”Baiklah, Anjani. Aku beri kamu tugas untuk mengurus cucu nakalku ini. Ingat, jangan sampai dia melakukan hal yang melanggar aturan selama berada di rumah ini. Catat apa saja yang dilakukan pria ini dan serahkan padaku laporannya. Mengerti?“ tegas Pandhu seraya menatap serius ke arah Anjani yang semakin menampakan wajah pias penuh penolakan.
Anjani tidak menyangka nasibnya tiba-tiba menjadi seperti ini. Benar apa yang dikatakan para pelayan, tuan muda satu itu sangat susah ditebak. Kelakuannya juga menyebalkan.
”Oya. Aku juga ingin pelayan yang melayaniku dibebas tugaskan semua. Aku hanya mau dilayani oleh Anjani saja.“ Arjuna segera bangkit dari kursi sambil menundukkan tubuhnya agar menyamai tinggi badan Anjani. ”Ikut aku sekarang!” Pria itu melangkah pergi dengan senandung merdu, menyanyikan lagu barat favoritnya.
Anjani menarik napas dalam seraya menatap Pandhu dengan sorot mata protes. Ingin sekali ia menolak, tetapi posisinya di rumah itu bahkan bukan siapa-siapa.
“Kenapa Kakek mengizinkan?” tanya Anjani sambil memasang muka cemberut dan lesu. Mendesah sedih karena tidak mengerti jalan pikiran pria yang sudah dianggap kakeknya itu dengan memberi tugas seberat itu padanya.
Kini gadis itu beralih membereskan meja dan memungut cangkir teh yang sudah diminum Juna.
Rekan satu timnya segera membantu pekerjaan Anjani setelah hanya bisa memandang prihatin nasib temannya.
“Karena aku tahu kamu juga butuh teman ngobrol seperti dirinya. Kalian mirip, punya jiwa penasaran yang tinggi untuk berbagi cerita. Ingat dia itu cucu kesayangan Kakek. Cukup menyenangkan untuk dijadikan teman mengobrol,” jelas Pandhu seraya menepuk pundak Anjani.
Rekan satu timnya yang lain hanya bisa menatap pasrah pada nasib Anjani selanjutnya.
“Baik, Kek,” jawab Anjani menurut.
“Pergilah ke kamar Juna sekarang. Dia pasti sudah tidak sabar menunggumu!” perintah Pandhu segera diberi anggukan Anjani dengan wajah lesu.
“Abaikan saja kalau pria itu mulai merancu tidak jelas. Kalau perlu anggap saja hantu tidak terlihat, kalau tingkahnya mulai menyebalkan,” ucap Pandhu sukses membuat semua orang di kamar itu terbahak.
Sepanjang perjalanan ke kamar Arjuna, sebenarnya hati Anjani cukup resah. Sesekali ia menyapa beberapa rekan pelayanan yang berpapasan dengannya, saling melempar senyuman.
Melayani tuan Arjuna tidak pernah menjadi cita-cita pelayan di kediaman ini. Kalau bisa mereka memanjatkan doa agar luput dari pelayan yang khusus dipilih pak Rusdi.
Harus kebal menerima umpatan, sikap ketus, suara keras membentak, dan pesona.
Semua pegawai yang melayani Arjuna hanya diberikan kepada pelayan yang membencinya, agar aman dari jeratan pesona tuan muda satu itu.
Lalu, bagaimana dengan Anjani? Bahkan rekannya merasa kriteria itu jauh sekali dari karakter yang dimiliki gadis itu.
Anjani berhenti melangkah saat menatap papan nama yang terpasang di atas pintu. Nama Arjuna Kusuma terpampang jelas menandakan siapa pemiliknya.
Ia kepalkan sejenak jemarinya sebelum mengetuk pintu berwarna cokelat tua dengan gagang kuning keemasan di hadapannya. Menguatkan diri dengan mengingat apa saja nasihat yang diberikan teman-temannya saat dirinya akan datang ke kamar ini.
“Abaikan tingkah menyebalkan tuan Arjuna, jangan pikirkan dan masukkan ke dalam hati bila dibentak. Yang paling penting anggap saja dia hantu, fokus saja bekerja dan semua akan baik-baik saja.” Ucapan Disa terekam jelas dalam ingatan.
“Baiklah, saatnya bekerja,” gumam Anjani mengembuskan napas.
Anjani kemudian mengetuk dengan pelan sebanyak tiga kali. Gadis itu lalu membuka pintu kamar Juna tanpa menunggu sahutan dari dalam. Terlihat saat ini juna sedang berbaring tengkurap sambil memainkan game di ponsel.
Pria berusia dua puluh lima tahun itu segera menoleh, menatap sekilas Anjani, lalu kembali pada aktivitasnya seperti tidak peduli dengan kehadiran gadis itu.
“Tuan sudah mandi? Sarapan sudah siap di meja makan keluarga. Apakah harus saya bawa ke kamar kalau Anda mau?”
Anjani mencoba bersikap biasa, profesional tanpa canggung. Gadis itu segera membuka tirai korden serta jendela karena kamar Arjuna terasa pengap akibat asap rokok dan bau seperti alkohol.
Arjuna masih memainkan ponsel, tidak menyahut sama sekali.
“Apa Anda merokok di dalam kamar, Tuan? Anda melanggar peraturan nomer enam belas A. Dan juga sepertinya saya mencium bau alkohol? Berarti Anda juga melanggar aturan nomer delapan belas A.”
Anjani masih berbicara sendiri sambil membersihkan putung rokok yang berserakan di meja kamar. Tidak peduli Arjuna mendengar atau tidak, tugasnya hanya itu.
