Adegan menantu durhaka itulah yang menjadi bahan pembicaraan para tetangga. Siapa lagi dalang dari biang gosip ini kalau bukan Bu Suketi alias Bu Ara. Pasti dia sudah keliling komplek untuk melancarkan aksinya itu.
Jika di waktu pagi, para Ibu-Ibu biasanya berbenah di rumah dan menyiapkan sarapan untuk anggota keluarganya, tapi lain halnya dengan Bu Ara, dia akan bergosip pagi-pagi buta di tempat biasanya dia mangkal. Di warung Bu Dewi atau di tukang sayuran Pak Mardi lah tempat yang dia senangi untuk bergosip, karena disana tempat berkerumunnya para Ibu-Ibu.
“Eh, Ibu-Ibu tahu nggak? Kemarin tuh saya lihat,” ucap Bu Ara sedang memulai aksinya itu.
“Lihat apa sih Bu ara?” tanya Bu Marni penasaran.
“Itu tuh, kemarin saya tidak sengaja lihat Bu Tiara nendang Ibu Mertuanya loh,” jawab Bu ara seraya mengacung-acungkan sayuran yang dipegangnya.
“Ah, masa sih, Bu?” tanya Bu Dewi si pemilik warung sayuran itu tak percaya.
“Iyalah, Bu, benar. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Ibu Mertuanya menangis, kasihan,” jawab Bu Ara meyakinkan.
“Padahal Ibu Mertuanya baik banget. Tuh buktinya usaha komputernya di modalin sama Ibu Mertuanya,” ucap Bu Marni yang menimpali ucapan Bu Ara.
Rupanya mereka adalah konco-konco Ibu Mertuaku. Dia pasti sudah membalikkan fakta. Jika dia datang ke rumahku pasti dia akan terus berghibah mengenaiku sesuka hati.
“Tapi kelihatannya Bu Tiara orang baik,” bantah Bu Dewi. Yang memang pada dasarnya Bu Dewi selalu berpihak padaku.
“Kalau Bu Tiara orang baik, pasti dia nggak bakalan kayak gitu ke mertuanya, loh jeng,” ucap Bu Ara yang mulai menghasut Bu Dewi.
“Ihh … amit-amit yah punya mantu kayak gitu,” ucap Bu marni, sambil menggidikkan kedua bahunya.
Bu Dewi si pemilik warung sayuran tersebut hanya menggeleng-gelengkan kepala dan beristighfar berkali-kali.
****
Brugg …
Suara keras terdengar dari pagar halaman rumahku, membuat aku terlonjak kaget. Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian langsung menoleh ke arah suara tersebut. Rupanya Bu Ara yang sudah membuat kegaduhan tersebut. Dia sengaja membuka pintu pagar halaman rumahku secara kasar. Padahal membuka secara pelan pun tanpa menimbulkan suara keras, sebenarnya dia bisa. Tapi memang itu sudah menjadi tabiatnya Bu Ara, kurang sopan dalam bertamu ke rumah orang.
Dia berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.
“Emm … Bu Tiara tumben kok sepi, biasanya banyak anak-anak yang kursus disini,” ucap Bu Ara basa-basi, sambil celangak-celinguk melihat sekitar rumahku.
“Iya kan, sekarang masih jam setengah 7, belum waktunya masuk kelas dong, Bu,” jawabku datar.
“Oh … gitu ya, Bu,” jawabnya singkat seraya mengibas-ngibaskan tangan ke rambutnya yang gimbal itu. Yang sudah tercium bau apek oleh hidungku. Aku pun bergeser beberapa langkah ke samping, sengaja sedikit menjauh dari Bu Ara, karena tak tahan dengan bau apek dari rambut Bu Ara itu.
“Iya, Bu,” sahutku pun singkat.
“Enak ya, Bu, punya tempat kursus sendiri. Uang ngalir terus kayak air,” ucapkan ketus, seraya menyunggingkan bibirnya ke samping, tampak terkesan dia iri kepadaku.
“Iya, Bu, alhamdulilah semoga rejeki saya selalu lancar, amin …, ” ucapku sambil mengusapkan kedua telapak tanganku ke wajahku. Sedangkan Bu Ara yang melihatku tenang-tenang saja bahkan mengaminkan jawabanku sendiri. Tampak dia sedikit cemberut, entahlah kenapa begitu?
“Eh, Bu Tiara kemarin saya lihat ada mertuanya, tapi kok kenapa dia menangis?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
Aku yang sudah mulai melihat tanda-tanda yang mencurigakan dari pertanyaan Bu Ara yang terkesan kepo itu. Langsung seketika aku menghentikan aktivitas menjemur pakaianku dan menatap tajam ke arah Bu Ara. Sedangkan Bu Ara tampak kikuk salah tingkah, karena sudah jelas pasti dia menyadarinya, bahwa aku tak suka dengan jiwa keponya itu.
