“Maaf, Anjani tidak berada di dalam tim kami.”
“Lalu?”
“Anjani berada di dalam tim yang bertugas untuk kamar bagian Tuan Pandhu,” jawab pelayan itu menjelaskan.
“Ya, sudah. Pergilah!” usir Juna sambil mengibaskan jemari tangan.
Ia kembali memejamkan kelopak mata, sambil menipiskan bibir. Arjuna menertawai dirinya sendiri. Pikiran pagi-pagi yang sangat konyol. Nama yang langsung tercetus begitu saja tanpa bisa dibendung. Sangat memalukan.
“Anjani! Haish! Sialan, otakku kayaknya butuh penyegaran. Kenapa nama si aneh itu terngiang terus!” rutuk Juna sambil menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal.
Matanya melirik sekilas ke arah pintu kamarnya yang tertutup perlahan dari luar. Rasanya malu kalau sampai ada yang melihatnya berbicara sendiri.
“Namaku Arjuna Kusuma si penakluk wanita. Tidak mungkin otak eksklusif ini sampai menyelipkan nama pelayan di dalamnya. Cih!” geramnya pada diri sendiri.
Akan tetapi, nama Anjani, Anjani, dan Anjani. Tetap saja terngiang, bahkan gerakan luwes, sorot mata keluguan serta penolakan tidak bisa lepas dari ingatan Arjuna. Laki-laki itu geram setengah mati.
“Astaga! Kenapa nama itu begitu mudahnya diingat? Bukan karena aku menyukainya, ‘kan? Shit! Mungkin saja hanya karena tingkahnya terlalu aneh seperti anak kecil,” gumam Arjuna mengacak rambutnya yang kumal sambil mengentak kaki.
Gagal melanjutkan mimpi, Arjuna berdecak kesal. Bahkan pagi-pagi begini sudah diganggu pelayan hingga membuatnya tidak bisa tidur lagi.
Sambil menguap, ia pun bangun lalu segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Terbiasa melakukan semuanya sendirian tanpa pelayanan sudah tentu membuat pria itu cukup mandiri terhadap hidupnya. Sesuatu yang sangat menyenangkan tentu bagi Arjuna secara pribadi.
Ingatannya kembali pada kejadian semalam. Gadis polos itu? Ingin sekali dirinya tertawa. Sungguh sajian pemandangan yang menggelitik hati.
“Usianya sudah dua puluh tahun. Bagaimana bisa berpikirannya masih seperti bocah?” gumamnya heran, mengomentari tingkah laku Anjani.
Arjuna segera berdiri di depan wastafel, meraih sikat untuk memberikan pasta gigi seperlunya, kemudian menggosok area dalam mulutnya dengan pelan seraya menatap ke arah cermin.
Kini pikirannya berkelana, mengingat obrolannya bersama pelayan itu semalam.
Malam itu Arjuna kembali mendekat ke arah Anjani, ucapan gadis itu mengenai ‘pura-pura menyebalkan’ sangat mengusik.
Siapa memangnya gadis itu hingga berani seenaknya menebak seperti apa dirinya selama ini?
Ingin sekali Juna memberi peringatan kepada pelayan sok tahu itu agar lain kali tidak sembarangan lagi dalam menebak bagaimana sesungguhnya hidupnya.
“Anda mau apa lagi, Tuan?” tanya Anjani menahan dada Arjuna. Embusan napas pria itu terasa mendera wajah Anjani hingga membuatnya tersudut.
“Aku mungkin benar-benar akan menciummu.” Seringai tipis tampak terukir dari bibir Juna.
Anjani kembali tergelak lirih sambil menutup mulutnya dengan jemari tangan. Kening Arjuna sukses berkerut heran dengan tanggapan seperti itu.
Dua kali gadis itu menertawai niatnya untuk mencium? Astaga! Arjuna mengacak rambut, menggeram kesal.
Setiap bersama wanita, ia sudah biasa melakukannya. Melihat reaksi biasa Anjani terhadap ketertarikannya, membuat Arjuna tidak habis pikir. Wanita ini pasti tidak normal.
Ya, dia membuat sebuah kesimpulan ekstrim terhadap orientasi Anjani terhadap lawan jenis.
Kemudian, gadis itu melontarkan sebuah kalimat yang membuatnya tercengang.
“Apa Anda menyukai saya, Tuan?” tanya gadis itu dengan sorot mata polos membuat Juna berdecak tidak percaya saat mendengarnya.
Arjuna segera melepaskan gadis itu dan beralih duduk di sofa kamar itu lagi. Menggeleng, menatap sesekali gadis lugu di hadapannya yang terlihat sangat santai setelah menanyakan atau lebih tepatnya membuat kesimpulan yang sangat primitif bagi Arjuna.
“Tck! Siapa yang bilang kalau mencium berarti menyukai?!” Juna berdecak, tersenyum remeh karena merasa itu ucapan paling konyol yang didengarnya seumur hidup.
“Dari buku yang saya baca.”
Lagi-lagi Juna tertawa. Ia segera merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa sambil mengusap dagu, menahan perasaan geli yang berkecamuk.
“Umurmu berapa? Konyol sekali pikiranmu. Haiss … kuno!” Juna mengumpati kepolosan Anjani.
“Usia saya dua puluh tahun. Memang seperti itu yang saya pahami selama ini. Hanya orang yang saling mencintai yang boleh berciuman. Itu pun setelah resmi menikah.”