“Aku melakukannya karena semalam tidak bisa tidur.” Akhirnya Arjuna menjawab sambil memiringkan tubuh, menatap aktivitas Anjani di dalam kamarnya.
“Kenapa? Harusnya Anda memanggil pelayan, Tuan,” sahut Anjani masih fokus membersihkan meja dan memasukkan sampah yang berserak ke dalam plastik yang dibawanya.
“Memangnya apa yang bisa pelayan lakukan, kalau aku tidak bisa tidur di malam hari?” tanya Arjuna masih menatap punggung gadis itu.
“Mereka bisa membuatkan Anda susu. Susu bisa membantu kita untuk tidur lebih nyenyak,” jawab Anjani masih sibuk bekerja, berbicara tanpa menoleh sama sekali ke arah cucu kedua tuan Pandhu itu.
“Aku tidak bisa tidur karena memang ingin minum susu,” sahut Arjuna sambil menyeringai, menertawai maksud ucapannya sendiri.
“Baiklah, nanti malam sebelum Anda tidur, saya akan membuatkan susu hangat untuk Anda,” jawab gadis itu dengan suara datar, sambil berjalan menuju ruang ganti dalam kamar mandi untuk mempersiapkan pakaian dan air hangat untuk Juna.
“Tck! Dasar gadis polos. Bukan susu itu yang aku maksud!”
Juna menggeram dalam hati sambil membanting ponsel ke kasur. Mengacak rambutnya hingga tidak beraturan. Menyeret langkah kakinya menuju kamar mandi.
“Silakan, Tuan. Air hangat dan baju Anda sudah siap. Saya akan menunggu di luar.”
”Eits … kenapa keluar? Kamu tidak membantuku membersihkan diri?“ ucapnya dengan senyuman penuh arti.
”Maaf, Tuan. Peraturan di rumah ini dengan tegas mengatakan, hanya pelayan yang sudah menikah dan berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang boleh membantu Tuan Muda untuk mandi.“ Anjani menatap dengan wajah datar tanpa beban.
Juna hanya bisa mengembus napas.
”Sejak kapan peraturan konyol itu ada? Tujuh puluh tahun kamu bilang!“ rutuknya sambil membuka kaus.
”Sejak dulu kala, Tuan,“ jawab Anjani santai seraya memberi senyuman dan menutup pintu kamar mandi dengan pelan.
Rencana Arjuna mengerjai Anjani gagal total. Pria itu memukul air di bak mandi hingga muncrat mengenai wajahnya sendiri.
“Haisht!”
Pria itu segera membersihkan diri, setelah selesai ia meraih dan memakai celananya di dalam sana. Membawa serta handuk ke luar kamar mandi untuk mengeringkan rambut.
Begitu kembali membuka pintu menuju kamar, dilihatnya sarapan sudah siap tersaji di atas meja.
”Keringkan rambutku!“ perintah Juna melihat Anjani duduk termangu di kursi kamarnya.
Arjuna segera melemparkan handuk dan ditangkap Anjani dengan cepat. Juna langsung duduk di kursi yang berada di depan meja rias disusul Anjani berdiri di belakangnya. Dengan telaten dan hati-hati gadis itu mengusap rambut basah Arjuna dengan handuk.
Anjani merasa heran, kenapa tuan muda ini mewarnai rambutnya seperti jagung yang berada di perkebunan, juga memakai anting seperti wanita. Penampilan yang sangat tidak biasa baginya.
Banyak hal yang ada pada diri Arjuna membuat Anjani merasa laki-laki ini manusia aneh dari semua orang yang ditemuinya selama ini. Tidak menunjukkan kerapian sama sekali.
”Berapa lama kamu bekerja di sini?“ tanya Arjuna sambil menatapnya Anjani yang masih berdiri tepat di belakang punggungnya lewat pantulan cermin.
Wajahnya tampak fokus, telaten, dan serius. Ini kali pertama ia memperbolehkan seorang wanita menyentuh bagian kepalanya.
Wanita ini lain, ia merasakan sesuatu yang membawa efek nyaman sekaligus haru. Sebuah sentuhan lembut penuh kasih yang tidak pernah dirasakannya dari sosok sang ibu.
Arjuna lupa bahwa ia masih memiliki seorang ibu. Rasanya ia tidak pernah menghabiskan waktu berdua dengan wanita yang melahirkannya itu.
“Anja?” panggilnya dengan suara lebih manusiawi.
“Iya, Tuan?” sahut Anjani tergagap. Tersadar tuan muda ternyata sedari tadi menatap dirinya yang bekerja terlalu fokus.
“Berapa lama kamu kerja di sini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” ulangnya.
“Kenapa, Tuan?”
“Hanya ingin tahu,” jawabnya pelan.
”Ehm … saya tinggal di rumah ini sudah sekitar lima belas tahun, Tuan.“ Anjani menjawab dengan enteng.
Seketika Juna memutar tubuh, menghadap ke arah Anjani yang langsung terkesiap saat beradu pandang dengannya.
Anjani sampai mundur satu langkah untuk memberi jarak agar tidak terlalu dekat.
”Serius kamu?!“ pekik Arjuna merasa terkejut dengan apa yang didengarnya. Ia mendongak, memandang tidak percaya pelayan di hadapannya yang malah menguatkan jawaban dengan tersenyum sambil mengangguk.
Bersambung…
‘Ke mana saja aku, hingga sosokmu yang begitu indah luput dari pengamatanku?’ (Arjuna Kusuma)