Anjani menangis sesenggukan di kursi. Ia merasa ketakutan kepada pria yang membawanya ke sebuah tempat yang sangat asing. Mata polosnya memandang beberapa pria lain yang berpenampilan aneh, kini malah sedang berjalan mendekat ke arahnya. Sambil menutup mata dia melengos menghindari tatapan mata itu.
“Bocah cilik, kamu makan dulu. Nanti kalau kamu sampai pingsan, akan kulempar kamu ke sungai di bawah itu, kamu ngerti,” ancam pria itu sambil memicingkan matanya ke arah Anjani.
Anjani beringsut menempelkan tubuhnya pada sandaran kursi, matanya membelalak dengan bibir gemetar saat melihat wajah pria yang mendekatkan wajah ke arahnya dengan suara desisan menakutkan dari bibirnya. Dengan cepat Anjani kembali memejamkan mata serta mengangguk menurut untuk makan.
”Jangan cengeng!” bentak pria itu sambil mengibas tangan seperti hendak memukul Anjani.
“Ampun,” resah Anjani menutupi wajahnya dengan jemari tangannya seraya menunduk ketakutan.
Pria berambut kusut itu segera menertawai Anjani sambil berlalu meninggalkannya. Ia merasa pasti gadis itu akan menurut dan bersedia makan karena takut pada ancamannya. Pria itu segera menemui bosnya untuk melaporkan hasil buruan.
Pria itu memandang penuh keangkuhan saat melewati beberapa pengamen yang sedang makan bersama di bawah tiang-tiang jembatan. Ya, mereka memang memilih sebuah bangunan di bawah kolong jembatan sebagai basecamp. Tempat menampung anak-anak tuna wisma dan menjadikan mereka semua pengemis jalanan sekaligus penghasil uang bila layak untuk dijual.
Meskipun demikian, tempat tinggal bosnya terlihat lebih nyaman, masih berada di area yang sama, tetapi bangunannya jelas tampak seperti rumah. Pria itu berjalan memasuki ruang di mana bosnya terlihat baru saja selesai menelepon seseorang.
”Kamu membawa anaknya Romi ke sini?” tanya bos itu masih duduk di kursi seraya melirik ke arah anak buahnya yang baru saja memasuki ruangannya.
“Benar, Tuan. Saya membawanya setelah lima tahun dia bersembunyi dari kita,” jawab anak buah itu merasa percaya diri.
Bos besar berwajah bulat, berkulit coklat dan bermata lebar itu segera tertawa sambil memberikan jempolnya kepada anak buah tersebut. Mau tak mau pria sok keren itu menundukkan kepala, merasa tersanjung dengan bentuk pujian yang diberikan bos besarnya.
”Apa anak itu baik-baik saja?” tanya bos kejam itu sambil berdiri lalu berjalan mendekati pria itu. Dia menepuk pundak itu dengan lembut penuh penghargaan.
“Dia baik. Saat ini anak itu sedang makan, Tuan,” jawab anak buah itu bertambah senang.
Bosnya segera berjalan menjauh untuk mengambil rokok, ia berjalan kembali sambil memberikan satu puntung kepada anak buahnya sekaligus menyalakan pematik juga untuknya.
”Kamu yakin ayahnya akan datang dan akan menebus hutangnya nanti malam?” telisik Bos itu memandang anak buahnya.
“Benar, Tuan,” jawab anak buah itu yakin.
”Baiklah, jaga agar anak itu tetap aman dan nyaman saat berada di sini,“ perintah Bos itu segera menyingkir menjauhi anak buahnya yang kian merasa bangga pada pencapaiannya.
”Baik, Tuan. Akan saya pastikan transaksi itu berjalan lancar,” jawab anak buahnya mulai mundur dan mengangguk.
Bos itu segera mengibaskan tangannya menunjuk agar anak buahnya segera pergi. Dia sedang merencanakan sebuah hal besar malam ini. Dengan banyaknya uang yang akan dia peroleh malam ini, naluri kejamnya terasa menguar.