Anjani tidak lagi mengacuhkan tuan muda itu. Kembali gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat interior kamar yang terlihat sangat indah, sayangnya kosong tidak berpenghuni.
Juna memandang dengan tatapan bertanya-tanya. Kenapa ada gadis yang berada satu ruangan tetapi masih bisa bersikap selugu itu? Semua pelayan di rumah tahu, sepak terjangnya sebagai pria play boy seharusnya bisa membuat cukup gelisah atau malah tergoda.
“Berciuman harus menikah dulu?” batinnya mencibir.
Huh! Juna menepuk permukaan sofa dengan kekesalan.
“Buku apa yang kamu baca?” tanya Juna iseng mencoba mengajak bicara. Rasa penasaran kini malah begitu membara di benaknya.
Siapa sebenarnya pelayan yang satu ini. Kenapa memanggil kakeknya dengan sebutan yang sama dengannya. Apa hubungan mereka berdua sedekat itu? Kenapa pikirannya bisa begitu sederhana? Batinnya mulai menerka.
“Dia bukan simpanan kakek, ‘kan?” batinnya menarik sebuah asumsi.
Arjuna segera mengenyahkan pikiran kotor itu. Mana mungkin Anjani mau dengan kakek tua keriput yang tinggal menunggu waktu dijemput malaikat maut.
“Seratus satu cara berkencan. Bagaimana cara menjaga batas kesucian tindakan dan pikiran saat berhubungan dengan lawan jenis. Pacaran Sehat. Sudah lama, sih. Saya sedikit lupa judul bukunya,” jawab Anjani sambil berjalan lagi mengelilingi ruangan.
“Saya lebih suka membaca artikel tentang destinasi wisata di majalah dan koran, Tuan,” tambahnya lagi.
Arjuna menatap heran pelayan itu. Buku macam apa yang dibacanya, Artikel, Koran? Astaga! Apa sebenarnya pekerjaan pelayan itu di rumahnya?
Pria itu menggeleng samar, menyadari bahwa ia sendiri bahkan lupa kapan terakhir membuka buku.
“Apa kamu pernah berkencan?” Juna kemudian bangkit, mengabaikan apa yang ada dipikirannya, ikut berjalan menyejajari langkah Anjani.
Tidak penting juga siapa Anjani. Ia hanya tertarik pada tingkah aneh yang secara alami ditampilkan gadis muda itu, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak dibuat-buat, apa adanya.
“Belum. Kenapa?” Anjani bertanya sambil berhenti berjalan, fokus menatap lukisan yang menarik perhatiannya.
“Apa salah satu buku favoritmu?” tanya Arjuna masih betah menatap dengan intens gadis yang terlihat berekspresi mengenaskan saat menatap setiap barang yang ada di ruangan itu.
“Buku dongeng,” jawab Anjani sembari balas menatap Juna sambil tersenyum. Sontak Juna tertawa terpingkal-pingkal mendapatkan jawaban konyol itu lagi.
“Memangnya kamu anak kecil. Dasar!” hardiknya tidak percaya.
Suguhan apa ini, oh Tuhan. Kakek Pandhu, berasal dari planet mana pelayanmu ini? Juna memalingkan wajah demi bisa menghentikan ledakan tawanya.
Anjani mengembuskan napas, memandang Arjuna yang terus saja menertawai. Aneh baginya, kenapa hanya karena membaca buku dongeng Arjuna sampai merasa bahwa itu sesuatu yang harus diremehkan dan ditertawakan.
“Saya sangat penasaran dengan keadaan di luar sana, Tuan. Apakah indah seperti cerita di negeri dongeng?” Anjani tersenyum tipis. Mengerjapkan matanya yang indah secara alami saat melihat ekspresi tuan muda itu malah berubah sendu.
Tawa Arjuna lenyap seketika. Sesaat dentuman perasaannya berubah nyeri dan dia pun mulai merutuki dirinya sendiri. Dulu saat berusia sembilan tahun, ia juga membayangkan hal yang sama seperti Anjani. Merasa sangat penasaran dengan dunia luar seperti apa.
Membaca buku dongeng, membaca kisah perjalanan seorang Urban Adventurer, kisah petualangan, Travelers, aneka jenis buku, majalah yang memuat berbagai artikel tentang keindahan negara-negara di eropa yang eksotis di perpustakaan kakeknya. Sama persis seperti yang dilakukan oleh gadis di hadapannya ini.
Mendadak ia merasa sangat beruntung, karena kini ia sudah memiliki seseorang yang juga merasakan kegundahan hati yang sama.
“Tuan, tidak apa-apa?” tanya Anjani bingung saat menyadari pria itu berubah murung.
“Baiklah, ini sudah malam. Aku akan mengantarmu kembali ke rumah belakang. Jangan lupa besok temui aku di sini lagi, ya,” tukas Juna cepat sambil menarik tangan Anjani mengajak keluar kamar.
“Sudah saya bilang, tidak bisa, Tuan. Saya tidak berani. Saya mohon maaf,” tolak Anjani sopan segera menarik kembali tangannya hingga membuat Juna berhenti melangkah.
“Kenapa? Kamu takut ketahuan?” Arjuna bertanya dengan suara sedikit kesal. Permintaannya kembali ditolak seorang pelayan.
Bersambung…
‘Kita selalu terlibat dalam pertemuan tidak disengaja, membuatku penasaran dengan sosokmu. Kau menarik perhatianku.’
(Arjuna Kusuma)