“Menangis? Siapa yang menangis?” tanyaku dengan intonasi suara yang meninggi.
“I-itu, Mertua, Bu Tiara,” jawabnya terbata.
“Lantas kalau menangis, memangnya kenapa, Bu?” jawabku sinis.
“Oh, nggak kenapa-kenapa kok, Bu,” jawabnya panik. Belum sempat aku membalas ucapan Bu Ara, dengan kata-katanya yang sok bijak dia mencoba menasehatiku.
“Tapi kasihan, mertua baik kok digituin,” ucapnya penuh nasihat. Ya, nasihat palsu tepatnya.
“Ya, kalau memang baik, ya, ambil aja sana sama Bu Ara, saya rido kok,” balasku mantap. Dan seketika membuat Bu Ara langsung melongo.
“Apa?” tanya Bu Ara kaget.
“Iya, ambil aja kalau Bu Ara mau,” jawabku santai, lalu aku kembali meneruskan aktivitasku, menjemur pakaianku yang sempat tertunda.
“Issh … bisa aja Bu Tiara ini. Bisa saja kalau bercanda. Pamali loh, Bu, kualat.” Lagi dan lagi Bu Ara menasihatiku.
“Iyalah, kan benar kata Bu Ara, hidup saya sudah enak. Jadi nggak butuh lagi tuh sama mertua kayak gitu,” ucapku sombong. Biarlah sekali-kali aku membalas ucapan Bu Ara dengan sombong, itung-itung memberikan pelajaran kepadanya jika aku pun bisa melawan balik perkataan pedasnya. Dan aku pastikan sesudah ini, Bu Ara akan menyebarkan gosipnya kesana-kesini, tentang aku menantu yang durhaka.
“Astagfirullah … Bu Tiara sadar … itu tak baik!” ucapnya seraya mengusap-ngusap dadanya.
“Iya, ini juga sadar, kok,” ucapku tak peduli.
Tak lama kemudian Bu Ara pun mengakhiri wawancara keponya. setelah itu dia pergi berlalu dari hadapanku.
Aku menghela nafas lega. Sebenarnya aku ingin dari tadi mengusir Bu Ara dari hadapanku, karena muak dengan sifatnya yang serba ingin tahu. Tapi, aku tak enak hati. Bisa-bisa aku di cap orang sombong dan menantu durhaka olehnya.
Aku sudah selesai dengan kegiatan menjemurku, meskipun sedikit lama, karena terhambat oleh tamu tak diundang.
Belum satu jam saja aku rebahan di sofa depan teras, melepaskan rasa lelah dan pegal sehabis menjemur pakaian. Tiba-tiba ada seorang perempuan paruh baya membuka pintu pagar rumahku dan berjalan ke arahku. Tangannya menenteng sebuah buku kecil, sedangkan tangan yang satu lagi memegang sebuah tas. Persis seperti orang yang akan menagih hutang, tepatnya seperti tukang kredit.
Aku memperhatikan langkah wanita paruh baya itu yang berjalan mendekat ke arahku. Sejenak aku berpikir, siapa di rumah ini yang berhutang? Orang dewasa hanya aku satu-satunya, sedangkan kedua anakku masih kecil, mustahil untuk berani berhutang. Lalu aku membenarkan posisi dudukku.
Assalamualaikum …
Terdengar ucapan salam dari wanita paruh baya itu. Terlihat sopan sekali, berbeda halnya dengan Bu Ara dan Ibu Mertuaku yang jika datang ke rumahku yang tidak menggunakan adab sopan santun.
Lantas aku pun menjawab kembali ucapan salam wanita paruh baya itu.
“Apa benar ini rumahnya, Bu Tiara?” tanyanya lembut seraya menatap ke arahku.
“Iya, saya, Tiara,” jawabku seraya mempersilahkannya duduk. Dia pun duduk di sampingku.
“Oh ini ya, yang namanya, Bu Tiara? Cantik!” ucapnya yang terdengar memujiku.
“Makasih bu,” ucapku malu, karena mendengar kata pujian dari orang tak aku kenal.
“Oh, iya hampir saya lupa, kenalkan nama saya Ana.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku pun membalasnya.
“Hmm … ada kepentingan apa yah, Bu Ana menemuiku?” tanyaku tanpa basa-basi lagi.
