“Tante Rina sama Ustadz Hanif datang ke sini, mau ketemu kamu, Nduk,” kata seorang perempuan berusia lima puluh tahun.
Farah berhenti sejenak, sembari memandangi setiap manusia yang duduk di kursi ruang tamu. Tiga orang manusia yang dia kenal cukup lama.
Mereka sudah dianggap keluarga, oleh keluarga Farah, sejak belasan tahun yang lalu. Ustadz Fikri adalah sebutan khusus dari Farah untuk Ustadz Hanif–seorang guru ngajinya, saat dia masih TK. Ya, Ahmad Hanif Ashfikri, nama lengkapnya. Sementara Tante Rina dan Mbak Khafidza alias Fida adalah kerabat sang Ustadz.
“Ah, iya …, ada apa ya, Ustadz?” tanya gadis berhijab hitam, sembari bercium tangan dengan ketiga tamu tersebut.
“Kami datang ke sini, hanya ingin bersilaturahmi saja, Farah. Sudah lama, kami tidak tahu kabar keluarga ini, apalagi kabar kamu. Kamu sudah nikah?” tanya Ustadz Hanif.
Sebuah pertanyaan mencengangkan yang hadirnya tak terduga dan membuat Farah curiga. Detik itu juga hatinya seakan berperang dengan pikirannya. Over thinking akan dijodohkan untuk yang kesekian kalinya, telah muncul kembali–memenuhi ruang pikirannya.
“Belum, Tadz.” Sesingkat itu jawaban Farah.
Hanif kembali bertanya, “Ada calon apa belum?”
“Emmm …” Farah hanya bisa menjawab dengan cengiran saja.
Bagaimana mungkin, Farah mengatakan kalau dia sudah punya pacar? bisa-bisa rentetan dalil Ustadz Hanif suguhkan untuknya yang tidak terlalu menyukainya. Lebih tepatnya, tidak suka terlalu diatur.
“Kalau belum, apa kamu mau, kalau kami jodohkan dengan Syahril? Dia adik saya yang paling kecil. Usianya baru 30tahun di bulan kemarin,” sahut Mbak Fida.
Lagi-lagi Farah tidak mampu menjawabnya karena sungkan. Dia hanya memberikan kode untuk mereka, dengan cara tersenyum, lalu berpamit untuk menaruh tasnya di kamar.
Kebetulan siang itu dia baru pulang dari rumah Fanya–sahabatnya sekantor. Meletakkan tas hanyalah alasan Farah saja, agar dia bisa meninggalkan mereka. Tetapi dia tidak akan kembali menemui mereka lagi, sampai mereka pulang.
Sampai akhirnya dia mendengar suara ibu dan kakak kandungnya yang mengatakan kepada mereka bahwa Farah sudah memiliki seorang pacar.
“Mereka berdua sudah menjalin hubungan cukup lama. Sepertinya, sudah ada sekitar 2 tahunan. Jadi menurutku, Farah tidak akan mau di jodoh-jodohkan, Dek,” ujar Bu Wulan.
“Oh, begitu. Syukurlah kalau sudah ada calon,” jawab Ustadz Hanif.
Perbincangan mereka dengan keluarga Farah berlangsung hingga beberapa jam dan pada akhirnya, tepat pukul lima sore, mereka berpamitan untuk kembali pulang. Hati Farah terasa sangat lega, karena dia bisa menghindar dari rencana perjodohan itu.
***
“Farah! Kamu yakin, Alex bakal nikahin kamu?!” Suara teriakan Glen–kakak kandungnya yang kembali menanyakan hal serupa untuk kesekian kalinya.
“Gak ada pertanyaan lain kah? Bosen, dengernya,” ucap Farah.
“Kagak ada. Aku saranin, mending kamu cari cadangan, deh. Jangan jadi cewek goblok yang mau dikibuli Alex. Kamu pacaran sama dia berapa tahun, ha?” Pertanyaan yang dilontarkan dengan muka kesal.
“Ya itu urusanku, lah. Siapa juga yang mau hidup kayak gini? Kita cuma butuh waktu yang pas aja, kok. Nikah itu modal, bos … pakai duit, bukan pakai daun,” bantah Farah.
Adu mulut terjadi antara Farah dan Glen. Ini bukan pertama kalinya Farah cek cok dengan Glen, hanya masalah dia yang belum mendapatkan kepastian dari Alex hingga detik ini.
Mereka seakan menganggap Farah tidak memikirkan masa depannya dan hanya bersenang-senang saja. Padahal, Farah sudah berusaha berulang kali–meminta kepastian dari Alex. Tetapi memang faktor ekonomi Alex yang belum mendukung hubungan mereka berdua.
Gadis bar-bar itu sangat memahami bahwa pernikahan bukan hanya sekedar soal materi, tetapi juga menyangkut dengan kesiapan mental dan hati seseorang. Ketika sebuah finansial atau ekonomi telah tercukupi, tetapi mentalnya belum siap, maka dampaknya juga akan buruk kepada suatu pernikahan, apabila tetap dijalankan.
Sebuah pernikahan yang bermula untuk menggenapi iman dan ibadah, sebuah pernikahan yang seharusnya bisa berjalan sakinah, mawaddah, wa rahmah, bisa berubah menjadi sebuah perceraian yang menyakitkan dan merugikan.
