sesuatu.
Penasaran, ia pun mendekat untuk memeriksa benda tersebut.
Tutup tas tersebut terhempas ke samping ketika Arman memungutnya, Menampakkan dua buah kantong plastik yang teronggok mencurigakan.
Arman mengambil salahsatu kantong untuk diteliti lebih seksama, sebelum kemudian mulai membukanya, dan ia langsung tercekat.
”Astaghfirullah..!!” Teriaknya. “I-ini punya siapa?”
Arman mengambil kantong kedua dan ternyata isinya juga sama.
Di sana terlihat beberapa ikat benda yang seperti, uang kertas pecahan 100 ribuan..!!
”Masya Allah” kata Arman menelan ludah. “Mimpi apa aku semalam..!”
Segera ia memasukkan kembali dua kantong itu ke dalam tas dan menutupnya rapat-rapat.
Lalu cepat-cepat balik lagi ke musholla.
Pikiran untuk membantu Pak Jalal sirnalah sudah, berganti dengan kebingungan dan juga rasa terkejut yang amat sangat.
=================================
BAB 2
Arman merasa tekanan darahnya mengalir deras memenuhi nadinya.
Di dalam musholla, ia terpaku menatap tumpukan uang dalam tas kain itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, sama sekali tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.
Lalu kemudian Arman mulai tertawa, dan tertawa, dan terus tertawa tiada henti-hentinya. Ia tertawa berlebihan hingga perutnya jadi terguncang-guncang dan membuatnya sakit.
Namun ia sama sekali tak peduli, karena terlalu senang memegang bundelan uang sebanyak itu. Arman menyobek ikatan pengamannya, lalu meraba dan menciumi wangi bau uang kertas baru, dan hangatnya lembaran tersebut.
Sungguh jumlah uang yang sangat banyak dan terbanyak yang pernah dilihat oleh Arman selama ini.
Marbot musholla itu histeria dalam kegembiraan. Ia memekik, melompat-lompat, dan tertawa terbahak-bahak. Ia terus menerus merangkul dan menciumi tumpukan uang itu karena saking bahagianya. “
Arman terus menerus berkata, “Ini seperti cerita film, seperti kisah sinetron..!”
Setiapkali ia menatap tumpukan uang di depannya, Arman seperti tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri, mimpikah atau kenyataan?
Tentu saja, seseorang akan segera mencari keberadaan uang tersebut.
Bayangan itu mulai muncul mengganggu pikiran Arman.
Segera ia berdiri tertegun di tepian bedug besar yang bergaya betawi, dan mencoba untuk memikirkan langkah berikutnya. Menurutnya, uang itu pastilah milik seseorang, yang entah kenapa bisa jatuh di sawah.
Arman bertanya-tanya. sebesar apa gerangan hadiah yang akan diberikan jika ia mengembalikan uang tersebut. Namun pikiran itu segera ia tepis jauh-jauh sebelum sempat menemukan jawabannya.
“Uang ini milikku, aku yang menemukannya..!” Kata Arman pada dirinya sendiri.
“Aku sudah bekerja keras selama ini. Bahkan tanganku kasar dan rusak karenanya, tapi aku nggak mendapat hasil apa-apa”
Arman bukanlah tipe pria yang pandai berkata-kata, apalagi dengan ungkapan kata yang tepat bahkan puitis. Akan tetapi Arman merasa pada saat itu seperti telah tersentuh oleh suratan takdir, oleh tangan Tuhan.
Jika saja ia tau bagaimana cara memanfaatkan uang tersebut, Arman menghela nafas dalam-dalam, dan berusaha untuk menenangkan diri. Ia harus berpikir jernih.
“Aku nggak boleh ngomong ke orang lain” Arman berkata seakan memberi perintah kepada dirinya.
Mengejutkan melihat ia yang biasanya santai, tiba-tiba menjadi seseorang yang begitu serius.
Dengan semangat yang menggebu-gebu seperti itu, bagaimanakah Arman dapat mengontrol situasi?
