Safitri sekuat tenaga menjaga agar anaknya tidak jatuh ataupun tertimpa tubuhnya, ia bergerak perlahan merosot bertahan pada akar dan batang sebuah pohon besar sebagai penahan punggungnya.
“Tuhanku, turunkan malaikatmu. Di mana orang itu kelak akan mempertemukan anakku dengan ayahnya dengan segala cara dan keajaiban darimu,” ucap Safitri di sela tangisan akibat rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Tenaganya semakin lemas karena darah segar yang terus mengucur dari luka di tubuhnya.
Safitri menahan napas saat mendengar gemercik suara jejak kaki yang mengenai dedaunan dan bergerak cepat ke arahnya, perasaannya menjadi ketakutan dan cemas.
Safitri mencoba menyembunyikan diri. Apalagi saat bayinya tiba-tiba menggeliat terbangun, dengan cepat pula ia menepuk punggung bayi itu agar tidak sampai terbangun dan menangis. Jantungnya berdetak lebih kencang karena merasa dirinya akan ketahuan.
“Ya, Tuhan. Jangan biarkan mereka menemukan kami. Jangan biarkan mereka membunuh anak tidak berdosa ini, ya, Tuhan,” batin Safitri mengurai doa.
Safitri meringkuk mendekap erat bayinya.
“Aku yakin tadi melihatnya tertembak,” ucap salah seorang pria membuat Safitri memejamkan mata, berharap tidak tertangkap.
”Darahnya mengalir bersama aliran air hujan ke berbagai arah. Sial! Kita kehilangan jejaknya,” timpal yang lain sambil berjongkok menatap darah yang meresap bersama dedaunan dan aliran air.
“Aku yakin, dia pasti tidak selamat. Ayo, kita pergi saja dari sini dan membuat laporan,” ucap salah seorang dari mereka mengajak rekannya pergi dari sana.
Safitri bernapas lega saat orang yang mengejarnya terlihat pergi setelah kehilangan jejak keberadaannya. Dia meringkuk bersembunyi di balik pohon besar dan mereka hanya melewatinya begitu saja. Sambil meringis Safitri menatap bayinya yang tampak kedinginan.
”Bertahanlah, Nak. Tuhan akan menjagamu. Ibu … ibu … ah,” rintih Safitri menahan sakit hingga tubuhnya semakin terasa lemah dan menggigil hebat.
Beberapa menit pun berlalu, seorang pria berusia lima puluh tahunan tampak lewat. Pria paruh baya itu baru saja pulang dari mengambil sekaligus memasang jala ikan yang berada di sungai tidak jauh dari tempatnya berada saat ini. Dengan suara lemah Safitri memanggil.
“Pak, tolong saya,” ucap Safitri lemah. “Pak ….” panggil Safitri lagi. Dia berharap pria itu mendengar suaranya.
Pria yang mendengar suara Safitri segera mengedarkan pandangan, menoleh ke sekeliling mencari asal suara wanita yang memanggil.
“Tolong saya, Pak,” rintih Safitri memanggil lagi.
Orang tua itu segera mengarahkan nyala senter yang dibawanya ke sebuah pohon di mana terdengar suara memanggil lagi. Ia membelalakkan matanya, terkejut saat melihat seorang wanita sedang meringkuk bersimbah darah dan menggendong bayi dalam pelukan. Tanpa pikir panjang dia segera berlari kecil menghampiri Safitri.
“Anda tidak apa-apa?” tanya orang itu segera mendekat dan menyentuh jemari Safitri yang menekan kuat perutnya. “Anda terluka parah, bagaimana bisa Anda bisa terluka dan berada di sini?” resahnya dengan wajah cemas. Dia menatap keadaan Safitri dengan bingung.
Pria itu menoleh ke segala arah, tampak sepi tidak ada orang sama sekali untuk dia mintai pertolongan. Dia hanya menduga wanita ini korban penculikan.
“Tolong … tolong … bawa anak ini, tolong Anda selamatkan anak saya,” pinta Safitri dengan napas terengah, tangannya menekan terus perut sampingnya yang terus mengeluarkan darah. Ia yakin bahwa hidupnya mungkin saja akan segera berakhir. Dia sudah merasa tidak kuat lagi untuk menyangga anaknya, dia merasa sudah lemas.
