loader image

Novel kita

Punya Suami Serasa Tak Punya Suami – Bab 4

Punya Suami Serasa Tak Punya Suami – Bab 4

Penekanan Kak Arman
88 User Views

Setelah itu Ibu dan Kak Arman beristirahat melepaskan rasa lelahnya, setelah seharian dalam perjalanan. Aku membuatkan minuman teh untuk mereka.

Mereka meneguk minuman secangkir teh dengan penuh nikmat, maklum mereka haus.

“Ibu sama Kakakmu istirahat dulu, ya, Tiara, capek,” kata Ibu sambil pergi ke kamarnya. Tanpa disuruh pun Ibu langsung pergi ke kamarnya. Toh, ini juga kan rumah Ibu sendiri. Sedangkan Kak Arman beristirahat di kamar anak-anakku.

Kemudian aku pergi berbelanja ke warung terdekat untuk membeli bahan makanan yang aku butuhkan, dan anak-anak pergi bermain ke rumah sebelah. Sengaja aku suruh mereka bermain sebentar di luar, karena tak ingin mengganggu istirahat Ibu dan Kak Arman. Maklum lah bila mereka berdua bersama, selalu ada kata ribut dan berisik. Entahlah apa yang mereka ributkan?

Setelah aku cukup mendapatkan bahan-bahan yang aku perlukan. Aku mulai berkutat di dapur, dan lumayan cukup banyak aku akan memasak. Tak apalah sekali-kali aku menghidangkan makanan yang banyak, mereka juga nggak sering berkunjung ke sini. Ya, baru sekarang lagi Ibu dan Kak Arman berkunjung menemuiku dan anak -anak, setelah berbulan-bulan mereka tidak menemuiku. Jarak antara kotaku dan kota Istri Kak Arman lumayan cukup jauh memakan waktu sekitar seharian dalam perjalanan. Ibu dan Ayah dulu menempati rumah ini bersama aku, mas Bayu dan anak-anak, tapi setelah Ayah meninggal, Ibu diajak Kak Arman untuk ikut bersama dengan istrinya di sana, karena Kak Arman tahu aku tak mungkin bisa menghidupi Ibu dengan keadaan Mas Bayu yang bisa dibilang pelit dan perhitungan. Boro-boro untuk mampu menghidupi Ibu, aku juga Istri dan anak-anak seringkali ditelantarkannya. Mungkin itulah alasan kenapa kak Arman mengajak Ibu untuk ikut bersamanya. Dulu sewaktu Ayah masih ada, hidupku masih dibantu olehnya, tapi setelah Ayah meninggal tak ada lagi yang membantuku di sini. Ibu tak mau menjadi beban hidupku, maka dari itu Ibu putuskan untuk ikut bersama Kak Arman. Dengan rasa berat hati dan sedih aku merelakan Ibu untuk tinggal berjauhan denganku. Di kota ini sekarang aku merasa sendirian, tepatnya aku hanya seperti memiliki kedua anakku saja. Sedangkan mas Bayu dan keluarganya seperti orang asing bagiku.

Untungnya Istri kak Arman sangat baik hati dan sayang kepadaku dan kedua anakku. Kak Ayu namanya. Ya, seperti nama dan wajahnya yang ayu. Tutur katanya yang lembut dan sikapnya yang halus membuat aku tak segan-segan meminta bantuan kepadanya. Ya, dia memang keibuan cukup serasi bersanding dengan kak Arman yang baik dan sangat penyayang menurutku. Kak Ayu dan Kak Arman sering mengirimiku uang untuk menopang kehidupanku dan anak-anak. Meskipun seringkali aku kerap menolaknya. Mereka tahu kesulitanku, mereka juga tau sipat Mas Bayu seperti apa.

“Tiara, ikutlah bersama kami ke sana! Bawa anak-anakmu juga! Buat apa kamu pertahankan pernikahanmu dengan Bayu? Lihatlah hidupmu,Tiara! Disana Kakak bisa  memantau hidup kalian, kamu juga bisa memulai hidup baru.” Aku ingat kata-kata itu ketika aku menangis mengadu perihal sifat Mas Bayu yang sudah dibatas wajar, hidup selalu di bawah ketiak Ibunya.

