Ayuna menghela napas berat lalu ia menarik Gian ikut bersamanya ke taman kampus. Dia tidak ingin menjadi tontonan teman sekelasnya. Ia juga merasa risih dengan Gian yang terlalu dekat dengannya. Sementara jika di taman, tak ada ruang yang membatasi pergerakan keduanya. Ayuna bisa menghindar dengan bebas jika hal seperti tadi terjadi lagi.
“Utang apa maksudmu?” tanya Ayuna ketika mereka telah sampai di taman. Keningnya kembali bertaut meminta jawaban.
Gian tersenyum manis. “Makan malam yang aku kirim itu harganya dua kali lipat dari baksomu yang aku makan. Jadi, kamu berutang padaku!”
“Apa?”
Untuk ke sekian kalinya mata Ayuna membelalak dengan emosi yang terus terpancing. Seharusnya semalam dia tidak menerima kiriman makan malam itu. Sekarang, Ayuna tidak punya banyak uang. Mungkin bagi sebagian orang jumlah harga makan malam dari Gian itu tidak seberapa, tapi tetap saja ia sangat susah membayarnya.
“Kapan kamu akan bayar?” tanya Gian menaik-turunkan alisnya. Terus memancing emosi Ayuna. Hati dan telinganya terus berbisik, ingin mendengar emosi Ayuna yang meledak mengalahkan ledakan bom atom.
Berbeda dengan hati dan telinga Gian, milik Ayuna justru berbisik agar Ayuna tenang saja, tidak perlu melibatkan amarah. “Beri aku waktu. Mungkin besok atau lusa,” jawab Ayuna dengan nada pelan. Kini ia hanya bisa berharap pada kuenya yang ia titip di kantin kampus, berharap laku terjual. Jika tidak, bagaimana lagi ia akan mendapatkan uang. Meminta kepada orangtua? Bahkan orangtuanya bersusah payah untuk mendapatkan sepeser uang.
Ini adalah masalahnya, tidak perlu melibatkan orang lain, pikirnya.
“Oke!” Gian melenggang pergi dengan senyum miringnya setelah menyetujui permintaan Ayuna.
Sebenarnya Gian tidak mempermasalahkan harga makan malam itu, namun karena sebelum masuk ke kelas, Deo mengirim pesan padanya bahwa Ayuna berjualan di kantin, ia pun semakin ingin menyusahkan hidup gadis itu. Persetan jika Ayuna menganggapnya sangat jahat, pikirnya.
Diam-diam Arfan berjalan mendekati Ayuna yang masih berdiri melamun di taman. Ternyata sedari tadi pria itu mengikuti Ayuna dan Gian, ia juga mendengar pembicaraan mereka.
“Yuna,” panggil Arfan sambil menepuk pundak Ayuna. Ayuna sedikit terkekeh. “Eh, kenapa, Fan?”
“Kamu bisa memakai uangku untuk membayar utangmu pada Gian. Lagi pun, jika dia mengirimkan makan malam untukmu, seharusnya itu tidak termasuk ke dalam utangmu. Toh, itu kemauan dia sendiri.”
Benar kata Arfan. Itu memang bukan utang Ayuna, hanya Gian saja yang menambah-nambah masalah.
Ayuna tersenyum manis lalu berkata, “Biarlah. Tuhan sedang menguji diriku. Ujian ini pasti sesuatu dengan kemampuanku. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menyelesaikan semua masalahku sendiri.”
“Baiklah. Jika butuh bantuan, katakan saja padaku.” Arfan menepuk pundak Ayuna beberapa kali sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan gadis itu di taman.
Matahari yang tidak begitu panas, membuat Ayuna memilih berdiam diri sejenak di kursi taman. Rasanya ia ingin menangis. Jika bukan karena dia sedang berada di lingkungan kampus sekarang, ia mungkin saja berteriak sangat keras. Sejak dulu ia selalu saja diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya baik di sekolah atau pun di lingkungan tempat tinggalnya. Mungkin itulah satu alasan kenapa dia selalu sabar dan terus mengendalikan emosinya. Satu hal yang ia takutkan adalah ketika emosi itu tidak dapat lagi ia kendalikan. Ia takut emosi yang tak terkendali itu membuatnya semakin terjerumus ke dalam masalah. Hanya keluarga yang menjadi penyemangat Ayuna saat ini.
Air mata yang tertahan kini mulai tumpah. Dengan cepat Ayuna menghilangkan jejak air matanya sebelum ada yang melihatnya dalam keadaan menyedihkan.
Tak ingin berlanjut memikirkan nasib buruk yang selalu menimpanya, ia pun meninggalkan taman, kembali ke kelas karena mata kuliah kedua akan segera dimulai.
Setibanya di kelas, Ayuna menjaga matanya agar tidak pernah menatap sosok Gian.
Gian memajukan wajahnya sedikit ke depan agar dekat dengan Ayuna. “Awas, jangan lupa dibayar!” bisik Gian kala Ayuna mengeluarkan buku catatan dari dalam tas.
Ayuna diam sebagai tanggapan. Enggan sekali ia menjawab pria itu lagi. Ia berharap suatu saat Gian segera pergi ke kota lain agar sumber masalah hidupnya hilang.
