Suara langkah kaki seorang gadis menyusuri koridor menuju kelasnya, memancing empat mahasiswa laki-laki yang sedang menikmati istirahat mereka di ruang kegiatan mahasiswa. Mata tiba-tiba terjaga kala keempat mahasiswa itu kini tertarik oleh langkah kaki yang merusak istirahat mereka. Padahal masih pagi tapi mereka ingin tidur seolah sekarang adalah jam 12 malam.
“Hey, berhenti!” seru salah satu dari keempat mahasiswa itu. Dia adalah Gian–ketua geng kaitjek.
Ayuna menoleh ke belakang dengan dahi mengerut sebagai tanda bertanya.
Gian melangkah mendekati Ayuna, menyisakan jarak satu meter dari gadis itu. Matanya memindai Ayuna dari atas sampai bawah, membuat hati Ayuna menjerit risih.
Ayuna sedang mengenakan baju hitam dipadukan dengan rok dan kerudung abu-abu, wajahnya terlihat sedikit pucat, tak ada sama sekali polesan make up. Satu kata untuk mendefinisikan Ayuna, sederhana. Gadis itu menunduk melihat dari bawah sepatunya hingga pinggangnya, tak ada yang salah, pikirnya.
Plak!
Kesal, Ayuna langsung menampar Gian.
“Jaga matamu!” peringat Ayuna yang berpikir negatif pada Gian. Ia pun langsung melenggang pergi ke dalam kelas, takut bila Gian berbuat macam-macam padanya karena suasana kampus masih sangat sepi.
Setelah kepergian Ayuna ke kelas, sudut bibir Gian terangkat satu, membentuk senyum miring. “Ayo. Rupanya gadis itu sekelas dengan kita.” Gian masuk ke dalam kelas yang sama dengan Ayuna, ketiga anggota gengnya segera menyusul.
Gian tidak langsung duduk di kursi melainkan mampir sebentar di samping Ayuna. Sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana, Gian berkata, “Jangan berpikir aku tertarik denganmu. Justru, aku melihatmu seperti tadi karena … .”
Gian melirik ketiga anggota gengnya yang berdiri di samping kanan dan kirinya, memberi kode agar ketiga anggota gengnya itu melanjutkan kalimatnya yang terhenti secara bersamaan.
Arel, Avin, dan Deo—ketiga anggota Gian—mengangguk paham.
“Karena kamu itu jelek!” kata ketiganya bersamaan.
“Ha ha ha!”
Gian tertawa dan ketiga anggotanya juga ikut tertawa dengan sangat keras.
Suasana kelas masih sepi, hanya ada mereka berempat dan Ayuna, membuat mulut mereka bebas menari menciptakan ejekan yang bagi sebagian orang yang mendengarnya akan kehilangan percaya diri.
Ayuna mencoba terlihat santai meski kenyataannya dirinya ingin berteriak sambil melayangkan bogem mentah pada keempat laki-laki yang tak ia kenali itu.
Ah, Ayuna tak habis pikir kenapa di hari pertama ia kuliah harus mendapatkan kejadian tak mengenakkan. Ya, Ayuna mengaku ia memang jelek, perkataan keempat laki-laki itu tidak salah. Tapi … haruskah hari pertama kuliah ia sudah diperlakukan demikian? Bagaimana dengan hari-hari esok? Mungkinkah akan lebih parah?
Gian dan keempat anggotanya berhenti tertawa ketika menyadari bahwa gadis yang mereka ejek hanya diam saja, terlihat sangat santai seolah tak pernah ada hal yang terjadi di antara mereka. Gian mendecak kesal. Segera ia membalik badan dan keluar dari kelas dan disusul oleh ketiga anggotanya.
Kursi yang ada di depan kelas lain seperti memanggil Gian untuk segera duduk. Pria itu pun menjatuhkan bokongnya dengan kasar ke kursi. Betapa kesalnya ia dengan respon gadis yang beberapa menit lalu ia ejek. Ia tidak puas! Ia menginginkan gadis itu menangis seperti kebanyakan orang yang selalu ia ejek. Namun kali ini ternyata mangsanya berbeda dari mangsa yang lainnya. Kendati demikian, gadis itu menarik di mata Gian.