“Saya ke sini untuk menagih hutang, Bu,” jawabnya. Terlihat Bu Ana membuka lembaran-lembaran buku, seperti ada sesuatu yang dicari dari lembaran buku itu, dan langsung berhenti ketika dirasa sudah menemukannya. Kemudian dia menyerahkannya kepadaku. Tanpa menunggu lama aku pun langsung menerima dan membukanya.
Sontak aku langsung terkejut, ketika namaku tertera di catatan hutang Bu Ana, dengan nominal jumlah uang 10 juta.
“Maksud Bu Ana ini apa?” tanyaku heran, seraya menunjuk pada catatan hutang yang mengatasnamakan diriku itu.
“Iya, ini hutang, Bu Tiara, waktu mau buka usaha kursus komputer,” jawabnya, menerangkan asal muasal penggunaan uang tersebut.
“Maaf, Bu, saya tak pernah meminjam uang ke ibu,” balasku seraya mencoba mengingat-ngingat, apa benar aku pernah meminjam kepada Bu Ana? Tapi nihil aku tak mengingat jika aku pernah berhutang padanya. Dan memang pada dasarnya aku tak pernah berhutang padanya. Kenal pun baru sekarang, saat hari ini saja.
“Iya, memang bukan Bu Tiara yang meminjamnya waktu itu, tapi Ibu mertua, Bu Tiara lah yang meminjamnya. Katanya disuruh Bu Tiara untuk mencari pinjaman uang,” tutur Bu Ana seraya menceritakan dengan panjang lebar rangkaian kejadian di saat Ibu Mertuaku meminjam uang kepadanya.
Hawa panas mulai terasa di tubuhku. Emosi hebat meletup-letup di dada ini. Membayangkan wajah Ibu Mertuaku yang sedang tertawa mengejek atas ketidak tahuanku.
“Dasar, biadab! Serakah!” umpatku pelan, yang diikuti dengan kepalan bulat bertenaga dari kedua tanganku.
Tepukan pelan Bu Ana membangunkannku dari pikiran marahku pada Ibu Mertuaku.
“Bu Tiara kenapa?” tanyanya.
“Oh, ti-tidak apa-apa, bu,” jawabku kaget.
“Bagaimana, ini masalah hutangnya, Bu?” tanyanya yang ingin mendengar kepastian dariku.
Sejenak aku berpikir jernih, bagaimana caranya agar baik di kedua belah pihak? Jelas aku tak mau membayar hutang yang mengatasnamakan itu, karena aku tak memakannya sedikit pun.
“Maaf, Bu, tapi saya benar-benar tidak memakai uang itu. Lebih baik Ibu menagihnya pada Ibu Mertuaku saja, karena dia yang telah memakannya,” jawabku sesopan mungkin agar tidak menyinggung perasaan Bu Ana.
“Tapi, bagaimana kalau dia tak mau bertanggung jawab? Saya tak mau rugi, harus kehilangan uang saya,” sahutnya bingung.
“Bu Ana coba dulu tagih ke sana! Minta tanggung jawabnya. Insya Allah saya di sini akan coba menghubunginya juga. Bagaimana, Bu?” Aku mencoba menenangkan hati Bu Ana yang tampak gelisah.
“Benar ya, Bu?” tanyanya penuh harap.
“Iya, Bu,” jawabku sambil tersenyum padanya.
Untung saja Bu Ana termasuk orang yang baik, kalau tidak? Mungkin sudah ada drama adu mulut di rumahku ini. Ya, bagaimana tidak? Jelas dia pasti tidak mau kehilangan uangnya.
Setelah Bu Ana cukup merasa tenang setelah adanya kepastian dariku, barulah dia beranjak dari tempat duduknya dan pergi berpamitan pulang.
***
Aku langsung berselancar di ponselku. Rasanya Tanganku sudah gatal ingin cepat memaki Ibu Mertuaku yang tak tahu diri itu. Lantas aku segera mengirimkan pesan padanya.
“Cepat …! cepat …! dong …!” Aku berbicara sendiri, tak sabar ingin cepat terkirim pesanku ini, karena kebetulan jaringan ponselku saat ini tengah ada gangguan sinyal.
Tring …
Aku bersorak riang akhirnya jaringan ponselku kembali pulih dan pesanku pun terkirim. Terlihat centangan biru muncul di layar ponselku.
[“Bu, apa maksudnya pinjam uang mengatasnamakanku?”]
[“Tiara, kamu kan menantu Ibu, jadi tak apalah Ibu meminta bantuanmu.”]
[“Hah … sejak kapan aku dianggap menantu olehmu?”] Sengaja aku tak lagi menulisnya Ibu. Aku tak mau lagi menghormatinya. Rasa muak ku sudah ada di batas kesabaranku.
[“Kamu kan sekarang sudah kaya, jadi bayarlah hutang, Ibu! Pahalanya besar berbakti kepada Mertua.”]