Tapi entah aku selalu menolak permintaan kak Arman tersebut. Aku ingin sabar menunggu berubahnya sifat Mas Bayu. Waktu itu aku memang egois yang terlalu berharap lebih pada Mas Bayu. Ya, aku egois tidak sayang pada diriku sendiri. Ya, aku lemah.

Dua jam aku berada di dapur. Setelah selesai semuanya matang. Aku bangunkan Ibu dan kak Arman untuk makan. Anak-anak pun tanpa aku memanggilnya, mereka sudah berada di rumah.

“Bu, Kak, ayo kita makan dulu! Pasti lapar kan?” Pintaku pada mereka.

“Tiara, kenapa kamu masak sebanyak ini?  Kamu punya uang darimana?” tanya Ibuku, karena tak percaya aku mempunyai uang untuk memasak makanan sebanyak ini.

“Ah … Ibu gak apa-apa lah sesekali ini, Ibu dan Kak Arman kan jarang kesini. Sekarang Tiara sudah bekerja, Bu,” jawabku, tidak mau membuat Ibu sedih berpikiran bahwa aku selalu kesulitan dalam masalah uang. Mataku terasa panas, kutahan buliran aliran mata ini agar tidak tumpah di pipiku. Aku tak mau Ibu melihatku menangis.

Aku berpura-pura sibuk menata makanan kembali, padahal makanan sudah tertata rapi sejak dari tadi. Aku menundukkan wajahku agar tidak terlihat jika aku ini sedang menahan tangisan.

Kak Arman yang sejak dari tadi melihat betapa kikuknya aku yang menyembunyikan tangisan, mencoba mencairkan suasana agar tidak terlihat canggung.

“Sudahlah, Bu, jangan membahas masalah ini dulu, lebih baik sekarang kita makan!”

“Ya, Bu, Kak, ayo, kita makan dulu! Nanti makannya keburu dingin, loh,” titahku agar mereka cepat-cepat makan, berharap mereka tak berlarut-larut membicarakan masalah kehidupanku.

Si sulung dan si bungsu pun menghampiri kami untuk ikut bergabung makan bersama-sama. Kami makan di ruang televisi, karena memang ruangan ini lah yang cukup lumayan luas untuk acara makan bersama seperti ini. Kami duduk melingkar. Saat makan tak ada yang mengeluarkan suara sepatah kata pun. Kata-kata kak Arman mampu membungkam mulut Ibu untuk tidak menanyakan masalahku lagi.

       ***

Menjelang malam, aku dan anak-anak asyik bersenda gurau, karena aku merasa kangen sama kedua anakku. Semenjak aku bekerja menerima tawaran privat di sana-sini dan menjadi guru les komputer, sedikit waktuku bersama anak-anak. Tapi untunglah kedua anakku mengerti dengan posisiku saat ini, hingga waktu malam lah aku menghabiskan waktuku bersama anak-anak.

Ibu dan kak Arman menghampiriku dan ikut bergabung bersama kami.

“Nak, bagaimana kabar suamimu di sana?” tanya Ibu tanpa basa-basi.

“Baru kemarin, Bu, Mas Bayu memberiku kabar, kayaknya dia baru sandar,” jawabku, rasanya malas membicarakan keadaan Mas Bayu.

“Terus selanjutnya, bagaimana  dengan pernikahan kalian? Apakah kamu masih tetap mau mempertahankannya? Sementara dia juga tidak peduli dengan nasib kalian.”

“Entahlah, Bu, aku juga sudah merasa lelah dengan sifat Mas Bayu yang terus-terusan seperti ini,” jawabku sambil menepuk-nepuk pantat si bungsu, yang sepertinya sudah mulai merasa kantuk.

“Apa yang kamu bingungkan lagi, Tiara? Sudahlah suami seperti itu jangan kamu pertahankan lagi! Hidup masih di ketiak Ibunya, apa artinya pernikahan seperti itu? Coba kamu pikirkan baik-baik, Tiara! Dan bagaimana nasib anak-anakmu juga kelak nanti?” Sepertinya Ibu sudah kesal dan geram atas sikapku yang lemah.

