“Halo, Mas? Kamu lagi di mana?”
Daniel segera bangkit dari bangkunya, kemudian menjauh dari Freya. Pria itu saat ini tengah mengangkat panggilan dari ibu Freya, yang tak lain adalah istrinya. “Sebentar ya, Freya. Mama kamu telepon.”
Freya hanya mengangguk dan memandangi isi mangkok bubur yang belum sempat ia santap. Sesekali gadis itu menoleh ke arah ayah tirinya yang saat ini sedang berbincang mesra dengan ibunya.
“Kamu sudah sampai? Ada banyak pekerjaan yang harus kamu urus hari ini?” tanya Daniel pada sang istri.
“Aku sudah sampai sejak tadi. Maaf aku baru memberi kabar. Pekerjaanku baru saja selesai. Sebentar lagi aku akan kembali ke hotel,” ucap Widia. “Mas sudah pulang? Atau sekarang masih ada di kantor?”
Daniel belum memberi kabar pada Widia mengenai kecelakaan yang dialami oleh Freya. Karena tidak ingin membuat istrinya itu cemas, Daniel pun memilih untuk tidak memberitahu Widia saat ini. Setelah Freya sembuh nanti, baru Daniel akan memberitahu istrinya.
“Aku sudah pulang. Lebih baik kamu istirahat saja, kamu pasti lelah. Jangan lupa makan malam!”
“Mas juga. Lebih baik Mas makan di luar saja. Freya sudah besar. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Mas tidak perlu melakukan banyak hal untuk merawat Freya,” ujar Widia.
Daniel melirik sekilas ke arah Freya. Kalau saja Widia tahu bagaimana kondisi Freya saat ini, mungkin saja Widia tidak akan berkata seperti itu pada Daniel.
“Kamu tidak perlu khawatir soal makan malamku. Aku bisa memasak sendiri. Kamu lupa kalau suamimu ini pintar membuat hidangan enak, hmm?” kata Daniel dengan senyum mengembang.
Daniel dan Widia terlihat bahagia sekali saat berbicara bersama di telepon. Daniel terus tersenyum, begitu pula dengan Widia di seberang sana. Tentu saja pemandangan itu membuat Freya iri.
Widia hampir tidak pernah menelepon Freya setiap kali wanita itu pergi berdinas ke luar kota. Widia biasanya hanya mengirimkan beberapa pesan singkat pada Freya untuk sekedar memberitahu putrinya kalau dia baik-baik saja di luar sana.
“Mama sepertinya sangat menyukai suaminya,” gumam Freya. “Melihat pria itu tersenyum begitu bahagia, Mama pasti juga sangat bahagia bisa menikah dengan suami barunya saat ini.”
Sayangnya, Freya tidak pernah menjadi bagian dari kebahagiaan Widia. Widia sudah sibuk dengan kehidupan pernikahannya sendiri, dan membiarkan putrinya yang sudah beranjak dewasa untuk mengurus diri sendiri.
“Padahal baru beberapa jam aku pergi meninggalkan rumah, tapi aku sudah rindu padamu,” ungkap Widia pada sang suami.
“Aku juga rindu padamu, Sayang!” balas Daniel.
Freya makin miris dengan kehidupan yang ia miliki. Ibunya mempunyai suami yang begitu perhatian. Sementara Freya, sekarang hanya memiliki seorang ibu, tapi sayangnya ibu Freya tidak bisa memberikan kasih sayang dan perhatian yang dirindukan oleh Freya sejak lama.
“Aku akan segera pulang! Aku janji akan menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat!” seru Widia tak rela berjauhan lama-lama dengan sang suami.
“Kamu tidak perlu terburu-buru. Aku dan Freya akan baik-baik saja di sini.”
“Tapi aku tidak baik-baik saja, Sayang! Aku merindukan suami tampan ku. Aku kesepian di sini,” rengek Widia dengan manjanya. Wanita itu benar-benar seperti remaja yang sedang kasmaran.
Freya mulai jengah. Gadis itu bangun, dan berusaha meraih gelas minuman yang ada di meja dekat ranjangnya. Karena perban di kakinya, Freya tak bisa bergerak bebas. Bahkan untuk sekedar mengambil minuman saja, dia kesulitan.
Daniel yang melihat Freya, segera menghentikan panggilan telepon dan menghampiri Freya untuk membantu gadis itu. “Ini, Freya! Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, bilang saja pada Papa,” ujar Daniel sembari menyerahkan gelas minuman itu pada Freya.
Daniel menyimpan kembali ponselnya, kemudian meraih mangkok bubur yang belum sempat disantap oleh Freya. Pria itu mengambil sendok dan menyuapkan bubur hangat itu pada sang putri.
