Tidak seperti apa yang telah direncanakan pagi tadi, malam harinya Anjani baru bisa secara rahasia diajak ke sebuah ruangan khusus yang terdapat di bangunan berbeda dengan tempatnya tinggal.
Bila kamarnya berada di barisan paling belakang, maka ruangan kakek yang disebutkan namanya Pandhu tersebut berada di bangunan paling megah. Itu artinya bagian gedung utama dari seluruh bangunan di area kediaman itu. Anjani beberapa kali harus mengingat-ingat sudah berapa kali melewati lorong hanya demi sampai ke tempat yang dituju.
Gadis kecil itu tidak bisa membayangkan apabila sampai tersesat di sana dan tidak pernah bisa kembali ke kamar. Seraya mencengkeram kuat jemari tangan Rusdy yang mengantarnya, Anjani berjalan lebih cepat.
“Kamu takut?” tanya pria berpakaian seragam putih bersih itu menoleh ke arah bawah, melihat gadis cantik yang menggandeng hangat tangannya.
“Hm?” Anjani mendongak, menatap mata teduh pria itu kemudian menggeleng cepat ketika sadar kalau saat ini dia sedang bersamanya dengan laki-laki yang baik. Setidaknya bagaimana pria itu memperlakukannya, sama persis seperti ayahnya, Anjani sudah merasa cukup aman.
“Bagus. Orang yang akan kita temui ini sangat baik. Kamu tidak perlu terlalu cemas,” kata pria itu sedikit menunjukkan tawa kecil. Sungguh, ekspresi saat gigi putihnya terlihat meskipun sekilas cukup membuat Anjani senang.
“Iya,” sahut Anjani pelan.
“Kita sedang berada di area terlarang bagi orang yang tidak berkepentingan. Aku harap kamu hanya ke area ini apabila diminta. Tidak boleh sembarangan masuk tanpa izin, atau kamu akan mendapatkan hukuman,” ucap Rusdy mencoba untuk memperingatkan Anjani agar gadis kecil itu tidak sampai melakukan kesalahan selama tinggal di rumah ini.
Lagi-lagi, tatapan tajam dan tegas itu ditanggapi Anjani dengan anggukan mengerti. Dia tidak mungkin nakal karena itu memang yang diminta ayahnya selama tinggal bersama orang-orang di sini. Anjani kecil sedang berupaya untuk menjaga amanah sang ayah.
Setelah melewati beberapa pintu, akhirnya mereka berdua sampai di depan sebuah ruangan yang tidak berpenjaga. Bisa dipastikan area itu tidak ada pengawal yang terlihat. Sebuah situasi yang menenangkan bagi Anjani kecil.
Diraihnya tangan pria asing yang kini dia percayai saat pintu yang diketuk pelan terbuka dari dalam. Muncul seorang pria setengah tua menyambut dengan senyuman dan mempersilakan masuk.
“Masuk dan duduklah di sana,” ucap pria itu tanpa memberikan kesempatan Rusdy ikut serta. Tentu genggaman tangannya terlepas seketika begitu melihat isyarat anggukan kepala dari pria tua yang patut memang dipanggil kakek tersebut.
“Permisi, Tuan Pandhu, saya undur diri.” Pandhu segera mengangguk pelan dan Rusdy pun segera undur diri, meninggalkan Anjani yang menatapnya polos tanpa bisa mengatakan apa-apa.
“Ayo, kita berbincang-bincang di dalam,” ajak pria itu seraya menarik tangan Anjani agar segera masuk ruangan lalu menutup pintunya rapat.
Pandhu membiarkan Anjani mengamati ruangannya. Beberapa rak tersimpan buku-buku koleksinya pun tidak luput dari perhatian. Alih-alih makanan yang tersaji di meja, gadis itu malah lebih tertarik pada rak tersebut dan dibuktikan dengan rona cerah wajahnya saat menatap bagian itu. Entah kenapa, Pandhu malah sangat menyukai ekspresi itu karena itu berarti mereka satu frekuensi dalam hobi.
“Kamu suka membaca buku?” tanya Pandhu seraya mengajak Anjani untuk berjalan ke area tempatnya membaca.
“Iya, Ibuku sering membacakan dongeng sebelum aku tidur,” jawab Anjani pelan dan terdengar ragu untuk menceritakan tentang kehidupannya.
“Bagus sekali. Mulai malam ini, aku yang akan menggantikan ibumu, membacakan dongeng untukmu,” tukas Pandhu seraya mengelus rambut Anjani yang tergerai indah dan lebat.
“Tapi …. Anjani lebih suka kalau ibuku yang membacakannya,” tolak Anjani dengan suara bergetar menahan tangis.
“Kalau begitu, Anja aja yang belajar membacakan dongeng untuk kakek. Nanti siapa tahu, kalau bertemu dengan ibumu lagi, kamu sudah pandai membaca buku,” rayu Pandhu berhasil mendapatkan antusias dari dua mata bening gadis belia usia lima tahunan itu.