“Tiara, jangan kamu berpikir apa-apa lagi untuk saat ini, sudahlah akhiri pernikahan kalian! Kakak nanti yang akan mengurusi perceraian kalian.” Desak kak Arman, supaya aku cepat-cepat mengambil keputusan.

“Tapi Kak, sekarang Mas Bayu belum pulang apa tidak sebaiknya kita bicarakan baik-baik dulu,” jawabku pelan.

“Aduh … gusti ya Allah, Tiara apa sih yang kamu pikirkan lagi? Ngidam apa dulu Ibu sampe-sampe kamu, kok, kelewatan sabar bangettttt. Sudah sekarang ikutilah saja kata-kata kakakmu itu!” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, menandakan pusing dan kesal atas jawabanku barusan. Tak luput juga Ibu mencubit pinggangku, mungkin saking kesalnya padaku. Walaupun aku sudah dewasa tetap saja Ibu memperlakukan aku seperti Tiara kecil, saat aku dulu masih berusia 10 tahun 

“Tiara suka atau tidak suka, Kakak akan paksa kamu supaya bercerai dengan Si Bayu. Kamu diam saja jangan melakukan apa-apa, biar nanti Kakak yang mengurus semuanya,” ucap kak Arman penuh penekanan.

“Iya, tunggu dulu si Bayu pulang! Udah itu langsung kamu gugat cerai, ngerti!” Lagi-lagi ibu mencercaku habis-habisan.

Mereka berdua kesini rupanya ingin menyelesaikan pernikahanku dengan Mas Bayu. Rupanya mereka sudah tak tahan lagi melihat keadaanku yang selalu ditelantarkan oleh Mas Bayu.

Kupingku terasa panas, karena semua perkataan Ibu dan Kak Arman sungguh penuh dengan penekanan. Mereka sudah tak sabar agar aku segera mengajukan gugatan cerai. Bahkan tak tanggung-tanggung Kak Arman yang akan mengurus semuanya. Tapi bagaimana aku bisa mengajukan gugatan cerai? Mas Bayunya juga tidak ada disini, bagaimana bisa?

Iseng aku chat Mas Bayu terlebih dahulu, pasti dia belum bekerja lagi.

[“Mas, persiapkan dirimu nanti setelah ada di rumah, ok!”]. Hmmm, aku menghela napas sejenak menunggu balasan pesan dari Mas Bayu. Bagaimanakah reaksinya dia?

Tring … ternyata ada balasan dari Mas Bayu.

[“Ada apa sih, Dek?”] Tanda emoticon penasaran dan kaget pun, tak luput dia kirimkan juga.

[“Mas, nanti kamu akan menikmati hasil dari kamu menjatahi kami uang satu juta. Semoga kamu puas!”]

[“Dek, kamu ini apa-apaan, sih? Dulu kamu tak pernah mempermasalahkan uang, tapi kenapa sekarang kamu berubah begini, Dek?”] tanya Mas Bayu, rupanya dia mulai menyadari perubahanku ini.

[“Hah, ya, dulu aku bodoh, Mas, di butakan oleh cintamu.”]

[“Dek, sadar … sadar.”]

[“Ya, sekarang aku sudah sadar, Mas, karena uangmu yang satu juta itu.”] Aku kirimkan juga emoticon marah, menegaskan jika aku marah dan tidak main-main.

[“Ya, sudahlah, Dek, kalau masalahnya uang nanti aku tambahin lima ratus jadi satu juta setengah, Ya, Dek Sayang, love you,”] rayunya padaku, berharap aku akan luluh hanya dengan uang satu juta setengah. Cihhh, aku menyunggingkan bibirku sebal. Apa artinya uang satu juta setengah dengan segala kemewahan yang dinikmati Ibunya. 

Nafasku tak beraturan, mulutku komat-kamit menyumpahi Mas Bayu dengan kata-kata serapahku.Tanganku pun terkepal bulat penuh tenaga. Alhasil bantal guling yang menjadi sasaran tinjuku.