“Buka mulutmu!” pinta Daniel, sembari menyodorkan sendok yang berisi bubur itu pada Freya.
“Aku bisa memakannya sendiri. Tolong tinggalkan aku,” tolak Freya dan mengusir Daniel.
“Kamu yakin kamu bisa memakannya sendiri? Mengambil gelas minuman saja kamu kesulitan, kan?” seru Daniel.
Daniel tak ingin mendengar alasan apapun lagi dari Freya. Pria itu memaksa Freya untuk membuka mulut dan menyuapi Freya dengan bubur buatannya.
“Kalau kamu ingin cepat sembuh, kamu harus menurut apa kata Papa!” cetus Daniel.
Freya hanya diam dan menerima semua kebaikan Daniel. meskipun gadis itu sangat ingin menolak, tapi dengan keadaan yang seperti ini, Freya tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
“Maaf, Papa tidak memberitahu mamamu mengenai kecelakaan yang kamu alami. Papa tidak ingin mamamu cemas. Sebagai gantinya, Papa akan merawatmu dengan baik sampai kamu sembuh. Setelah kamu sembuh nanti, kamu bisa ceritakan semuanya pada mamamu,” ujar Daniel.
“Aku juga tidak ingin Mama tahu. Tolong jangan katakan apa pun pada Mama.”
Sebagai seorang anak yang tidak terlalu dekat dengan ibunya, Freya tidak ingin berharap banyak pada Widia. Sekalipun Freya jatuh tersungkur di aspal, Freya tidak yakin ibunya akan langsung pulang demi dirinya. Kemungkinan besar, Widia pasti akan lebih mementingkan pekerjaannya.
“Sekarang kamu bisa beristirahat. Kamu tidak perlu pergi ke kampus sampai kakimu benar-benar sembuh,” seru Daniel.
Mendengar kata kampus membuat Freya hampir saja melupakan sesuatu. Gadis itu sudah berjanji pada teman-temannya akan mengumpulkan laporan pada dosen esok hari. Jika Freya tidak mengumpulkan tugas tersebut, kelompok Freya tidak akan mendapatkan nilai dan Freya yang akan disalahkan.
“Aku hampir saja lupa. Aku belum mengerjakan tugas untuk besok!” batin Freya.
Jika Freya berkata pada teman-temannya mengenai kecelakaan ini, mungkin saja teman-temannya akan menganggap Freya hanya beralasan dan akan semakin marah pada gadis itu. Freya sudah membuat tugas teman-temannya terbengkalai. Gadis itu tidak ingin memperburuk keadaan dengan membuat alasan dan terlambat mengumpulkan tugas lagi.
“Kalau kamu butuh sesuatu, panggil saja Papa. Papa akan berjaga di luar,” ucap Daniel, kemudian keluar dari kamar Freya.
Tepat setelah Daniel keluar dari kamar, Freya langsung mencari tasnya dan mengotak-atik laptop di dalam kamar. Gadis itu nampak bersusah payah meraih buku-buku yang menumpuk di meja belajarnya, dan tetap berusaha mengerjakan tugas dengan baik meskipun kondisi Freya saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Kepala Freya hampir saja pecah, tapi gadis itu masih terus memaksakan diri untuk menyelesaikan tugas. Sesekali Freya memijat kepalanya yang pening dan menutup sejenak laptopnya yang terus memancarkan sinar dan membuat rasa sakit di kepalanya semakin memburuk.
“Ayo, Freya! Kamu harus menyelesaikan tugas ini!” seru Freya mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Mata Freya mulai berkaca-kaca. Gadis itu menangis sembari membolak-balikkan halaman buku catatan yang ada di tangannya.
Kepala gadis itu benar-benar sakit. Freya hampir saja pingsan karena tak mampu lagi menahan sakit yang begitu menyiksa. Tidak hanya sakit kepala saja yang ia rasakan, sekujur tubuhnya juga terasa pegal dan nyeri. Beberapa luka yang di perban bahkan mulai terbuka, karena Freya memaksakan dirinya untuk menggerakkan tangan saat mengoperasikan laptop miliknya.
“Aku tidak kuat lagi,” rengek Freya sembari menangis. Awalnya gadis itu berusaha menahan tangisnya. Namun, lama-kelamaan Freya tidak dapat lagi menahan suara tangisannya.
Gadis itu menangis sesenggukan di dalam kamar. Freya masih tetap menggerakkan jarinya meskipun air mata sudah mengucur deras membasahi buku catatannya.
Daniel yang sedang bersantai di ruang tengah mulai mendengar suara mencurigakan dari dalam kamar Freya. Samar-samar, pria itu mendengar suara tangis yang semakin lama makin kencang.
“Suara siapa itu?” gumam Daniel sembari mencari sumber suara tangisan yang mengusiknya.