Anjani tidak menjawab, tetapi Pandhu yakin kalau gadis cilik itu akan memikirkan penawarannya.
“Datang saja ke ruangan baca ini, setiap malam begitu kamu tidak ada kegiatan. Aku akan menunggu dan kita akan membuka lebih banyak buku lagi yang masih tersegel.”
Tentu saja gadis itu masih diam, belum berani menjawab iya atau tidak. Pandhu bisa meraba-raba kalau mungkin ada yang membuat anak kecil itu harus memikirkan dulu sebelum mengiyakan.
“Tapi, Pak Rusdy bilang, enggak boleh ke sini tanpa izin,” kata Anjani merasa keberatan.
“Ini akan jadi rahasia kita berdua. Apa aku bisa mengandalkan kamu?” ucap Pandhu dengan senyuman penuh makna.
“Rahasia kita?” Mata Anjani menyipit penuh perhitungan.
“Ya, aku akan menganggap kamu sebagai cucuku. Yah, kamu pastinya tahu, beberapa hari yang lalu ada anak laki-laki yang meninggalkan rumah ini untuk sekolah di Amerika dan itu membuatku kesepian.”
Pandhu menatap setiap gerak-gerik dan ekspresi wajah Anjani begitu dia menceritakan mengenai cucu laki-lakinya. Dia berharap Anjani bisa tersentuh dan mengiyakan ajakannya bertemu setiap malam.
“Aku ingat beberapa hari lalu ….” Mata Anjani yang hitam polos lurus menatap Pandhu. Gadis kecil itu tampak ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Namanya Arjuna. Dia cucu kesayanganku dan aku kesepian setelah dia pergi dari rumah ini,” keluh Pandhu seraya menghela napas panjang.
Anjani segera menundukkan kepala. Dia paham bagaimana rasa rindu bisa menghancurkan hidupnya—seperti yang dirasakannya kini setelah tidak bisa bertemu lagi dengan orang tuanya. Hatinya pun diliputi kesedihan mendalam, dia ingin pulang.
“Apa kamu keberatan kalau menggantikan Arjuna untuk menjadi cucuku sementara dia di luar negeri?” tanya Pandhu berhasil membuat Anjani terkesiap kaget. Mata gadis itu membeliak, bibirnya terkatup rapat, tidak mampu menjawab.
“Ini rahasia kita berdua. Kamu akan memanggil aku kakek karena aku telah menganggap kamu sebagai cucu perempuanku. Yah, kupikir itu yang bisa kulakukan agar aku tidak mati hanya karena merindukan Arjuna.” Pria berusia enam puluhan itu menoleh pada Anjani seraya mengulurkan tangannya, meraih kepala gadis lalu mengusapnya pelan.
Anjani hanya bisa menunduk lagi dengan perasaan gundah dan bingung. Dia sama sekali belum mengerti apa yang dimaksud kakek itu.
“Aku tahu kamu merindukan rumah. Bapak dan ibumu … mereka akan baik-baik saja kalau kamu di sini juga hidup dengan baik. Aku harap kamu bisa mengerti dan menerima keadaan ini.”
“Iya, Tuan,” sahut Anjani mengangguk sambil mengusap air matanya.
“Kita akan saling menghibur. Menikmati malam bersama-sama. Kamu mau ‘kan, menganggap aku sebagai kakekmu?”
“Iya, Tuan. Anjani mau.”
“Panggil aku kakek.” Tangan pria itu terulur untuk merangkul pundak Anjani. Sungguh rasa tidak terbayangkan kini merasuk dalam jiwa Pandhu. Pria itu menghela napas panjang, menahan diri agar tidak sampai terlena oleh perasaan bersalah.
“Hanya kalau kita berdua?” tanya Anjani dengan wajah polosnya.
“Iya, saat kamu berada di ruangan ini, kamu adalah cucuku.” Pandhu pun langsung menunjukkan senyuman tulus.
“Baik, Kek. Anjani akan datang setiap malam setelah menyelesaikan tugas dan kita akan membaca buku dongeng bersama.”
“Tapi, janji, ya. Kamu akan menjaga rahasia kita berdua ini, jangan sampai ada orang yang tahu?” bisik Pandhu segera diberikan anggukkan kepala Anjani, gadis cilik itu pun langsung tersenyum begitu kakek itu menyodorkan sebuah permen untuknya.
“Tuan Pandhu, selamat malam!” Suara panggilan disertai ketukan pintu dari luar membuat Anjani segera mengalihkan perhatiannya pada Pandhu.
“Kamu bisa duduk di ruangan dalam sana. Aku akan menemui tamu sebentar,” ucap Pandhu dengan suara pelan.
“Baik, Kek,” sahut Anjani dengan suara berbisik lalu segera beranjak dari tempat duduk menuju ke ruangan yang terdapat di belakangnya, dipisahkan sekat lemari yang menjulang tinggi.
“Aku harap gadis itu lebih aman ketika tinggal di sini,” batin Pandhu seraya beranjak bangkit untuk membuka pintu.