Aku sengaja belum membalas chatnya, dan tak lama kemudian ada bunyi notifikasi chat Mas Bayu mengirimi lagi pesan.

[“Dek, aku sudah memberitahu Ibuku, jatahmu Mas tambahi menjadi satu juta setengah,ya.”]

[“Hahh … terserah Mas, saja.”]

Aku matikan saja ponselku, bereskan.

Biarlah dia mengira aku masih biasa-biasa saja dengan semua aturannya. Mas Bayu mungkin sudah merasa aneh dengan perubahanku. Namun dia tak akan pernah mengira jika aku akan mengambil keputusan sejauh ini.

       ***

“Bu, kata Tiara, Si Bayu sekarang sedang sandar. Apa tak sebaiknya aku kasih peringatan dulu, ya, biar dia tidak kaget jika nanti kalau dia pulang”.

“Ya, kamu cobalah kirim pesan dulu ke Si Bayu,” kata Ibu menyetujui usul Arman.

Arman mulai berselancar di ponselnya yang sedang dia pegang. Kemudian Arman mencari dalam kontak WA nya.  Ternyata Arman masih menyimpan nomor Bayu.

[“Bayu, persiapkan dirimu setelah nanti kamu pulang ke Indonesia! Ada kejutan untukmu.”] Mati kamu Bayu, kamu akan kehilangan Tiara. Senyum sinis terukir di wajah Arman.

[“Ada apa lagi ini? Tadi Tiara mengirimiku pesan yang aneh, sekarang Kak Arman.”] Rupanya Bayu kesal dengan pesan-pesan aneh yang masuk, seperti  menunjukkan sebuah peringatan baginya.

[“Ya, Tiara, hidup serasa tak punya suami, mengerti! Apa kamu mengira aku sebodoh itu akan membiarkan Adikku terus-terusan hidup sengsara bersamamu!”] Arman rupanya tak main-main ingin mengakhiri pernikahan Tiara dengan Bayu.

[“Kak, tolong jelaskan ada apa ini?”]

[“Jelaskan saja pada otakmu yang b*d*h itu.”] 

Kemudian Arman mengakhiri chat nya dengan Bayu, tak peduli dengan kiriman chat Bayu yang menumpuk dan belum dibaca di kotak inbox WA nya.

Sambil menarik nafas panjang lega, Arman merebahkan tubuhnya di sofa.

“Bu, aku sudah mengirimi pesan ke Si Bayu, habislah dia nanti.”

“Syukurlah, Ibu ingin segera melihat Tiara lepas dari pernikahannya itu.” Ibu tersenyum puas dengan mata yang berbinar-binar, ingin rasanya segera menyaksikan Bayu menangis meraung-raung ditinggalkan oleh Tiara dan anak-anaknya.

Punya Suami Serasa Tak Punya Suami

Punya Suami Serasa Tak Punya Suami

Score 10
Status: Ongoing Type: Author: Released: 2023
Punya Suami Serasa Tak Punya Suami. Ya, itu adalah pernikahan Tiara. Perhatian dan kasih sayang tidak dia dapatkan dari suaminya. Dia dan anaknya hidup menderita, karena sang suami ada dalam kendali Ibunya. Hingga akhirnya Tiara lelah dan menyerah. Perpisahan adalah jalan satu-satunya yang dia pilih. Namun kenapa sang mantan suami menyesalinya setelah semuanya berakhir? Banyak misteri dari orang-orang yang terlibat dalam pernikahan Tiara.  Siapa sebenarnya Ibu Mertuanya yang begitu tamak kepadanya? Dan misteri apa yang terjadi di masa lalu sang mantan suaminya? Akankah hati Tiara terbuka lagi untuk sang mantan suami? Setelah sebuah misteri masa lalu terkuak. Benci, marah, sedih, dan bahagia bercampur aduk dalam cerita ini.  Dan kisah yang tak terduga akan menambah keseruan dalam perjalanan hidup Tiara.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!

Options

not work with dark mode
Reset