“Lebih baik telat nikah, daripada terpaksa dan berujung sidang cerai,” ucap Farah lagi, sembari meninggalkan ruang keluarga.
***
20 Agustus 2020, pukul tiga sore tepat, telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan hati.
Aneka macam bunga yang cantik dan patung pahlawan dengan gemericik air pancuran, menjadi saksi atas lara hati Farah.
“Kamu ‘kan yang janji, setelah hari raya akan buktikan cintamu ke orang tuaku dengan membawa orang tuamu. Ingat gak kamu, ha!” teriak Farah.
“Iya, iya. Aku masih ingat semuanya. Tapi aku belum siap, Farah. Ekonomiku masih rumit dan aku belum siap bilang ke mama dan papa. Yang pengertian dong!” bentak Alex.
Detik itu juga langit seakan murka mendengar ucapan Alex. Menghitam pekat dengan hembusan angin yang sangat kencang, hingga membuat mata Farah sulit untuk terbuka.
Jantung berdebar tak menentu dan emosi pun mulai memuncak. Bagaimana tidak? Jika ketulusan dan kesabaran yang Farah berikan dan usahakan, ternyata dibalas dengan dusta dan luka.
“Pengertian katamu!” Bibir gadis ayu itu tersenyum miring.
“Selama ini aku kurang pengertian apa sama kamu, ha? Kamu pikir bersabar dan bertahan dengan sikap egoismu itu mudah? Aku gak minta pesta mewah, kok. Gak ada pesta juga gak papa, yang penting SAH,” ucapnya lagi.
“Tapi aku belum siap, Far. Lagian kamu kenapa sih ngebet banget. Toh kita gak pernah ML kan? Kayak orang hamil duluan aja,” sahut Alex.
Semakin mendengar pembelaannya, hati semakin terasa geram dan bergemuruh. Dan tanpa sadar, tangan Farah melayang ke pipi Alex–menampar berkali-kali, entah berapa kali, dengan diiringi isak tangis yang tak lagi bisa ia bendung.
“Kita ini pacaran udah lama, Lex. Semua orang, bahkan keluargamu pun sudah tahu hubungan kita. Mau dibawa kemana hubungan kita, kalau gak ke pelaminan?” tanya Farah.
Dia menatap tajam Farah dengan kedua matanya yang sedikit sayu, seperti orang Korea. Terpancar dari raut wajahnya dan rahangnya yang menegang, seperti teramat sangat marah dengan Farah, sore ini.
“Lagipula gak ada satupun orang tua di dunia ini yang mau anaknya digantungin. Apalagi aku anak perempuan yang usianya juga sudah dua puluh empat, sudah cukup umur untuk menikah. Apa kata orang nantinya, kalau kita gak nikah-nikah? Lagian sebenarnya pacaran juga gak boleh dalam Islam,” sambung sang gadis.
Perdebatan panas berlangsung cukup lama, hingga hujan deras disertai angin mengguyur kota kelahirannya. Tapi Alex tetap pada pendirian dan keegoisannya untuk tidak mau menepati janjinya.
“Oke, gak papa. Kalau itu keputusan yang kamu pilih dan sudah benar-benar kamu putuskan, maka aku bisa apa? Itu artinya hubungan kita sampai disini aja. Mulai hari ini kita udah gak ada hubungan apa-apa lagi dan aku minta tolong ke kamu, jangan ganggu aku, lupain aku dan jangan hubungin aku lagi,” ujar Farah.
Selama Farah mengenal cinta, dia tidak pernah memutuskan seorang lelaki lebih dulu. Namun kali ini, dengan disaksikan oleh hujan yang deras dan angin yang kencang, di taman kota, Farah telah memutuskan Alex dengan keterpaksaan.
Dia sangat mencintai Alex dan siap menerima segala kekurangannya. Dia tulus mencintai Alex dan siap mendampingi, apapun yang terjadi nantinya. Suka duka akan ia lalui dengannya. Tapi jika ini adalah keputusan yang diambil, maka Farah tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia memang sanggup bersaing dengan wanita manapun dan model apapun. Dia juga sanggup menerjang badai sehebat apapun yang menghalangi hubungannya. Tapi dia tidak mampu memaksa hati Alex untuk tetap bersamanya, jika nyatanya dia tak lagi inginkan dirinya dan tak lagi sejalan.
“Ya udah, terserah kamu. Yang penting bukan aku yang mutusin kamu. Kalau kamu mau putus dari aku, ya terserah. Semoga kamu bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku, yang bisa menikahimu secepatnya. Meskipun aku yakin, nggak akan ada yang bisa tawar sama sikap manja dan egoismu,” jawab Alex.
Alis Farah semakin berkerut, “Apa kamu bilang? Aku egois? Eh, kamu ngaca dulu dong kalau ngomong. Jelas-jelas selama ini kamu yang egois! Bukan ak—”
Ucapannya terputus, lantaran Alex pergi begitu saja, meninggalkan Farah sendirian ditengah hujan yang mengerikan.
“Alex, kamu mau kemana? Tungguin, Lex!” teriak Farah.
Wushh … Sedan merah melaju sangat kencang, tanpa peduli lagi dengan gadis malang itu.
“Manusia gak punya hati! Hidupmu gak bakal bahagia, Lex! Karma itu ada!”