“Gadis bodoh. Kenapa kau tak terima uang sumbangan dari keluarga kaya itu hah?” Tanpa peringatan Jaya mencengkram bahu Shabina dengan kuat.
Malam ini Ayah tiri Shabina itu pulang dengan penampilan tidak karuan. Bajunya basah kuyup—terkena air hujan. Sementara wajahnya dihiasi oleh lebam di sana sini. Bahkan setitik darah segar masih keluar dari bibirnya. Ternyata derasnya air hujan tidak dapat menyamarkan luka-lukanya.
Shabina tahu pasti, semua yang Jaya dapati dikarenakan kalah dalam berjudi. Lagi.
“Sa—sakit Ayah ….” Mata Shabina terpejam tetapi bukan untuk menyamarkan kesakitan yang terasa di sekujur badan. Melainkan kesakitan oleh keadaan.
Bagaimana tidak? Ibunya baru saja dikebumikan sore tadi. Tetapi lihat kelakuan Ayah tirinya ini, malah menyibukkan diri dengan para kawanan berjudi.
“Ayah tahu, ada seorang Pria yang datang kesini untuk memberimu sejumlah uang ‘kan?” Jaya mempermasalahkan hal yang sama untuk kedua kalinya. “Sekarang jawab. Kenapa Kau tak terima uang itu hah?” Dalam sekali dorongan Jaya berhasil menghempaskan Shabina ke lantai.
‘Bagaimana Ayah bisa tahu?’ batin Shabina kebingungan. Karena seingatnya, ketika dirinya menolak uang itu, Jaya sedang tidak ada di sekitarnya.
“Andai kamu menerimanya, mungkin saat ini Ayah gak perlu kebingungan nyari uang untuk melunasi semua hutang-hutang Ayah. Sebagai gantinya kamu harus menjual tubuh untuk membantu Ayah. Ayo ….” Kali ini Jaya menyeret Shabina keluar rumah.
“Jual tubuh? Gak—aku gak mau. Lepasin Ayah, aku gak mau.” Shabina meronta, sekuat tenaga berusaha melepaskan diri.
Ternyata hujan deras masih mengguyur bumi, karenanya piyama tipis yang Shabina gunakan pun basah kuyup dalam hitungan detik. Tubuh Shabina menggigil, sedang dibawah sana kaki telanjangnya seakan mati rasa.
Setelah jalan beberapa menit, tibalah keduanya dipinggir jalan raya. Dengan segera Jaya menghentikan taxi dan memasukkan Shabina ke dalamnya secara paksa.
Taxi itu membawa mereka ke sebuah club.
Setibanya di sana, Shabina langsung diminta berganti busana oleh seorang wanita seksi. Hasrat untuk melawan itu hilang begitu saja, dan dirinya hanya pasrah mengikuti semua keinginan Jaya. Toh, jika melawan semua hanya akan buang-buang tenaga saja ‘kan?
“Kerja bagus,” kalimat yang Jaya ucapkan begitu melihat Shabina keluar dari ruang ganti.
Penampilannya berubah hampir 180derajat. Tidak ada rambut lepek akibat tersiram air hujan lagi, yang terlihat justru rambut terurai dengan ujungnya dibuat sedikit bergelombang.
Untuk piyama tipis pun kini sudah berganti dengan dress merah yang mempertontonkan keindahan punggungnya. Sedangkan kaki telanjangnya kini sudah dipercantik oleh heels yang tingginya 7centi.
“Terlihat sangat menggoda. Apalagi gincu merahnya, pelanggan pasti akan langsung terpikat dengan itu,” Jaya memuji.
Shabina meringis merasakan ketidak nyamanannya dalam berpakaian. Kedua tangannya terus saja digunakan menurunkan Dress yang panjangnya bahkan tidak mampu menutupi lutut.
“Sudah. Ayo, ikut Ayah.” Jaya kembali menarik Shabina. “Oh iya, makasih Sin. Hasil tanganmu tidak ada yang mengecewakan.”
“Sama-sama Pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana,” jawab seorang wanita yang diakhiri dengan tersenyum miris.
***
“Rileks saja, pelanggan disini pada ramah kok. Percaya sama Ayah, mereka tidak akan tega menyakitimu. Selama kamu melayaninya dengan baik, diapun akan memberikan timbal balik yang sama,” Jaya menjelaskan ditengah menunggu Pria yang akan menjadi pelanggan pertama untuk Shabina.
Transaksi yang dilakukan mereka cukup simple. Setelah pelanggan mendapat kepuasan, maka Jaya akan menerima semua pembayaran tanpa terpotong sepeserpun. Karena yang membeli tubuhnya ini rekannya bermain judi.
Jaya dapat menjamin, jika Shabina bekerja sama dengannya dalam beberapa malam kedepan, maka segala kebutuhan berjudinya akan dimudahkan.