“Romi, aku penasaran, dari mana kamu mendapatkan uang senilai tiga ratus juta itu? Lagi pula rasanya aneh saat tiba-tiba kamu bisa hidup di lingkungan kota kecil itu dengan keadaan hidupmu yang sangat nyaman. Lalu anak siapa itu? Bukankah anakmu sudah minggat dari rumah,” batin bos rentenir itu menduga-duga.
Ia merasa sangat penasaran dengan kehidupan Romi yang terpantau tidak kekurangan uang. Kabar kematiannya saat terbakarnya rumah tinggalnya membuatnya semakin tidak percaya bahwa dia adalah Romi yang punya hutang kepadanya.
Pria itu mengibaskan jemari tangannya serta membuang semua pikiran itu, yang dia pikirkan harusnya Cuma uang, dan hanya uang saja bukan yang lainnya.
***
Romi pulang dengan wajah lebam karena mendapat beberapa kali pukulan dari para preman. Kalau saja dia tidak dibantu orang-orang yang kebetulan lewat, sudah pasti luka di tubuhnya bisa saja lebih parah dari ini.
Romi melangkah dengan tergesa, mencari istrinya di dapur tapi tidak ada. Pikirannya semakin resah saat tidak melihat Anjani di rumah setelah lelah mencarinya di jalanan. Dalam hati ia ingin sekali menangis.
”Anjani!” panggilnya dengan wajah panik berlari kecil ke arah kamarnya, tetapi sosok putrinya tidak ada. “Anjani!”
Badan Romi lemas dengan lututnya lunglai membentur lantai, tangannya mengepal erat dengan hati bergemuruh antara sedih dan marah.
“Ada apa, Pak. Teriak-teriak di dalam rumah,” komentar Tari memandang aneh suaminya yang sedang memunggunginya menghadap kamar.
”Anjani hilang, Bu,” jawab Romi seketika membuat Tari membelalak mata saking terkejutnya.
“Hilang bagaimana maksud, Bapak?” tanya Tari panik dan segera mendekati Romi. Sambil menangis ia menggoyang pundak suaminya karena butuh penjelasan.
Romi masih terdiam, matanya terpejam. Tubuhnya bergetar menahan tangisan. Putri kesayangannya pasti sudah ditangkap pria jahanam itu. Romi memukul ubin rumahnya dengan kekesalan mendalam.
”Bapak! Anjani di mana? Bapak tidak bisa sembarangan bicara kalau Anjani hilang tanpa penjelasan apa-apa!” teriak Tari dengan suara histeris.
Tari terus saja menggoyang dan memukul punggung dan juga pundak suaminya. Dia ikut menangis pilu.
“Dia … dia ditangkap. Anjani ditangkap preman itu, Bu. Anjani pasti dibawa mereka,” ucap Romi merasa yakin.
Ia memutar tubuhnya menghadap sang istri yang tergugu berurai air mata. Beberapa kali terlihat istrinya memukul ubin juga karena kesal dengan nasib kehilangan anak lagi. Dada Romi mendadak sesak kehabisan napas kesabaran.
”Aku akan menebus anak itu, Bu. Aku janjikan akan membayar utangku senilai tiga ratus juta malam nanti. Aku hanya tidak menyangka kalau … kalau mereka juga membawa Anjani,” rutuk Romi memandang sendu istrinya.
Tari membalas pandang suaminya, ia merasa sangat tersiksa saat harus berhadapan dengan lintah darat lagi. Apalagi ia menyadari bahwa uang sebanyak itu sama saja dengan harapan memeluk bulan. Terlalu berat untuk dipenuhi.
“Aku akan menarik uang dari kartu itu, Bu. Sebanyak yang bisa diambil. Kita hanya mengambil uang itu saat terdesak saja. Aku yakin tabungan sekolah Anjani masih banyak,” ucap Romi berusaha menenangkan hati istrinya.
Tari hanya mengangguk pelan, sudah tidak punya daya untuk berpikir atau sekedar membalas ucapan suaminya. Hatinya terlalu sedih dan khawatir dengan keadaan Anjani saat ini.
Teringat jelas sikap lembut dan menggemaskan gadis cilik yang sudah ia besarkan dengan kasih sayang seperti anak kandungnya sendiri. Mengingat jelas bahwa gadis polos nan manja itu selalu takut sendirian saat tidur di kamar malam-malam. Hati Tari serasa diiris-iris.