“T-tapi, Anda harus segera dibawa ke rumah sakit,” ucap laki-laki itu masih gelisah melihat keadaan wanita muda yang tidak dia kenal itu.
Pria itu meraih pundak Safitri dan memperbaiki posisi wanita itu yang hampir merosot. Menatap bayi dalam selimut yang masih mulai menggeliat terbangun dari tidurnya.
“Tolong, Anda rawat anak saya. Tuhan pasti akan membalas kebaikan Bapak,” ucap Safitri lagi dengan menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang semakin menggigit area tembakan, dirinya merasa lemas.
Safitri dengan tangan gemetar menyerahkan bayinya kepada seorang pria yang tampak ikut gemetar juga saat menerima dan menempatkan bayi mungil yang kini malah menangis kencang itu dalam dekapannya.
“T-tapi, Nona?” ucap pria itu ragu-ragu menatap wanita tidak dia kenal yang kini tengah menunduk memegangi perutnya yang semakin banyak mengucurkan banyak darah.
“Ss-saya … berharap Anda bersedia menjaga putri saya,” ucap Safitri berlinang air mata, bibirnya bergetar dan meringis menahan kesakitan di seluruh tubuhnya.
“Nona … nona tidak apa-apa, ‘kan? Nona!” teriak pria itu sangat gelisah menatap wanita itu lemas dan semakin tidak berdaya tepat di hadapannya.
“Nona … ayo kita pergi. Anda harus kuat, Nona. Nona! Saya akan berusaha mencarikan pertolongan,” teriak pria itu lagi sambil berurai air mata.
“Tolong! Ada orang di sana! Tolong! Ada wanita sedang terluka parah!” teriaknya memutar pandangannya ke segala arah berusaha mencari pertolongan.
Karena merasa terusik bayi itu akhirnya menangis, dengan panik pula pria itu mencoba menenangkan bayi dengan menggoyangkan tangannya juga menepuk pelan punggungnya agar kembali tenang.
Pria itu segera menggendong bayi mungil itu sampai mulai tenang kembali, mencoba meraih pundak Safitri dengan tangan satunya. Dia menggoyangkan tubuh wanita muda itu pelan.
“Bertahanlah, bertahanlah, Nak,” ucapnya sedih dengan kondisi wanita itu yang memprihatinkan.
“Nona! Apa Anda di sana?” teriak seseorang dari arah jauh dan berlari mendekatinya karena melihat cahaya dari senternya yang masih menyala.
Pria paruh baya itu menoleh ke arah belakang di mana ada seorang pria berlari ke arahnya. Dia menjadi bingung antara kabur atau tetap berada di tempatnya. Dia takut pria yang datang itu berniat jahat dan mengambil bayi perempuan malang itu.
“Nona … tolong bangun. Nona … maafkan saya terlambat datang,” sesal pengawal bernama Joni itu segera duduk berjongkok memeriksa keadaan Nona mudanya. Dia mendongak, memandang pria paruh baya yang sedang menggendong Anjani dengan mata merah dan wajah gelisah.
“Dia terluka parah,” ucap pria paruh baya itu sedih.
Joni sangat terpukul saat melihat rekannya saat ini sudah meninggal, dan kini apa yang ada di hadapannya semakin membuatnya merasa gagal dan ingin sekali menghajar diri sendiri. Tugasnya telah gagal dia emban.
“Joni … aku … senang kamu datang,” lirih Safitri berucap dengan napas mulai tersengal, sekuat tenaga ia mencoba untuk bicara kepada pengawalnya.
“Nona.”
Joni segera meraih pipi Safitri dan memandangnya dengan menahan tangis. Wajah pucat dan mata terpejam sudah pasti nona muda ini sedang berada dalam masa kritis. Joni semakin limbung.
“Joni, pergilah bawa Ratih … j-jangan sampai mereka menemukan kalian berdua. Bawa dia … b-bawa bayi untukku. Aku mohon, rawat dia untukku,” ucap Safitri itu disela-sela isak tangis yang lemah.