“Kali ini enggak seru. Apa kita ganti mangsa aja, Bro?” tanya Deo pada Gian.
Bukannya menjawab pertanyaan Deo, Gian malah menyeringai seram. Membuat ketiga anggotanya itu saling pandang secara bergantian dengan tatapan penuh tanya.
Tak lama semua mahasiswa dan mahasiswi berdatangan. Mereka segera mengisi ruang kelas masing-masing. Gian dengan ketiga anggota gengnya turut mengisi kelas.
Betapa terkejutnya Ayuna melihat keempat laki-laki yang mengejeknya tadi masuk kembali ke dalam kelas yang sama dengannya.
Huft!
Helaan napas Ayuna dapat dirasakan oleh seekor semut yang berjalan di meja Ayuna.
Ayuna menggigit bibir bawahnya, tidak menyangka keempat laki-laki yang memberi kesan pertama yang buruk ternyata sekelas dengannya.
Ayuna itu pun kembali menghela napas dan kembali bersikap tidak peduli akan kehadiran empat laki-laki pengejek itu. Toh, ia masuk kampus untuk belajar, bukan untuk meladeni atau membuat masalah dengan empat laki-laki itu.
Gian melirik ke arah Ayuna lalu ia menyuruh teman kelasnya yang duduk di belakang Ayuna untuk bertukar tempat. Ayuna melirik sekilas ke belakang ketika Gian telah duduk di belakangnya.
“Hai, Jelek! Rupanya kita sekelas, ha ha ha,” bisik Gian dengan sedikit memajukan kepalanya ke depan agar Ayuna mendengarnya.
Tak ada respons dari Ayuna, Gian pun menyadarkan tubuhnya ke sandaran kursi bersamaan masuknya dosen ke kelas. Pembelajaran pertama di hari pertama kuliah dimulai. Dan selama pembelajaran berlangsung, Gian tidak berhenti menganggu Ayuna dengan melempari gadis itu dengan kertas kecil yang sudah diremas menjadi bola. Ketika Ayuna membuka remasan kertas itu, hatinya terasa mendapatkan satu sayatan. Tangannya meremas kembali kertas itu dan melemparnya ke sembarang arah dengan raut wajah menahan kekesalan. Bagaimana tidak, semua remasan kertas itu berisi kata “Kamu jelek!”
Sementara itu Gian berharap gadis di hadapannya membalas perbuatannya atau setidaknya mengadu pada dosen agar ada sedikit drama di pagi hari, terpaksa menelan kecewa. Oh, yes. Ada sesuatu yang aneh dirasakan oleh Gian ketika ia tidak mendapatkan masalah. Itu karena dia hidup dengan menciptakan masalah setiap hari bersama anggota gengnya. Hal itu sesuai dengan slogan gengnya yaitu : Masalah berdatangan, hidup lebih tertantang.
Sejam berlalu. Ayuna kini berada di kantin kampus, tepatnya sedang berdiri di hadapan Ibu Meya, penjual di kantin tersebut.
“Mmm … besok aku boleh titip kue buatanku buat dijual di sini, gak, Bu?” tanya Ayuna dengan hati-hati.
“Jangan ragu. Bawa saja, Nak. Bawa sebanyak-banyaknya,” jawab Ibu Meya antusias. Dia dengan senang hati membantu siapa pun.
Ayuna mengangguk dengan hati yang berbunga-bunga seperti baru saja ada seorang pria yang menyatakan cinta padanya. Ia lalu memesan semangkuk bakso Ibu Meya karena perutnya sudah memutar musik kelaparan. Tak lama bakso pesanannya tiba bersamaan dengan kedatangan Gian.