”Bu, Anjani mau bobok,” celoteh bibir mungil Anjani dengan tangan halus memeluk tubuh Tari yang sedang mencuci baju di kamar mandi.
“Kamu sudah besar, masa masih minta dikelonin Ibu. Nggak malu sama bapakmu, ya?” seloroh Tari memandang sayang Anjani, mengamati wajah cantik putrinya yang mulai cemberut tanda merajuk dan mengantuk.
”Kenapa harus malu sama bapak? Bapak aja juga kalau malam minta dikelonin sama Ibuk,” protes Anjani membuat Tari terkekeh.
Tari mengusap poni Anjani hingga wajah imutnya semakin terlihat menggemaskan.
“Nanti kalau Anjani sudah besar, janji tidak minta kelonin ibu lagi,” ucap Anjani membuat Tari semakin gemas dengan putri polosnya itu.
Tari segera meninggalkan cuciannya. Ia segera meraih tubuh Anjani dalam pelukannya dan mengarahkan putri kecil berusia lima tahun itu ke arah bak mandi.
”Cuci tangan kaki dan sikat gigimu dulu, Tuan Putri,” goda Tari memberi senyuman manis untuk Anjani, gadis berkulit putih itu segera membalas senyuman.
“Siap, Ibu Peri,” jawab Anjani bersemangat disertai derai tawanya yang riang.
Tari mendesah lirih, mengingat Anjani gadis ciliknya. Dia bergerak lesu dari tempatnya. Walau dirinya sudah mulai tenang dari tangis, tetapi jelas sorot matanya menandakan jiwa yang kosong.
”Aku pergi dulu, Bu. Kalau uang itu tidak cukup, aku akan menghubungi tuan Joni Diasta. Hanya dia yang bisa membantu kita, Bu,” ucap Romi bangkit dari duduknya dan bergegas mencari kartu ATM-nya dan pergi menuju Minimarket terdekat dari rumah.
Romi mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, tidak ada waktu lagi yang ia miliki. Anjani begitu menyita pikiran. Anak itu menjadi korban karena kesalahannya. Romi merasa sangat terpukul.
Romi memilih mengambil uang di mesin ATM dekat Bank. Setelah memarkir kendaraan, ia segera bergegas menuju ke dalam bilik ruangan dan mulai memasukkan kartu. Melakukan penarikan uang beberapa kali di mana jumlahnya tidak sesuai yang dia harapkan. Limit sepuluh juta membuatnya frustrasi.
Romi memukul mesin dengan perasaan kesal. Langkahnya gontai seperti tanpa harapan lagi dalam membebaskan gadis mungilnya. Romi terduduk lemas di kursi.
Pikirannya kembali melayang pada nasib sang putri. Ia merenung, memikirkan bagaimana cara untuk membebaskan Anjani secepatnya. Sambil meraih ponselnya dari dalam saku dan memeluk tas kecil di mana uangnya sepuluh juta berada, ia mencari nama dari kontak yang selama lima tahun ini ia simpan. Ia berharap tuan Joni Diasta memaafkannya dan mau membantu. Romi mendapatkan nomor dari Bidan Hesti yang didatangi Joni Diasta lima tahun yang lalu setelah kebakaran.
“Selamat siang, Pak Romi?” sapa seorang pria dari arah samping Romi.
Romi menoleh cepat saat merasa namanya disebut. Dia segera berdiri dan mengurungkan niatnya untuk menghubungi Joni. Sambil menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku, ia memutar tubuh menghadap pria bertubuh gagah, memakai setelan jas rapi dan berdasi. Tubuh Romi sedikit gentar dalam memandang pria itu.
”Anda siapa?” tanya Romi gelisah, beberapa kali ia harus menelan salivanya dengan susah payah.
“Saya di sini ingin membuat kesepakatan dengan Anda, Pak Romi,” jawab pria itu datar, sikapnya sangat tenang dalam memandang Romi.
”Ke-kesepakatan apa?” tanya Romi mendadak gelisah.