“Tidak! Saya akan membawa Anda dari sini,” teguh pria itu meraih tubuh lemah nona muda bernama Safitri itu dengan susah payah.
“Hentikan … ini perintahku yang terakhir, bawa dia pergi. Tolong, aku mohon … tinggalkan aku, atau kita bertiga akan mati semua di sini,” perintah Safitri dengan nada lemah, tetapi mendesak.
“Nona, ayo kita pergi,” ajak Joni segera meraih tubuh Safitri dan berniat menggendongnya, ingin sekali dia melarikan tubuh lemah ini ke rumah sakit dan menyelamatkan nyawanya.
”Sudahlah … Joni. Aku tidak kuat lagi.”
Safitri berusaha bersikap tegas dengan suara lemah, ia berusaha menatap mata pengawal dan bayi mungilnya sambil berusaha tetap tersenyum, sampai akhirnya dia menutup mata perlahan dan terkulai lemas di dekapan pengawalnya.
“Nona! Nona … Anda tidak boleh pergi dengan cara begini … bagaimana cara saya menjelaskan kepada tuan besar?” sesal pilu Joni dengan wajah tertunduk. Safitri sudah pergi, ia meninggal dunia dengan cara yang tragis.
Hujan gerimis mulai menjadi deras, tetesan airnya terhalang daun-daun pepohonan besar membuat mereka sedikit terlindung. Joni menatap pria paruh baya itu setelah beberapa saat terguncang, ia akhirnya bisa menenangkan diri dan bisa kembali berpikir jernih.
“Akan saya urus jasad majikan saya, tolong jaga anak ini untuk saya. Jaga dia hingga saya datang ke rumah Anda untuk menjemputnya kembali, saya mohon,” ucap pria tegap itu menatap pria yang masih dengan wajah bingung bercampur cemas dengan serius.
“Namanya Ratih Anjani,” ungkap pengawal itu memandang penuh harap.
Joni merebahkan tubuh Safitri kembali, ia segera berdiri dan meraih bayi itu dan mengelus pipinya dengan sentuhan sayang.
Joni menahan dirinya yang terasa sesak, menahan agar tidak terlihat lemah. Menatap nona muda baik hati yang kini sudah tidak bernyawa, juga menatap bayi mungil tidak berdosa yang sudah kehilangan ibunya.
“T-tapi, bayi ini ….” Pria itu merasa bingung sendiri.
”Rahasiakan keberadaannya, atau dia akan mendapat nasib serupa seperti ibunya,“ terang Joni membuat pria itu memandang sendu bayi di dekapannya. ”Tolong ubah namanya agar keselamatan bayi ini lebih terjamin,“ pintanya lagi.
”Baiklah, saya akan merawatnya selama Anda belum menjemputnya,” jawab pria itu kemudian setelah diam berpikir. “Soal nama, jangan cemas saya akan ubah sedikit agar tidak kentara.”
Joni merasa lega dengan jawaban pria di hadapannya ini. Setidaknya dia bisa pergi ke kediaman Tuan Besar dan melaporkan tragedi yang menimpa Safitri.
Nama Saya Joni Diasta,” ucap Joni kepada pria itu. “Gunakan ini untuk mencukupi kebutuhan bayi ini selama saya belum datang menjemputnya,” tambah Joni sambil memberikan sebuah kartu kepada Romi.
“Saya Romi. Rumah saya berada di desa seberang sana, carilah saya. Semua orang desa mengenal saya,” ungkapnya sambil menunjuk pada sebuah desa dengan lampu berpendar terlihat dari tempat mereka berdiri.
Romi menerima kartu itu dengan pandangan bingung, beberapa kali ia membolak-balik kartu di tangannya.
“Ada sejumlah uang di dalam kartu itu, kamu bisa menarik uang di mesin ATM dengan kode password 969887,” terang Joni kepada Romi.
“B-baiklah,” jawab Romi masih memandang bingung.
Joni merasa yakin, bayi itu berada di tangan orang yang tepat.
“Ratih, kamu ikut sebentar bersama Pak Romi ya, Nanti Paman Joni akan menjemputmu pulang saat keadaan sudah memungkinkan,” pesan Joni sambil menatap bayi tidak berdosa itu dengan wajah sendu.