Aku menghela nafas sejenak, mencoba menetralisir rasa amarahku ini. Aku mengusap dada dan beristighfar berkali-kali. Benar-benar Ibu Mertua yang tak tahu diri. Enak saja mau memanfaatkanku, layaknya seperti Mas Bayu yang bisa dikendalikan olehnya. Tiara yang sekarang bukanlah Tiara yang dulu.
Kemudian aku melanjutkan aksiku lagi. Dengan nafas memburu dan gigi bergemeretak, aku mengetik pesan secara cepat. Dan langsung terkirim.
“Bagus,” gumamku
[“Ya, sekarang aku kaya. Tapi bukan berarti aku harus menolongmu. Aku tak sudi.” ]
[“Uang sepuluh juta sedikit, Tiara.”]
[“Bayarlah hutangmu sendiri! Wahai Mertuaku.”] Aku tersenyum puas.
[“Itu akan menjadi hutangmu, Tiara. karena hutang Mertua juga termasuk hutang menantu.”]
[“Oh ya …?”] balasku singkat.
[“Iya.”] balasnya juga singkat.
[“Bayarlah! Kalau tidak Bu Ana akan memenjarakanmu. Bersiap-siaplah polisi akan segera menjemputmu! Mertuaku tersayang.”] Klik aku tutup saja layar ponselku. Sengaja memberikan pelajaran kepada Ibu Mertuaku dengan ancamanku tersebut.
Hari ini benar-benar membuatku sangat lelah. Tepatnya lelah hati dan pikiran yang sedikit menguras emosiku.
Dari tersebarnya gosip tentang aku menantu yang durhaka, karena ulah Bu Suketi alias Bu Ara itu yang menggosip ke sana ke sini. Akhirnya satu komplek mengecapku menantu yang durhaka, tapi itu tak membuat para orang tua menghentikanku jadi tenaga pengajar privat untuk anak-anaknya, terbukti mereka masih memperkerjakanku. Ya, karena orang yang sudah tahu bagaimana kepribadianku, tak mungkin mereka percaya begitu saja atas gosip yang datang dari Bu Ara tersebut.
Dilanjut dengan kedatangan Bu Ara yang ingin kepo perihal kedatangan Ibu Mertuaku yang bersimpuh menangis di kakiku.
Kemudian kedatangan Bu Ana yang menagih hutang yang mengatasnamakan. Sungguh-sungguh semuanya ini menguras emosiku. Sebenarnya ini semuanya diakibatkan ulah mertuaku. Tak kenyang menguasai uang Mas Bayu, sekarang dia beralih ingin menguasai uangku. Dasar bedebah tak punya hati nurani, yang di hatinya ada uang dan uang saja.
Baru saja aku mau merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar.
Dengan malas aku beranjak, melangkah ke luar untuk melihat siapa yang akan bertamu lagi ke rumahku? Karena tak mungkin anak kursusku, ini masih tersisa setengah jam lagi untuk masuk kelas kursusku.
Setelah dibuka ternyata Bu Marni, yang masih konco-konconya Ibu Mertuaku.
Aku menepuk pelan jidatku, dan tersenyum pahit ke arah Bu Marni. Aku mempersilahkannya duduk. Dan aku pun melangkah ke dapur untuk mengambilkan air minum. Hanya sekedar saja agar tidak terlihat jika aku tidak menyukainya. Karena mulut keponya yang sama dengan Bu Ara.
Aku mempersilahkannya minum. Bu Marni tanpa basa-basi lagi langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
“Bu Tiara, maaf boleh saya menanyakan sesuatu?” tanyanya ragu.
“Hmm, ada apa ya, Bu?” Pasti ini mau kepo lagi seperti Bu Ara. Terlintas di benakku seperti itu.
“Apa anak saya bisa bekerja di sini, Bu?” tanyanya pelan sambil menundukkan kepalanya.
Tak biasanya Bu Marni bersikap rendah hati seperti ini. Biasanya dia bersikap angkuh. Biasa orang kalau ada perlunya pasti bersikap baik, mau mengambil hati.
“Kerja? Kerja apa, Bu?” Aku balik tanya padanya
“Ya, kerja mengajar komputer disini dong, Bu,” jawabnya penuh semangat.
“Ya, ampun Bu Marni, saya ini cuman usaha kecil-kecilan. Mana mungkin bisa menggaji orang,” jawabku dengan merendah hati. Lantas aku tersenyum geli, ternyata Bu Marni yang angkuh meminta bantuan kepadaku.
Sungguh kejutan luar biasa di pagi hari ini. Kejutan apa lagi yang akan datang setelah ini? Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.