“Minumlah sedikit, biar wajahmu gak tegang begitu.” Jaya mendorong segelas air ke hadapan Shabina. “Ayo minum, gak usah takut. Kasihan itu tenggorokanmu kekeringan, karena udah teriak-teriak dari tadi,” lanjutnya.
“Aku gak haus.” Shabina memalingkan wajah ke arah lain. Jangankan tenggorokan, bahkan sekujur tubuhnya pun Shabina pikir tidak merasakan keluhan apapun.
“Masa minum-minum saja harus Ayah yang paksa.”
“Aku bilang gak haus—“ Terlambat, Jaya sudah memasukkan air di dalam gelas tersebut ke dalam mulut Shabina secara paksa.
“Ayah jahat! Ayah tega! Ingat, aku ini seorang anak yang tumbuh besar dalam asuhan Ayah. Tolong Ayah pikirkan baik-baik sebelum menjualku. Ya?” ujar Shabina sedikit meminta belas kasihan.
Jaya tahu pasti reaksi dari minuman itu sebentar lagi akan bekerja. Daripada capek-capek meladeni permohonan Shabina, lebih baik dirinya diam saja.
“Kenapa penglihatanku jadi buram begini?” Shabina bertanya lebih kepada dirinya sendiri.
Berulang kali dirinya mencoba menggelengkan kepala—berharap penglihatannya kembali membaik, namun tidak bisa. Lamat-laun tubuhnya pun terasa ringan, seakan melayang.
Anehnya Shabina menikmati itu, bahkan tangannya tidak ada keinginan untuk berpegangan pada apapun. Sampai kemudian sepasang tangan menopang tubuhnya yang oleng, menggendongnya dan membawa Shabina entah kemana.
Samar-samar Shabina masih dapat mengintip bagaimana sosok yang membawanya kini. Disana terdapat wajah keriput dengan sebagian rambut yang sudah memutih—tersisir rapi.
Lelaki itu sudah cukup tua, itu kesimpulan utamanya.
Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang, disusul dengan teriakan seseorang yang berujar, “Sakha berhenti! Itu bukan Karina…!”
Bugh. Bugh. Bugh …
“Shhh….” Shabina masih sempat meringis ketika tubuhnya terpental ke lantai. Entah apa yang terjadi selanjutnya yang pasti dirinya kesulitan untuk membuka mata barang seinci pun.
‘Jangan bersedih Bu. Sungguh, aku tidak akan menyalahkan Ibu atas keadaan ini.’ Dan sebutir bening yang keluar dari sudut mata pun benar-benar mengakhiri kesadarannya.
***
“Sakha berhenti. Itu bukan Karina!” Secepat mungkin Danzel berlari, menghentikan Sakha yang hampir memukuli seorang Pria tua yang tengah menggendong wanitanya.
Demi apapun, Sakha tengah mabuk berat. Lelaki itu pasti mengira bahwa perempuan yang digendong adalah Karin—tunangannya yang kepergok tengah selingkuh bersama asistennya sendiri.
Semua pencegahan yang Danzel lakukan sia-sia, karena pukulan bertubi sudah berhasil Sakha layangkan pada Pria tua itu dengan berujar, “Asisten sialan, mati aja lo sekalian.”
“Udah Kha, udah. Itu bukan Pak Radit.” Kali ini Danzel berhasil menengahi. Tetapi semua itu percuma, karena Pria yang Sakha pukuli sudah tidak sadarkan diri.
“Minggir Lo.” Sakha sedikit mendorong Danzel.
“Gue di pihak Lo, bego!” Danzel berteriak, merasa kesal dengan ketidak warasan Sakha.
“Gue akan beri pelajaran pada Karin,” ujar Sakha penuh tekad seraya menggendong wanita yang sebelumnya terkapar di lantai.
“Lo mau bawa dia kemana Kha? Sakha? Sadar itu bukan Karin.” Dengan setia Danzel membuntuti Sakha yang terus berjalan menyusuri lorong gelap. Dan…
BRAK!
Sebuah pintu berhasil terbuka akibat tendangannya. Sakha bertindak seakan sudah mengetahui seluk beluk tempat ini. Buktinya Ia tahu bahwa dibalik pintu itu ada sebuah ruangan yang menyediakan sebuah ranjang dan perempuan yang dianggap sebagai Karin itu sudah berhasil dibaringkan di atasnya.
“Sadar bego. Dia bukan Karin.” Entah keberapa kalinya, Danzel mengingatkan dengan kata-kata yang sama.
“Lepas! Keluar lo.” Sakha jelas murka, pasalnya Danzel terus mengoceh disaat hasratnya sudah di ubun-ubun. Begitu Danzel telah berhasil ditendang sampai keluar ruangan, barulah Sakha mengunci pintu dari dalam.
“Sial!” Di luar sana Danzel menendang pintu.
Jika sudah begini, apa yang akan terjadi nanti?
***