Makan malam terasa sangat menyenangkan, dengan hidangan nasi liwet, ayam bakar dan sambal buatan Aika yang lezat, serta dua botol minuman beralkohol untuk pencuci mulutnya. Saat makan malam berakhir, aku bisa merasakan betapa tensi di dalam pondok meninggi. Aku yakin, kami semua tahu ke mana arahnya. Ketiga perempuan itu segera mengajukan diri untuk segala pekerjaan bersih-bersih dan berbenah, sementara Edo kembali menyalakan perapian. Cuaca di siang hari memang terik, tapi saat matahari terbenam, dan angin sepoi-sepoi menyelusup ke dalam pondok, udara berubah cepat menjadi dingin. Ketika Edo bekerja menyalakan perapian, aku memilih untuk merokok di teras depan. Ketika Dario muncul dan bergabung denganku, aku langsung menawarkan rokok padanya. Dengan senang hati dia menerima, merokok bersama sambil menatap ke arah danau. "Hari terbaik dalam bertahun-tahun terakhir," Dario menghela napas. "Aku setuju," balasku. "Aku mau ngaku," ucap Dario pelan. "Aku mungkin bakal berbuat lebih jauh sama Emi, daripada yang dia atau aku rencanain." Aku segera menatap Dario, dengan gestur bertanya. "Aku berharap kamu percaya, kalau sebelumnya aku nggak punya niat apa-apa sama dia,” Dario melanjutkan. “Tapi sialnya, istri kamu seksi banget." "Itu permainan mereka,” aku mengulurkan tangan kananku, dan memberi Dario sebuah pukulan bergurau di bahu kirinya. “Kita cuma laki-laki, kan? Cenderung ikut kemauan hormon kita. Sialnya, mereka terampil mainin libido laki-laki." “Iya, sih…” gumam Dario.