”Aku akan mengurus segalanya” katanya yakin.
Arman mungkin saja tampak seperti memiliki kehebatan mengatur uang tersebut. Namun jauh di dalam dirinya, ia gugup, dan otaknya terus berputar, memikirkan cara terbaik mengamankan uang temuan itu. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele.
Arman harus mencari tau bagaimana menyimpan uang nominal seratus ribuan itu dengan aman. Bagaimana caranya? Lalu di mana? Arman tau persis dirinya sedang membutuhkan bantuan. Dan orang yang pertama muncul dalam benaknya adalah seorang pria jujur bernama Asrul.
Ia segera meninggalkan musholla dengan membawa uang temuan itu.
Arman mengemasnya ke dalam sebuah tas ransel sekolah.
Hari mulai menjelang siang. Di sebelah atas atap musholla terlihat bayangan besar pepohonan, yang tersorot sinar matahari berwarna putih.
Di seberang jalan, pantulan sinar matahari itu terlihat berkemilau menyilaukan.
Masih banyak penduduk yang belalu-lalang di jalan.
Arman merasa seolah-olah tas ransel yang dipikul di pundaknya mengeluarkan bunyi alarm, yang memekakkan telinga, sama seperti perasaan bersalahnya yang terlihat menyala dalam cahaya pagi.
Detak jantungnya terasa memukuli genderang telinganya. Apalagi ketika seseorang menyapanya, Arman merasa pastilah orang itu sedang mengawasi gerak-geriknya. Ia jadi paranoid.
Arman merasa ingin lari, namun tersadar kalau itu cuma akan tambah memancing kecurigaan orang. Itulah yang membuatnya jadi mengurungkan niat.
Arman akhirnya memutuskan untuk tetap berjalan santai, menuju rumah Asrul meski degup jantungnya tetap menderu kencang.
Namun yang bisa ditemui Arman di sana cuma Mira, istri Asrul, dan keempat anak mereka yang masih kecil-kecil.
“Suamiku nggak ada di rumah, Bang” kata perempuan manis itu.
“Coba cari ke sawah Pak Jalal, pagi ini dia pamit mau kerja di sana”
“Jam berapa biasanya dia balik?” Tanya Arman frustasi.
“Siang hari. Memangnya ada apa, Bang?” seru Mira kuatir.
“Bagus kalau gitu. Aku akan menunggu di sini saja” kata Arman sembari mengempit erat tas uangnya.
Mira segera mempersilakannya masuk. Arman membawa tas itu ke ruang tamu, ia menyimpan barang bawaannya di bawah meja dan mengeluarkan sebundel kecil uang pecahan 100 ribuan.
Arman berniat untuk sedikit menggoda Mira sembari menunggu Asrul pulang.
“Mir, Sini. Aku punya sesuatu buat kamu” panggilnya sambil menaruh uang itu di atas meja.
Ia lantas mengaturnya rapi menjadi tumpukan berisi sekitar seratus lembar.
Demi melihat lembaran merah itu, Mira segera menyuruh kedua anaknya untuk menunggu di kamar tidur, sementara ia dan Arman duduk mengitari meja yang penuh uang dengan mata berbinar.
Mira memandangi uang sebanyak itu tanpa mampu berucap apa-apa.
“Bang Arman habis ngerampok ya?” Tanya Mira yang akhirnya dapat mengeluarkan suara.
“Enggaklah” sahut Arman sambil tertawa.
“Lalu, ini apa?”
Arman yang sudah tidak sabar segera menarik tangan Mira dan menaruhnya di atas tumpukan uang tersebut.
“Ini semua akan menjadi milikmu”
“Beneran, Bang?”
Mira ingin tertawa, namun nyatanya hanya bisa menatap bingung, dari mana Arman bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Tebakan terbaiknya adalah, uang ini milik seseorang yang dicuri atau ditemukan oleh Arman.
BERSAMBUNG BAB 3