Gian menarik kursi dan langsung duduk berhadapan dengan Ayuna. Saat suapan pertama hampir masuk ke mulut Ayuna, Gian secepat kilat menarik semangkuk bakso itu dan mengambil alih sendok dari tangan Ayuna. Tanpa basa-basi Gian menyantap bakso Ayuna. Sang empunya bakso hanya diam melihat perilaku Gian.
Dari luar Ayuna memang terlihat santai. Namun di dalam, hatinya yang tadi berbunga-bunga kini terasa gersang. Ada gejolak yang mulai mendidih. Ada tangan yang siap terbang dan mendarat kasar di pipi Gian. Namun pohon kesabaran yang menghasilkan buah sangat manis membuat Ayuna mengurungkan niatnya. Membiarkan Gian, pencari masalah menyantap bakso miliknya.
Dalam hati Gian bertanya-tanya kenapa gadis di hadapannya itu tidak memarahinya atau setidaknya menamparnya seperti ketika ia memindai gadis itu dari atas sampai bawah pagi tadi. Oh, tidak! Gian benar-benar tertarik untuk terus menganggu gadis di hadapannga sampai emosi gadis itu meledak.
Sekilas Ayuna melirik jam di ponselnya, lalu ia beranjak pergi membayar semangkuk bakso yang bahkan kuahnya tak ia cicipi setetes pun. Sungguh, Ayuna sangat baik.
Setelah dari kantin, Ayuna mengambil tasnya di kelas lalu berjalan ke taman kampus. Ia ingin menikmati pemandangan yang tersaji dengan harapan bisa melupakan rasa laparnya.
Berkali-kali Ayuna menghela napas panjang.
Tatapannya begitu sendu dengan tangan kanan memengang perut yang lapar dan tangan kiri memegang kepala yang dipenuhi beban pikiran. Jika saja orangtuanya tahu apa yang dia alami di hari pertama kuliah, orangtuanya akan kehilangan kepercayaan bahwa ia bisa menjaga diri dari segi fisik dan mentalnya. Bahkan mungkin teman-temannya dari masa SD hingga SMA akan mengatakan padanya bahwa ia sangat bodoh karena diam saja ketika diejek dan makanannya dirampas.
Ting!
Lamunan Ayuna terbuyar oleh dering notifikasi gawainya. Segera ia mengecek pesan apa yang masuk. Rupanya pesan dari penanggung jawab kelas yang berisi bahwa dosen kedua untuk hari ini berhalangan hadir, mereka bisa pulang.
Ayuna menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia pun segera meninggalkan area taman kampus.
Ketika Ayuna hampir sampai di depan gerbang, tanpa ia sangka Gian datang menghalangi jalannya.
“Eh, Jelek. Mau ke mana kamu?” Gian merentangkan tangannya agar Ayuna tidak bisa melangkah maju.
Ayuna melangkah ke samping kanan dan Gian melangkah ke kiri membuat keduanya selalu saling berhadapan. Ayuna melangkah ke kiri dan Gian melangkah ke kanan. Begitu seterusnya.
Ayuna berhenti melangkah ke kanan-kiri. Ia melihat sekelilingnya, tak ada siapa pun yang melihat dirinya diganggu oleh Gian. Padahal ia berharap ada pahlawan berkuda yang datang menyelamatkannya. Oh, tidak! Itu hanya ada di drama televisi dan mimpi.
Melihat Ayuna yang sibuk melihat sekeliling, Gian langsung mengambil tas gadis itu dan mengeluarkan semua isinya ke tanah. Ia tertawa girang lalu pergi meninggalkan Ayuna.
Benar-benar kurang ajar, pikir Ayuna.
Ayuna mengumpul semua barangnya sambil berkata, “Suatu hari nanti, kamu akan menangis-nangis meminta maaf atas perbuatanmu, Gian!”
“Dasar laki-laki penganggu!” lanjutnya berteriak meski Gian sudah tidak ada di sekelilingnya.
Satu bab doang? Mana bab selanjutnya? Gas dong jangan lama-lama
Nungguin nih kelanjutan si ayuna sama gian