***
Ayuna bergegas ke kantin mengambil harga kuenya yang ternyata laku keras. Ibu Meya juga berpesan agar Ayuna membuat lebih banyak kue jika mempunyai waktu luang. Setidaknya dengan kabar baik itu, Ayuna merasa sedikit senang dan tidak perlu khawatir tidak bisa membayar utangnya pada Gian.
Setelah dari kampus, Ayuna menyusuri jalanan mencari lowongan pekerjaan sebab ia tidak bisa hanya mengandalkan kue jualannya. Ia juga harus mengirim uang kepada orangtuanya. Tidak ingin orangtuanya yang mengiriminya uang. Sudah cukup kesusahan orangtuanya selama ini untuk membiayai kehidupannya. Kini ia harus mandiri, berhenti menjadi beban.
“Nak, kamu harus belajar dengan baik di kota. Biar ibu dan ayah yang bekerja keras untuk biaya kuliahmu.”
Tiba-tiba perkataan ibunya melayang-layang di kepalanya. Kendati demikian, dia akan tetap mencari kerja, melanggar perkataan orangtuanya.
Ayuna mendatangi semua warung makan terdekat dari tempatnya namun tak ada satu pun yang bersedia menerimanya dengan alasan mereka sudah banyak pekerja. Hal ini semakin membuat Ayuna sadar agar di masa depan ketika ia memiliki uang, ia seharusnya tidak membuang-buang uang itu untuk sesuatu yang tidak ia butuhkan. Sebab, mencari kerja untuk mendapatkan uang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Tak terasa, sudah hampir dua jam ia mencari lowongan pekerjaan, dan hasilnya nihil. Tapi ketika di jalan pulang menuju kontrakannya, gawainya berdering. Panggilan itu dari kontak yang tidak ia kenali. Berpikir panggilan itu penting, ia pun segera menjawabnya.
“Halo, dengan Mba Ayuna?” suara berat nan sangar terdengar dari seberang telepon. Ayuna menelan ludahnya dengan susah payah. “Y-ya? Ini aku, Ayuna. Ta-tapi maaf, ini siapa?” tanyanya sedikit terbata-bata karena suara pria dari seberang sana membuatnya ketakutan.
“Aku kakak tingkat di kampus. Tadi pagi aku aku membeli kue yang kata Bu Meya itu buatanmu. Jadi aku menelepon untuk memesan kue secara langsung.”
Apa ia tidak salah dengar? Seseorang yang mengaku kakak tingkat di kampusnya memesan kue darinya?
“Eh, benarkah, Kak? Kakak mau berapa dan kapan mau diambil?” tanya Ayuna antusias. Ia tidak terpikir dari mana penelepon itu mendapatkan nomornya.
“Sebelum itu, apa boleh kue yang dibuat itu kue donat? Soalnya ini untuk acara ibuku.”
“Bisa, Kak! Aku mengerjakan sesuai pesanan pembeli!” Tanpa berpikir dua kali Ayuna mengatakannya.
“Baiklah. Aku mau 150 donat untuk acara besok sore. Aku tahu besok kamu tidak ada jadwal mata kuliah jadi kuyakin kamu bisa menyelesaikan pesananku. Dan, untuk alamat, besok akan aku kabari harus kamu kirim ke mana,” jelas penelepon itu.
“Oke, Kak. Terima kasih sebelumnya.”
Panggilan berakhir. Ayuna langsung berlari agar segera sampai di kontrakannya. Ia ingin membeli semua bahan-bahan kue di warung dekat kontrakannya.
Selama berlari, hatinya tak pernah berhenti mengucap syukur karena Tuhan begitu adil, Maha pengasih dan penyayang. Ia tidak diterima di warung makan mana pun namun sekarang ia mendapatkan pesanan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayuna jadi teringat dengan kalimat, “Kamu tahu yang kamu inginkan, tapi Tuhan lebih tahu apa yang kamu butuhkan.” Senyum Ayuna semakin mengembang karena kalimat tersebut.
Ting!
Notifikasi membuat larinya terhenti. Ia merogoh saku celananya mengambil gawainya. Nampak pesan dari nomor yang tak ia kenal. Dia menyamakan nomor itu dengan nomor kakak tingkatnya yang menelepon beberapa menit yang lalu, berbeda. Keningnya mengerut, mungkinkah ini kakak tingkatnya yang lain yang juga ingin memesan kue darinya? Wah, jika demikian maka sepertinya nasib baik sedang berpihak padanya sekarang.
Karena jarak tempatnya berdiri saat ini dengan jarak kontrakannya tidak jauh, ia memutuskan melihat isi pesan itu ketika nanti ia tiba di kontrakannya.
Dengan napas yang sangat tidak beraturan, akhirnya Ayuna sampai juga di kontrakannya. Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi teras sambil mengatur napasnya agar kembali normal. Setelah napasnya teratur, ia memejamkan matanya sejenak dan meminta doa agar senantiasa kuat menghadapi segala masalah, juga kuat menyelesaikan pesanan kue, dan tidak lupa daratan ketika sedang dalam keadaan senang.
Karena sudah tak sabar melihat isi pesan itu, ia segera membuka matanya dan mengecek kolom pesan. Oh, no, isi pesan itu diluar harapannya. Senyum yang tadinya merekah kini perlahan memudar setelah membaca pesan itu. Hati yang riang gembira berubah seperti lembah suram hanya dalam hitungan detik.
“Dosa apa yang telah aku perbuat hingga hal ini terjadi kepadaku?” gumam Ayuna sambil meremas gawainya.
Bersambung!